Satu Makam Untukmu, Satu Makam Untuk Siapa?

Friday, January 11, 2008 | Labels: , | 0 comments |

Oleh Adi Toha

Satu Makam Untukku oleh eggiedwiananda

Bagus atau tidaknya sebuah cerita, menarik atau tidaknya sebuah kisah yang dituliskan dalam bentuk cerita pendek bagi pembaca secara individual, adalah murni masalah selera. Tapi, selera bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak bisa diperdebatkan. Permasalahan selera bergantung pada sejauh mana pengalaman dan pengetahuan baca seorang pembaca dan apakah pembaca menemukan semacam cerminan kisah ataukah setidaknya pembaca menemukan hiburan atau hal lain yang dianggap berguna dan layak untuk mengisi ruang penyimpanan dalam ingatan masing-masing pembaca.

Dari keempat prosa yang saya terima di email saya, terus terang keempatnya kurang membuat saya terkesan dan tidak membuat saya ingin mempertahankan keunggulan cerita andaikata ada yang menilai bahwa cerita-cerita tersebut tidak bagus. Baik atau buruk keempat cerita tersebut, jika ada yang menilainya, saya akan mengamini keduanya.

Namun tetap, saya harus memilih setidaknya satu untuk dijadikan bahan perkosaan. Saya memilih cerita berjudul “Satu Makam Untukku”, bukan karena cerita ini lebih unggul daripada cerita yang lain. Pilihan lebih disebabkan karena cerita ini mengambil lanskap surealis, berbeda dengan ketiga cerita lain yang mengambil lanskap realis. Kisah-kisah surreal sangat menarik perhatian saya, terutama yang bertema kematian, kegilaan dan penderitaan.

Dalam lanskap surreal, segala bentuk latar, peristiwa dan unsur-unsur pembangun cerita dirangkai sedemikian rupa untuk menyampaikan maksud pengarang dengan karyanya, meski kadang, setelah semua unsur tersebut terbangun dengan sempurna, maksud pengarang menjadi lebur dalam maksud cerita.

Cerita yang berjudul “Satu Makam Untukku” dibuka dengan kedatangan seorang lelaki ke sebuah pemakaman umum. Tidak diketahui siapakah lelaki itu, mengapa ia masuk ke pemakaman umum, dan di kota atau di manakah pemakaman umum itu berada. Hanya dituliskan: “Lelaki itu masuk saja ke tempat pemakaman umum. Langkahnya mirip pemabuk yang sangat sadar. Ditelusurinya rumput-rumput kering yang bercampur debu merah. Ditendang, ditendang, ditendang hingga mengepul sejenak, lantas menyerbu wajahnya seperti tawon yang sarangnya diganggu. Ia tidak peduli.” Membaca kalimat selanjutnya, saya memindai bahwa lelaki itu adalah gila, setidaknya menderita gangguan kejiwaan, atau dilanda kebingungan. Indikasi kegilaannya terlihat di kalimat-kalimat berikut: “Terus dan terus ia menelusuri dalam terik. Mencari-cari, tapi tak tahu pasti apa yang sedang ia cari.” Dan semakin dipertegas dalam kalimat berikut: “Ia digigit, tersengat oleh semut-semut yang ketakutan oleh gempa bumi. Tapi tak ada sakit. Rasa telah tiada, karena jiwa telah musnah.”

Namun di sisi lain, pengarang ingin menunjukkan bahwa tokoh lelaki yang diceritakannya tidak sepenuhnya gila, kalaupun gila, setidaknya lelaki itu bukanlah orang gila biasa. “Ia pun berpikir, apa yang sebaiknya ia cari? Ia mulai menentukan keinginannya. Ia menginginkan seorang yang tidak berumur. Manusia yang tidak digigit waktu, diguyur pengalaman, didera racun pemikiran”. Bagaimana bisa orang gila biasa berpikir untuk mencari nisan seseorang yang tidak berumur? Dan kenapa dia memutuskan untuk memilih nisan yang tidak berumur, belum berpengalaman hidup, dan belum didera bermacam-macam pemikiran? Salah satu kemungkinan alasannya menurut saya adalah bahwa lelaki tersebut mengalami kekecewaan dengan yang namanya waktu, pengetahuan/pengalaman, dan pemikiran. Ia kecewa dengan waktu, karena mungkin, semakin waktu berjalan ia semakin menderita, semakin berumur hidup seseorang, ternyata tidak membuat seseorang menjadi lebih baik, dewasa dan bijak, waktu demi waktu hanya menambah kekecewaan demi kekecewaan dan kegagalan demi kegagalan. Ia kecewa dengan pengetahuan/pengalaman, karena mungkin, pengetahuan/pengalaman tidak membuatnya lebih bahagia, pengetahuan/pengalamannya justru membuatnya lebih menderita. Dan ia kecewa dengan pemikiran –yang disebutnya sebagai racun- karena mungkin ia melihat –dalam rentang waktu usianya- bahwa pemikiran-pemikiran manusia di sekelilingnya tidak ada bedanya dengan racun yang menggerogoti dirinya, sampai membuatnya menjadi gila, atau ia tidak setuju dengan pemikiran-pemikiran tersebut tetapi ia tidak punya kuasa atau kekuatan untuk menandinginya.

