Resensi 'Anak Kampung'
Monday, November 26, 2007 | Labels: resensi, sesi 1 | 0 comments |Oleh Lisa Febriyanti
Anak Kampung oleh wehahaha
Anak Kampung adalah sebuah perenungan pengalaman yang dialami penulis. Sengaja dibuat terpenggal-penggal untuk menunjukkan ragamnya cuplikan kejadian yang didapatkan oleh penulis.
Dari segi penulisan, masih banyak typo error di sana sini yang perlu diperbaiki. Penulis bukan hanya bertugas menuangkan buah pemikirannya dalam kumpulan kata-kata yang memiliki makna. Namun, tugas akhir untuk menyunting menjadi penting untuk dilakukan, agar buah karya itu menjadi nikmat untuk disantap pembaca. Meskipun remeh temeh, typo error cukup mengganggu.
Anak Kampung oleh wehahaha
Anak Kampung adalah sebuah perenungan pengalaman yang dialami penulis. Sengaja dibuat terpenggal-penggal untuk menunjukkan ragamnya cuplikan kejadian yang didapatkan oleh penulis.
Dari segi penulisan, masih banyak typo error di sana sini yang perlu diperbaiki. Penulis bukan hanya bertugas menuangkan buah pemikirannya dalam kumpulan kata-kata yang memiliki makna. Namun, tugas akhir untuk menyunting menjadi penting untuk dilakukan, agar buah karya itu menjadi nikmat untuk disantap pembaca. Meskipun remeh temeh, typo error cukup mengganggu.
Selain itu, sudah menjadi peraturan yang telah disepakati bahwa karya sastra Indonesia semestinya mampu ditulis dalam ejaan bahasa Indonesia yang sempurna. Penggunaan bahasa asing seperti “enggak”, “lu”, “gua” dan berbagai kata yang tak termaktub dalam bahasa Indonesia mestinya ditulis miring. Beberapa tanda baca sempat pula terlewat untuk diperbaiki, misalnya tanda kutip untuk menunjukkan kalimat langsung yang mestinya tanpa spasi ternyata masih ada yang menggunakan spasi.
Membaca kisah Anak Kampung, saya berharap akan mendapatkan gambaran sebuah rentetan kejadian yang menabrakan modernitas dengan pandangan seorang anak yang jauh dari kata metropolitan. Greget itu samar nampak pada penggalan-penggalan awal. Namun kemudian sirna juga pada penggalan-penggalan berikutnya yang mengikutsertakan issue rasial, seperti cerita tentang anak bermata sipit yang ditaruh di meja pojok.
Saya pun kemudian menjadi gamang, sebenarnya pesan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Sebuah penutup yang sepertinya sengaja diberikan untuk taklimat akhir ternyata jauh dari judulnya, Anak Kampung. Penulis kemudian berbicara tentang sebuah kebaikan. Mungkin bisa lebih dideskripsikan tentang nilai kebaikan yang berjalinan dengan kehidupan anak kampung. Sehingga prosa bisa nampak utuh.
Saya percaya, tulisan yang akan terbenam dalam benak pembacanya, apapun bentuknya, adalah seperti sebuah colekan, sebuah gugahan bagi pembaca untuk bisa melihat hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Apalagi menurut perkiraan saya, tulisan Anak Kampung ini lebih mengarah pada nilai kritik sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini, menurut saya, nilai persuasif dalam tulisan mestinya lebih ditonjolkan. Pesan-pesan tentang moral mestinya lebih banyak diselipkan, bukan hanya mendeskripsikan sebuah penggalan kejadian. Sehingga, di akhir kata, pembaca kemudian ikut mengamini berbagai cuplikan kejadian yang disajikan.
Entah mengapa, saya masih merasa tulisan ini “kering”. Saya paham, rentetan kejadian memang dibuat lebih ringkas untuk menunjukkan ragamnya pengalaman. Saya pikir, pengkayaan kosa kata akan membuat tulisan ini lebih berbobot. Prosa, cerpen, puisi, novel, adalah kumpulan karya sastra yang bisa menjadi indah dengan berbaurnya kumpulan kata-kata indah di dalamnya, bukan hanya kisah tutur.