Anehnya, ketika lelaki itu menemukan sebuah makam bayi yang tanggal kelahiran dan kematiannya sama (tidak berumur), lelaki itu berpikir “Mungkin jika ia diberikan umur, ia akan menjadi gadis yang baik dan sayang kepada orang tua”. Di sini terlihat inkonsistensi pengarang dalam menggambarkan tokohnya. Bagaimana mungkin tokoh yang sebelumnya menginginkan untuk mencari nisan yang “..tidak berumur. Manusia yang tidak digigit waktu, diguyur pengalaman, didera racun pemikiran”, setelah menemukannya kemudian berpikir jika seandainya nisan itu berumur, hanya karena ia membaca nama bayi itu “Sri Rahayu” yang menurutnya indah.

Pada paragraf: “Kenangan-kenangan tentang masa lalu pun kembali berputar. Ia ingat kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak. Tapi, karena keadaan sosial yang belum dapat menerima, akhirnya kisah cinta mereka menjadi ternoda. Noda itu sudah berusaha dicuci, tapi tetap saja meninggalkan bekas. Lantas bekas itu menjadi huru-hara yang tak kunjung padam setiap harinya. Perjuangan untuk mempertahankan pun akhirnya sirna. Hilang tanpa bekas. Mungkin Sri Rahayu tidak akan pernah membuat huru-hara.” Pengarang mulai menunjukkan mengapa lelaki itu menginginkan nisan yang tidak berumur, lebih disebabkan karena ia mengalami kekecewaan dengan kisah cinta masa lalunya. Namun, di sini terlihat ada usaha pengarang untuk menyederhanakan cerita, yang sayangnya membuat cerita menjadi sangat klise. Seperti apakah “keadaan sosial yang belum dapat menerima” kisah cinta lelaki itu. Jika pada akhirnya lelaki itu kecewa dengan “waktu”, saya pikir, permasalahannya bukan sekedar “keadaan sosial”. Akan lebih mengena jika “keadaan sosial” diceritakan lebih jauh.

Pada paragraf berikutnya juga masih terlihat penyederhanaan yang sama. “Lelaki itu pun kembali teringat dengan keluarga. Kumpulan darah dagingnya yang hidup dengan topeng dan perasaan paling suci diantara semua. Karena tidak kuat mengikuti perasaan suci yang dimiliki oleh keluarganya, akhirnya lelaki itu pergi menggelandang dan memutuskan menjadi setan saja. Menjadi kafir-kafir sekafir-kafirnya. Namun terus berdoa supaya hanya manusia saja yang mengkafirkannya, jangan Tuhan. Ia terus berharap dalam kekafirannya, Tuhan tidak mengkafirkannya. Berharap dan terus berharap.” Saya menjadi bingung. Di paragraf sebelumnya, lelaki itu teringat kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak, namun “keadaan sosial belum dapat menerima”. Jika kemudian lelaki itu teringat dengan kumpulan darah daringnya, saya mengasumsikan bahwa lelaki tersebut lebih memiliki setidaknya dua keturunan, entah dari siapa, dari kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak –yang diceritakan di paragraf sebelumnya- ataukah dengan orang lain yang tidak diceritakan. Jika “kumpulan darah daging” di sini dimaksudkan untuk merujuk kepada keluarga si lelaki, pengarang telah dengan tergesa-gesa memilih diksi. Di sini juga terlihat hubungan si lelaki dengan keluarganya, bagaimana akhirnya lelaki yang keluarganya “hidup dengan topeng dan perasaan paling suci”, memilih menjadi setan dan menjadi kafir sekafir-kafirnya. Sayangnya, pengarang tidak menunjukkan bagaimanakah pilihan tindakan yang dilakukan lelaki itu yang bisa dikatakan kafir sekafir-kafirnya, sehingga pada akhirnya semua yang dituduhkan oleh pengarang kepada lelaki itu atau kepada keluarganya menjadi mentah dan sangat memihak.

Lalu tiba-tiba hujan datang. Hujan yang menjadi-jadi, yang seakan mengerti kesedihan lelaki itu. Hujan yang meskipun telah diperintahkan untuk berhenti oleh lelaki itu, malah membalas: “Aku sudah tidak bisa berhenti! Biar. Biar saja mereka terdzalimi! Biar saja! Engkau sudah jauh dihancurkan oleh mereka! Ini adalah keadilan!“ Rupanya hujan ingin menjadi penegak keadilan bagi lelaki itu. Begitu hebatnya lelaki itu sampai-sampai hujan membelanya.

Selanjutnya pengarang menggambarkan keadaan pemakaman setelah hujan. “Mayat-mayat yang masih dikafani mengapung di permukaan air dari makam yang tenggelam. Lelaki itu takjub melihat satu persatu muncul mayat dari dalam air. Wajah mereka pucat pasi. Rautnya menggugat kenapa mereka tidak pernah dikunjungi. Mereka tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci. Mereka marah dan meminta ganti rugi.” Demi membuat kesan puitik, pengarang melupakan logika cerita. Begini, “Mayat-mayat yang masih dikafani“, saya asumsikan mayat-mayat tersebut masih baru. “Wajah mereka pucat pasi“, berarti mayat-mayat tersebut masih tampak memiliki wajah. Nah, bagaimana bisa mayat-mayat yang masih baru dan memiliki wajah tersebut “Rautnya menggugat kenapa mereka tidak pernah dikunjungi. Mereka tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci. Mereka marah dan meminta ganti rugi”?

Berapakah batasan waktu “tidak pernah dikunjungi” yang dimaksudkan pengarang? Jika mayat-mayat itu “tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci” asumsinya adalah bahwa mereka setidaknya pernah mendapat sekali kunjungan basa-basi itu. Nah, kunjungan basa-basi itu terjadinya setiap satu tahun sekali. Bisa dibayangkan bagaimana rupa mayat setelah satu tahun, apakah masih berwajah, apakah kain kafannya masih utuh? Di satu sisi, dengan usaha puitiknya pada paragraf tersebut, pengarang ingin mengkritik perilaku orang-orang yang hanya mengunjungi pemakaman setiap sebelum bulan suci, itupun dilakukan dengan basa basi.

Selanjutnya, latar peristiwa dalam cerita ini berubah, dengan media transisi berupa banjir yang menyeret tokoh utama keluar dari latar sebelumnya ke latar berikutnya, yaitu jalan –jalan raya, jalanan, jalan kota. Tokoh utama menjadi menjadi saksi peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika banjir melanda, bagaimana masing-masing orang berenang menyelamatkan diri, bagaimana ia melihat seorang pria berdasi yang terpenjara dalam mobilnya sendiri, dan ia ingin menolongnya tapi tak bisa, bagaimana ia menyaksikan seluruh kota akhirnya terendam, bagaimana ia melihat seorang perempuan yang histeris mengguncang pundak seorang Kiai, namun Kiai tersebut rupanya tidak bisa berbuat apa-apa, dan tenggelam.

Ada yang janggal di bagian ini: “Air kini sudah selutut patung pancoran”. Sedari awal, latar kota tidak disebutkan di kota mana, apakah kota yang nyata ataukah kota khayal. Hal ini membebaskan pembaca untuk membayangkan latar kota mana saja. Namun tiba-tiba, seolah kebebasan pembaca dibetot untuk meyakini bahwa latar peristiwa adalah di Jakarta, mulai dari pemakaman sampai di jalan-jalannya. Dengan kalimat tersebut, seolah pengarang juga ingin lebih meyakinkan yakin pembaca bahwa banjir yang terjadi sangat tinggi, tidak cukup hanya dengan kalimat “Seluruh kota pun telah terendam” di paragraf sebelumnya.

Terlihat bahwa pengarang ingin memasukkan unsur kritisisme sosial dalam karyanya. Orang berdasi yang terpenjara dalam mobilnya sendiri adalah sebuah perumpamaan orang-orang kaya –pengusaha, birokrat, pejabat, konglomerat- yang tidak dapat melakukan apapun dengan harta dan kekayaannya untuk menyelamatkan diri dari bencana dan kematian. Seorang perempuan yang mengguncang pundak seorang kiai adalah perumpamaan orang-orang lemah yang mencari jawaban atu bersandar pada keyakinan agama semata, dalam memandang keadilan dan bencana. Meskipun perempuan tidak selamanya berarti orang-orang lemah, namun secara tidak sadar, pengarang memposisikan perempuan sebagai kaum lemah dan teraniaya. Jika hal ini ternyata salah, lantas mengapa pengarang memilih sosok perempuan, bukannya sosok lain. Di sisi lain, pengarang juga meninggikan sosok perempuan. Dari balik kelemahannya, perempuan menyimpan kekuatan yang luar biasa dalam berpacu tangisan dengan hujan menimbulkan banjir yang lebih besar. Dan seorang kiai yang akhirnya hanya melihat ke langit dan menundukkan kepala, tenggelam adalah perumpamaan tokoh agama yang tidak bisa berkutik menghadapi bencana dan kematian.

Cerita diakhiri dengan menghilangnya sosok lelaki entah kemana, meninggalkan kota yang semakin gelap dan dipenuhi ketakutan. Narasi akhir “Mungkin juga ia tenggelam dan masuk ke dalam makam yang tersedia untuknya”. Bukanlah lelaki itu telah diseret oleh banjir keluar dari pemakaman? Bukankah tubuhnya telah berubah menjadi busa dan tidak dapat tenggelam? Lalu apa hubungan -ku dalam judul “Satu Makam Untukku” dengan “makam yang tersedia untuknya”? Agaknya, hubungan-hubungan seperti inilah yang belum terbangun dengan sempurna dalam cerita ini. Pengarang masih terjebak pada kesan puitik kalimat-kalimat yang ditulisnya sendiri, dan masih terjebak pada cerita yang ditulisnya sendiri, sehingga melupakan unsur-unsur dan logika yang membangun keutuhan sebuah cerita.

Seperti diawal telah saya katakan bahwa cerita ini tidak bagus, juga tidak terlalu buruk. Pilihan tema dan penceritaan yang tidak biasa, mungkin menjadi kelebihan cerita ini dengan ketiga cerita yang lain. Namun sayangnya, tema dan penceritaan tersebut kurang dieksplorasi lebih jauh dan lebih dalam. Hubungan satu unsur dengan unsur yang lain dalam membangun cerita rasanya masih agak timpang. Apa hubungan nama “Sugeng Bin Sabar” dan “Sri Rahayu”. Ada gerangan apakah lelaki itu masuk ke pemakaman umum, ketidakadilan semacam apakah yang telah diterima lelaki itu sampai-sampai hujan membelanya. Jikapun hujan benar-benar membelanya, lantas kenapa pada akhirnya lelaki itu diseret banjir entah kemana yang oleh narator dikatakan “Mungkin juga ia tenggelam dan masuk ke dalam makam yang tersedia untuknya.” Saya tidak akan mempermasalahkan logika waktu peristiwa, karena cerita ini berada dalam lanskap sureal dimana logika waktu menjadi tidak begitu penting.

Jika sebuah cerita diibaratkan sebuah bola, maka sebuah cerita yang bagus adalah bola yang pejal, tidak ada celah-celah atau ruang kosong di dalamnya. Dan lapisan luar bola tersebut adalah cermin, di mana pembaca bisa berkaca darinya. Cerita yang kurang tersusun sempurna bisa diibaratkan batu apung yang terdapat celah atau rongga di sana sini.