Bagi saya sendiri, menulis sama seperti mengajak pembaca ikut mengalun dalam alur cerita. Mengajak mereka serta merta terseret arus dalam kisah yang kita ujarkan melalui kata-kata. Berbeda dengan bahasa lisan yang mampu didramatisir oleh gesture tubuh, karya sastra hanya melibatkan panca indera yang lebih sedikit, sehingga alunan kata dalam mendeskripsikan sebuah peristiwa penting untuk disampaikan.
Namun demikian, secara ide cerita, Anak Kampung adalah salah satu dari sekian cerita yang menyoal kisah-kisah kecil di kehidupan sehari-hari yang mungkin bagi sebagian besar orang tak ditengok untuk dipikirkan lebih dalam. Ini menjadi menarik, jika dipresentasikan dengan lebih dramatis. Terus menulis, terus berkarya, teruslah berbicara tentang kehidupan. (life)
Membaca kisah Anak Kampung, saya berharap akan mendapatkan gambaran sebuah rentetan kejadian yang menabrakan modernitas dengan pandangan seorang anak yang jauh dari kata metropolitan. Greget itu samar nampak pada penggalan-penggalan awal. Namun kemudian sirna juga pada penggalan-penggalan berikutnya yang mengikutsertakan issue rasial, seperti cerita tentang anak bermata sipit yang ditaruh di meja pojok.
Saya pun kemudian menjadi gamang, sebenarnya pesan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Sebuah penutup yang sepertinya sengaja diberikan untuk taklimat akhir ternyata jauh dari judulnya, Anak Kampung. Penulis kemudian berbicara tentang sebuah kebaikan. Mungkin bisa lebih dideskripsikan tentang nilai kebaikan yang berjalinan dengan kehidupan anak kampung. Sehingga prosa bisa nampak utuh.
Saya percaya, tulisan yang akan terbenam dalam benak pembacanya, apapun bentuknya, adalah seperti sebuah colekan, sebuah gugahan bagi pembaca untuk bisa melihat hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Apalagi menurut perkiraan saya, tulisan Anak Kampung ini lebih mengarah pada nilai kritik sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam hal ini, menurut saya, nilai persuasif dalam tulisan mestinya lebih ditonjolkan. Pesan-pesan tentang moral mestinya lebih banyak diselipkan, bukan hanya mendeskripsikan sebuah penggalan kejadian. Sehingga, di akhir kata, pembaca kemudian ikut mengamini berbagai cuplikan kejadian yang disajikan.
Entah mengapa, saya masih merasa tulisan ini “kering”. Saya paham, rentetan kejadian memang dibuat lebih ringkas untuk menunjukkan ragamnya pengalaman. Saya pikir, pengkayaan kosa kata akan membuat tulisan ini lebih berbobot. Prosa, cerpen, puisi, novel, adalah kumpulan karya sastra yang bisa menjadi indah dengan berbaurnya kumpulan kata-kata indah di dalamnya, bukan hanya kisah tutur.
Bagi saya sendiri, menulis sama seperti mengajak pembaca ikut mengalun dalam alur cerita. Mengajak mereka serta merta terseret arus dalam kisah yang kita ujarkan melalui kata-kata. Berbeda dengan bahasa lisan yang mampu didramatisir oleh gesture tubuh, karya sastra hanya melibatkan panca indera yang lebih sedikit, sehingga alunan kata dalam mendeskripsikan sebuah peristiwa penting untuk disampaikan.
Namun demikian, secara ide cerita, Anak Kampung adalah salah satu dari sekian cerita yang menyoal kisah-kisah kecil di kehidupan sehari-hari yang mungkin bagi sebagian besar orang tak ditengok untuk dipikirkan lebih dalam. Ini menjadi menarik, jika dipresentasikan dengan lebih dramatis. Terus menulis, terus berkarya, teruslah berbicara tentang kehidupan. (life)