Apa yang saya sampaikan di atas tidak mutlak kebenarannya. Saya hanya menuliskannya berdasarkan temuan atau bacaan saya atas cerita “Satu Makam Untukku” didasari oleh pengetahuan saya yang masih terbatas. Bisa jadi pembaca lain menemukan hal lain yang jauh lebih dalam dan lebih banyak dari yang saya temukan.

Terima kasih. Mari Berkarya!!

Pekalongan, 11 Januari 2008

Read More...

Metafora yang Tidak Pas

| Labels: , | 4 comments |

Oleh Hasan Aspahani

Seorang Lelaki dan Layang-layang oleh andi tafader

0. Inilah sajak yang hendak kita bicarakan:

Seorang Lelaki dan Layang-layang

Lelaki itu membeli layang-layang berdawai nyaring
Di tepi jalan di suatu siang yang benderang
Dipilihnya yang berwarna paling terang
Dibawa dan dimainkan di tanah lapang

Layang-layang senang bukan kepalang
Terbang tinggi menggapai bintang
Ditarik ulur ujung benang
Layang-layang mengawang-awang

Angin kencang datang menendang
Layang-layang putus melayang
Dikejarnya dengan galah panjang
Layang-layang tak jadi menghilang

Puas bermain meniti jalan pulang
Di tepi jalan layang-layang baru ramai terpajang
Warna dan bentuk lebih terang dan mentereng
Dibelinya lagi satu layang-layang
Layang-layang lama dihempaskan ke jurang
Dawainya melengkingkan sebuah dendang

Tentang seorang lelaki yang tak usai bertualang
Dengan wanita-wanita yang selalu jadi pecundang

(30 Nopember 2007)

1. SAYA sangat terganggu dengan dua baris pada larik terakhir itu. Saya kira dengan dua baris itu penyairnya bermaksud memberi kejutan atau memberi panduan kepada pembaca. Seakan ia mau berkata, “ini lo maksud sajak saya.” Ini samalah kira-kira dengan sajak Chairil Anwar “Aku” yang tiba-tiba di akhir sajak itu diberi baris: Sajak ini tentang semangat hidupku yang berkobar-kobar! Apa perlunya? Kenikmatan sajak justru ketika pembaca dihargai kemampuannya untuk menangkap maksud sajak.

2. TAPI baiklah kita terima kebaikan hati si penyair dengan mengikuti saja petunjuknya, bahwa layang-layang di sajak ini adalah metafora dari perempuan. Tepatkah metafora itu? Atau kita ganti pertanyaannya: asyikkah metafora itu? Saya kira tidak. Coba kita nikmati dari awal.

  • Perempuan seperti apakah yang terbayang dengan metafora “layang-layang berdawai nyaring”?
  • Kalau perempuan itu dikaitkan dengan lelaki yang suka berpetualang, maka apakah tepat bila dalam sajak ini digambarkan si lelaki itu mendapatkan si perempuan di sebuah siang yang terang? Mungkin lebih tepat, bila digambarkan transaksi itu terjadi di malam remang. Tapi, sejak awal si penyair telah memilih laying-layang, dan itulah masalahnya, sebab tak mungkin kan main laying-layang pada malam hari?
  • Dengan nalar yang sama, kita bisa bertanya apakah yang terbayang ketika si layang-layang itu direbutkan di tanah lapang? Harusnya kan di tempat yang juga remang-remang?
  • Begitulah, bait-bait berikutnya juga semakin meyusahkan saya untuk mengutuhkan bacaan saya, dan saya kecewa.

3. SAYA sangat percaya pada teori bahwa sajak yang baik adalah sajak yang oleh penyairnya dijaga keutuhannya, sambil ia juga menawarkan keasyikan-keasyikan proses pemaknaan dengan menjalin kompleksitas di sekujur sajaknya itu. Unitas dijaga dan . kompleksitas ditebarkan. Maka hasilnya adalah sajak yang asyik untuk ditelusuri.

4. SAYA yakin kandungan sajak di atas bisa dituliskan dengan lebih baik lagi, asal si penyairnya meninjau lagi metafora yang hendak ia pakai, memberdayakan lagi perangkat-perangkat puitika. Apa itu? Ya baca lagi teori Strukturalis, yang menjelaskan bahwa sajak terdiri atas struktur fisik dan struktur batin. Struktur fisik terdiri atas kosa kata yang dikuasai penyairnya, diksi, bahasa kias dll. Struktur batin terdiri atas tema, nada, dll.

5. Ah, saya cuma penyair bakat alam yang belajar otodidak. Anda, wahai penyair sajak ini, pun bisa juga melacak dan belajar sendiri teori-teori sajak (tanya Om Google-lah) belajar struktur sajak demi mempercanggih persajakan Anda.

Salam.

Read More...

Dari Catatan Harian Hingga Cerita Pendek

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Moh Fahmi Amrulloh

Goodbye…. (for now) oleh k4cruterz

Tulisan berjudul Goodbye yang saya baca adalah salah satu hasil persinggungan seorang penulis dengan satu peristiwa visual atau lebih yang terjadi sehari-hari di sekitarnya. Peristiwa visual tersebut diolah sedemikian rupa menjadi peristiwa tekstual yang kemudian disebut sebagai media ekspresi, entah isi hati sang penulis atau sekadar menyuarakan apa yang dilihat agar didengar orang lain.

Akan tetapi, jika sudah berhadapan dengan publik, lagi-lagi yang terjadi adalah bagaimana hasil ekspresi itu bisa dinikmati oleh orang banyak, berfungsi mencerahkan, dan tidak menghakimi. Memproduksi sebuah tulisan yang enak dibaca, lebih-lebih mencerahkan, bukan persoalan mudah. Prinsip tidak menganggap enteng sesuatu itulah menurut saya kunci yang harus ditanamkan dalam diri seorang penulis.

Seorang yang baru belajar menulis biasanya membekali dirinya dengan idealisme yang tinggi. Di satu sisi, idealisme memang diperlukan. Namun, jika si penulis tidak dapat mengendalikan diri, tentu saja hal itu akan membuatnya menemui kesulitan yang luar biasa. Mereka membayangkan bahwa menulis dan mempublikasikan tulisannya ke media (khususnya cetak) adalah semudah membalik telapak tangan. Pada akhirnya, justru yang didapat adalah kegagalan.

Kembali pada Goodbye ini. Entahlah, bagi saya tulisan ini hanya menerakan impresi yang biasa di benak saya, selain dia tak lebih dari sebuah laporan catatan harian seorang anak laki-laki yang sedang menunggu ayahnya melewati masa-masa kritis di sebuah rumah sakit. Seorang anak yang mengenang masa lalunya bersama sang ayah, dan kini mereka seolah bersiap untuk dipisahkan oleh kematian.

Tulisan ini diawali dengan berondongan pertanyaan yang cukup mengena dan tentu saja memungkinkan keterlibatan pembacanya. Setelah melempar pertanyaan-pertanyaan, barulah si penulis membuka “catatan harian”-nya.

Si penulis mengisahkan pergulatan batin seorang tokoh laki-laki yang belakangan namanya diketahui sebagai Mirza. Tokoh Mirza yang sedang bergulat dengan batinnya sendiri menjelang kematian sang ayah mencoba untuk tetap tegar pada saat itu.

Bukankah ini sebuah peristiwa yang wajar? Seorang anak, entah laki-laki atau perempuan, yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh orangtua akan bersedih. Seorang manusia yang ditinggal oleh sahabat tercintanya tentu akan merasa terpukul. Jadi, apa istimewanya sebuah cerpen yang mengangkat tema-tema yang selalu diulang?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita tidak bisa hanya dengan memakai kacamata normatif. Terlebih lagi dalam frame sastra, segala peristiwa yang dimunculkan oleh pengarang seperti pilihan-pilihan yang sengaja dibebaskan. Dengan kata lain, apa yang mencuat dalam suatu karya sastra adalah santapan siap saji. Pembaca yang tergila-gila pada karya-karya realis tentu mustahil menomorsatukan karya-karya surealis. Ibarat hobi kuliner, seseorang yang lidahnya terbiasa mencecap makanan pedas akan merasa sulit menyesuaikan diri dengan makanan daerah lain yang berciri khas manis.

Kendati disampaikan dalam format catatan harian, namun tulisan ini sebenarnya masih sangat mungkin untuk terus dikembangkan dalam cerita yang lebih luas. Masih banyak ruang-ruang yang perlu diisi oleh penulis, dengan catatan si penulis mau sedikit—syukur-syukur secara total—bersusah payah untuk terus melakukan eksplorasi. Anggap saja tema kelahiran, kehidupan, kematian, bahkan kehidupan setelah kematian sebagai stimulan yang menggelitik daya kreatifitas seorang penulis. Namun, bagaimana tema-tema itu diungkapkan dengan gaya yang lain dan orisinil, hal itu sudah menjadi wilayah prerogatif seorang penulis.

Satu catatan yang menurut saya sangat perlu diperhatikan oleh penulis cerita ini adalah terlalu “dermawan”-nya dia dalam memberikan tanda kutip. Misalnya, dalam kata ‘mencuci’, ‘menampar’, ‘Alam sana’, dan ‘rumah.’ Saya kira hal ini cukup mengganggu ketika saya membaca Goodbye ini. Sebuah karya sastra tidak melulu berfokus pada pesan yang ingin disampaikan, tapi bagaimana si penulis bermain-main dengan diksi, metafora, dan sebagainya tentu dengan sendirinya akan menunjukkan kelincahan sang penulis. Dan, untuk melatih kreatifitas seorang penulis bermain kata, saya kira tanda kutip seperti yang bertebaran dalam tulisan Goodbye ini saya sebaiknya digunakan dalam penulisan kolom opini, esai, catatan harian, atau yang lainnya. Terima kasih dan semoga membantu.

Read More...

“GOODBYE”: GODA AKU DENGAN…

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Hara Hope

Goodbye.... (for now) oleh k4cruterz


“Pernahkah engkau memandangi wajah dari seseorang yang begitu engkau kasihi saat sang ajal mulai perlahan merenggut cahaya kehidupan dari sekujur tubuhnya?

Pernahkah engkau menyaksikan saat hembusan nafas ditarik untuk terakhir kalinya?

Pernahkah engkau merasa begitu tak berdaya saat maut menjemput seseorang yang begitu berarti bagi kehidupan kita?

Aku pernah...”

Begitu cerpen ini diawali. Sebuah teaser. Teaser yang menggoda, terlebih dilontarkan dengan kalimat interogatif untuk kemudian diakhiri kalimat bernuansa “posesif”. Menurut hematku, pola teaser seperti ini sangatlah baik karena sangat membantu menularkan ke-aku-an si tokoh cerita kepada ke-aku-an pembacanya (reflektif).

Hanya saja (God, I hate this part ^_^), aku merasakan kekuatan teaser ini cenderung berkurang. Pada prinsipnya, teaser di sini memiliki kekuatan lebih pada dua kata, “pernahkah engkau…..,” yang truly madly deeply (song by Savage Garden ^_^) menggugah kesadaran pembaca bahwa si tokoh ingin berbagi pengalamannya yang bukan semata-mata akan terjadi pada si tokoh dalam sebuah fiksi, melainkan bisa juga terjadi dalam kehidupan nyata pembacanya. Dalam hal ini, si penulis cerpen telah berhasil mendekatkan pembaca secara psikologis pada kisahnya dengan gaya tuturnya yang lugas (lewat kata “pernahkah”). Dan kita tahu kedekatan pembaca terhadap sebuah cerita sangatlah penting keberadaannya.

Lalu apa yang membuat kekuatan ini berkurang?

Sebetulnya spekulatif, setiap pembaca mungkin akan memiliki pendapat masing-masing akan hal in. Tapi aku menengarai kalimat yang panjang pada kalimat, “Pernahkah engkau memandangi wajah dari seseorang yang begitu engkau kasihi saat sang ajal mulai perlahan merenggut cahaya kehidupan dari sekujur tubuhnya?” lah penyebabnya. Dengan kalimat panjang seperti ini, pembaca biasanya akan membutuhkan napas lebih panjang dan memori yang lebih besar untuk melahap makna dalam kalimat. Hal ini membuat “daya ingat” pembaca akan kata-kata terdahulu sedikit berkurang karena perhatiannya terpusat agar ia mampu menyelesaikan kalimat panjang itu dalam “satu tarikan napas.” Secara otomatis hal ini membuat kekuatan suspens yang ditumpukan pada awal kalimat pun akan berkurang.

Tidak percaya? Coba bandingkan dengan kalimat,

“Pernahkah engkau memandangi wajah seseorang yang begitu engkau kasihi menjelang ajalnya?”

Lebih ringkas, bukan? Kalimat ringkas yang sebenarnya bisa lebih disederhanakan lagi tergantung selera pembuat kalimatnya – karena hal ini hanyalah satu dari sekian masalah teknis sebuah cerpen. Tapi, seperti yang sudah kukatakan, ini “hanyalah” tentang perlunya membuat pembaca tidak cepat lelah dan hilang perhatiannya akibat kalimat panjang – bahkan terkadang kalimat terlalu pendek yang runtut.

Kemudian soal kalimat teaser berikutnya:

Pernahkah engkau menyaksikan saat hembusan nafas ditarik untuk terakhir kalinya?

Pernahkah engkau merasa begitu tak berdaya saat maut menjemput seseorang yang begitu berarti bagi kehidupan kita?

Sebuah rangkaian repetisi.

Ya, teaser ini dibangun dengan gaya repetisi dimana terjadi pengulangan suatu kata atau sebagian kalimat atau seluruh kalimatnya (F.X. Mudjihardja, 1988). Dan repetisi pada kalimat dua dan tiga ini dibangun untuk memperteguh kekuatan kalimat pertama sekaligus memberi informasi turunan darinya. Hanya saja (aku sudah sebutkan aku benci bagian ini, kan?) repetisi seringkali tak perlu disertai pengulangan kata lagi, sehingga rasanya kata “pernahkah engkau” di kalimat kedua dan ketiga tidak perlu lagi ada.

Adapun kalimat terakhir, yakni, “ Aku pernah,” merupakan eksekusi yang baik dari jajaran kalimat teaser ini.

Teaser bergaya semacam ini tentu bukan hal yang baru dalam dunia cerpen. Tapi bukan berarti pula teknik ini basi. Dan kukatakan sekali lagi, ini hanya satu dari sekian banyak teknik dalam pembuatan cerpen. Karena itu, untuk sekedar berbagi informasi (bukan untuk membandingkan, hanya ingin berbagi wawasan) aku coba cantumkan pula satu teaser bergaya interogatif. Begini isinya:

Sebelumnya aku harus bertanya ini dulu padamu: apakah kau menyukai keributan? Sesuatu yang lebih riuh dari acara ulang tahun temanmu yang menyebalkan dan membuatmu terpaksa menutup daun telinga. Keributan yang membuat kepalamu membesar melebihi kuali Ibu di dapur. Memaksamu untuk memukul-mukul kepalamu sendiri karena keributan itu tak kunjung berhenti padahal kau telah sangat ingin meledak karenanya.

Bila jawabmu ya, maka kau bukan temanku. Namun bila jawabanmu tidak, belum tentu keributan yang kita sukai adalah keributan yang sama.

Teaser di atas kunukil dari cerpen Ucu Agustin berjudul Vacuum Cleaner. Bisa kita lihat di atas, kalimat utama teaser ini ringkas, bukan? Teh Ucu baru berani bermain-main dengan kalimat panjang pada kalimat berikutnya sampai kalimat eksekusi teasernya.

Aku tentu tak akan bilang bahwa suatu teaser yang baik haruslah memiliki komposisi atau struktur kalimat seperti yang Teh Ucu bikin. Tapi sekali lagi kuungkapkan, bahwa dalam sebuah teaser kelimat utama yang menggugah keingintahuaan pembaca harus-haruslah jelas dan padat.

Oke, sebelum kita bosan membicarakan teaser, kita ulas teaser ini dengan mengorelasikannya dengan cerita utama.

Saat memulai membaca cerita utamanya, terus terang aku merasakan aura kematian menguar begitu kentara. Sungguh pun cerita ini bercerita tentang kematian, tapi rasanya tak semestinya hal ini muncul begitu hebat. Bagi pembaca yang sabar membaca hingga akhir, tentu tak akan bermasalah dengan hal ini. Tapi bagi pembaca yang merasa hanya punya waktu membaca yang sempit, hal ini akan membuatnya berani menebak-nebak endingnya sambil bergumam, “Akh, pasti endingnya mati.” Celakanya, orang seperti ini sangat peduli pada ending sehingga jika ia merasa sudah tahu endingnya, ia akan langsung meninggalkan bacaannya sekalipun bisa saja ia salah menduganya dan bisa saja inti ceritanya bukan soal itu.

Sebagai penulis, kita tentu tak menghendaki itu, bukan? Kalau bisa, kita jaring semua pembaca dengan berbagai tabiat dan karakteristiknya.

Namun yang perlu difokuskan di sini adalah kekurangrelevanan antara teaser dan pembuka cerita utama. Logikanya, teaser merupakan pembangun stigma untuk cerita utamanya. Tapi terkadang stigma dalam teaser saja tidak cukup. Perlu ditambah lagi dengan stigma dalam pembuka cerita utama. Bagiku, teaser di cerpen ini kurang lebih memberitakan bahwa apa yang ingin disampaikan dalam isi cerpen adalah pengalaman menemani seseorang -- lebih spesifik lagi: memandangi wajah seseorang -- menjelang kematiannya. Maka sederhananya, stigma di awal cerita utama pun pastilah mengenai stigma “memandang wajah seseorang menjelang ajal” ini. Entah melalui nuansa mencekam, mengharu biru, atau lain sebagainya, yang pada intinya mempersiapkan diri pembaca dulu merasa, mendengar, dan membayangkan peristiwa yang akan dilihatnya langsung di puncak cerita. Bahkan untuk menambah geregetnya, bila perlu pakai juga alur maju-mundur untuk lebih mengaduk-aduk perasaan pembaca dengan berbagai flashback kehidupan para tokohnya dengan sang ayah.

Ini saja yang dapay kubicarakaan dari cerpen ini. Sisanya adalah mengenai corak tulisan yang sepertinya sudah ditemukan oleh si penulis.

Entah semua yang membaca tulisan ini tahu atau tidak, bahwa aku menerima naskah ini tanpa disertai nama pemilik cerpen ini. Jadi aku membaca saja seperti membaca sebuah sobekan kertas koran tanpa tahu sobekan itu dari Kompas atau Lampu Merah. Aku pun tak pernah membacanya di K.com sebelumnya, walau aku merasa pernah melihat judulnya entah di daftar cerita terbaru, entah di mana (tanpa ingat nama penulisnya). Namun saat membaca cerita ini, aku rasanya seperti mengenal siapa gerangan si penulisnya. Lalu kucek di K.com, dan…Hei, aku menemukan sebuah nama. Dan nama itu sesuai dengan dugaanku!!

Kupikir ini patut diberi ucapan selamat. Sebab di usia muda kepenulisannya (menurutnya lho, saat kami berkesempatan mengobrol santai di Semanggi), ia sudah menemukan corak tulisnya.

Tapi jangan pernah tanyakan seperti apa corakmu. Dari pengalamanku yang masih hijau ini, aku pernah melihat penulis-penulis muda sepertimu – dan aku – yang terlalu sibuk mengidentifikasi coraknya sehingga ia lupa untuk mengembangkan tekniknya. Sebagian lain malah merasa drop karena ada yang menilai tulisannya mirip Kahlil Gibran lah, Khairil Anwar lah, seakan-akan mereka hanya bisa menjiplak gaya semata – padahal terkadang mereka sama sekali belum pernah membaca tulisan penulis yang “termirip-miripkan” itu.

Jadi setelah sedikit berbangga sejenak, lupakanlah bahwa ente punye gaye. Just do it (karena kita hanya menerima cash ^_^). Menulislah terus. Banyak-banyak berlatih. Corak-tulis hanyalah sampah jika kau tak mengembangkannya. Jangan lupakan juga hati kecilmu, pesan-pesanmu. Bagiku yang naif ini, sebuah pesan dalam sebuah cerita tetaplah utama.

So, maju terus pantang mundur!!

Toto tentrem kerto raharjo!!

Tat tit tut daun cereme saha nu hitut bujur na rame dibawa ka saung butut balik na pakceletut (wah hebat, sampai detik ini masih ada juga baca. Padahal aku cuma iseng nambahin bo!! Kik kik kik). Hara

Read More...

Resensi Puisi 'Sembilu Waktu'

Thursday, January 10, 2008 | Labels: , | 1 comments |

Oleh Budhi Setyawan

Sembilu Waktu oleh andi tafader

Saya memberikan komentar resensi untuk puisi yang berjudul SEMBILU WAKTU. Nama pengarang tidak saya ketahui, karena tidak dicantumkan ke email saya. Mungkin memang sengaja tidak diberitahukan oleh panitia. Dan saya sendiri, sebenarnya tidak punya kepentingan dengan para pengarang yang karyanya masuk ke panitia. Resensi dari saya tidak banyak, karena memang sedikit yang bisa diulas dari salah satu judul puisi yang dikirimkan kepada saya. Berikut resensi dari saya:

Pada awal bait pertama, baris pertama dan kedua; pengarang ingin mengatakan bahwa menunggu adalah pekerjaan yang membosankan, sesuatu yang tajam, laksana ‘sembilu’, terasa menyakitkan, menikam; diungkapkan sebagai ‘menyayat tiada terperih’. (di sini mungkin yang dimaksud adalah ‘terperi’ bukan ‘terperih’. Karena kalau ‘terperih’ artinya adalah paling perih.). Situasi yang menyakitkan itu juga merupakan misteri yang tak ada jawaban, iya atau tidak, diungkapkan dengan ‘sekelam segitiga bermuda’. Sedangkan kata-kata ‘menyimpan rahasia kematian’ hanya menjelaskan tentang segitiga Bermuda, bukan menjelaskan tentang perasaan pengarang.

Kemudian pada baris ketiga; tertulis ‘peluh yang menghulu’. Di sini pengarang ingin mengungkapkan bahwa kerinduannya kian mendalam, sampai-sampai peluh atau keringat kembali ke hulunya, ke dalam tubuh. Kegalauan yang amat sangat hingga peluh pun berbalik arah, merasuk kembali ke asalnya. Sedangkan pada baris keempat; diungkapkan bahwa desah nafas dari yang dirindukan, membuat terlena jiwa yang memang sebenarnya telah terjerat ke dalam perasaan rindu yang demikian erat, yang diungkapkan sebagai ‘terperangkap pusaran ombak’.

Pada bait kedua, baris pertama dan kedua; ungkapan ‘pada hari tempat matahari dan rembulan berbagi rasa’, apakah yang dimaksud adalah suasana senja hari, yang biasanya suasana temaram dan menimbulkan nuansa kesendirian? Sedangkan pada baris kedua, pengarang sebenarnya ingin mengungkapkan kerinduan yang telah menyesak, namun dalam pernyataannya ada semacam pertentangan. Di situ tertulis ‘aku tuangkan rindu yang telah ngilu membeku’. Mungkin maksud pengarang, karena sudah begitu lamanya memendam kerinduan, ingin ditumpahkan. Akan tetapi seperti ada yang kurang bisa disandingkan tentang menuangkan sesuatu (rindu) yang membeku. Ceritanya akan lain apabila penegasan rindu bukan dengan membeku, tetapi ‘rindu yang terus bergolak’, misalnya.

Dan pada baris ketiga dan keempat, pengarang ingin mengatakan bahwa sampai saat itu belum ada perubahan keadaan atau nasib, dan dalam perjalanannya belum bertemu dengan yang dirindukan, serta ungkapan ‘berselimut kenangan’ bisa diartikan sebagai selalu teringat dan tak bisa lepas dari bayangan masa lalu.

Secara umum bisa dikatakan bahwa pengarang ingin menceritakan tentang kerinduan kepada kekasih namun belum bertemu jua, dan selalu teringat kepada bayangan masa lalu.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Terima kasih.

Bekasi, 3 Januari 2008

Salam sastra,

Read More...

[Profil] Hasan Aspahani

Tuesday, January 8, 2008 | Labels: | 0 comments |

Lahir di Sei Raden, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kaltim, 9 Maret 1971. Setelah menyelesaikan kuliahnya di IPB melalui jalur PMDK dan memberdayakan ijazah sarjananya di beberapa perusahaan, Hasan Aspahani akhirnya kembali ke dunia tulis menulis lagi, maka sekarang bekerja sebagai Wakil Pemimpin Redaksi di Batam Pos. Di kota ini menjalani hidup bersama Dhiana (yang disapanya Na') dan Shiela dan Ikra (yang memanggilnya Abah).

Puisi-puisinya pernah terbit di sejumlah media, antara lain : koran Jawa Pos, koran Riau Pos, koran Batam Pos; juga dalam antologi : Sagang (2000), Cyberpuitika – antologi puisi digital (2002), dan Dian Sastro for President #2 (2003). Puisi Huruf-Huruf Hatta terpilih sebagai salah satu dari sepuluh puisi terbaik lomba puisi 100 Tahun Bung Hatta (2002), dan Les Cyberletress (2005).

Hasan Aspahani juga menjadi kartunis Post metro yakni sebuah kartun strip komik dengan tokoh utama "si Jeko" tukang ojek dengan kelucuannya (http://post-metro.blogspot.com). Sebagian besar puisinya dapat langsung dibaca di http://sejuta-puisi.blogspot.com.

Read More...

[Profil] Adi Toha

| Labels: | 0 comments |

Lahir di sebuah kota kecil di kawasan pantura bernama Pekalongan. Mulai tekun terjun di dunia buku, sastra dan tulis-menulis sejak berjualan buku di gerbang kampus Unpad dan berlanjut dengan sebuah kenekatan untuk membuka sebuah toko buku di kawasan Jatinangor -yang akhirnya berakhir tragis. Tapi tak apa, sebagaimana kata Coelho dalam The Alchemist “.. sebanyak apapun putaran yang harus dilakukan, asalkan tetap mengarah pada satu tujuan..” Dan tujuannya adalah membaca dan menulis sampai akhir hayat. Buku-buku yang membuat matanya hijau adalah buku-buku sastra, baik sastra negeri seberang ataupun negeri sendiri.

Belajar berkesenian dan bersastra secara otodidak dari buku-buku, diskusi-diskusi, milis-milis, forum-forum maya dan banyak hal. Sampai detik ini, masih berusaha untuk konsisten menulis. Cerpen, puisi, ulasan buku, tulisan ringan, adalah yang bisa ditulisnya, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menulis hal lain.

Beberapa cerpen dan puisi serta artikelnya telah dimuat di beberapa koran, seperti Batam Pos, Koran Sindo, Suara Pembaruan dan Pikiran Rakyat.

*Sumber: http://jalaindra.wordpress.com

Read More...