Dongeng Ritual Mandi dan Kedalaman Maksud

Friday, January 25, 2008 | Labels: , | 2 comments |

Oleh Dino Umahuk

Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas oleh gheta

Puisi adalah karya sastra yang bersifat imajinatif sekaligus konotatif. Dibanding bentuk karya sastra lain, bahasa puisi lebih memilki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan karena terjadinya konsentrasi atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi yang sangat padat bersenyawa secara padu bagaikan gula dalam larutan kopi.

S. Effendi menyatakan bahwa dalam bahasa puisi terdapat bentuk permukaan yang berupa larik, bait dan pertalian makna larik bait. Kemudian penyair berusaha mengkonkretkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep abstrak dengan menggunakan pengimajian, pengiasan dan peambangan. Dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya penyair bertitik tolak pada „mood” atau „atmosfer” yang dijelmakan oleh lingkungan fisik dan psikologi dalam puisi. Dalam memilih kata-kata, diadakan perulangan bunyi yang mengakibatkan adanya kemerduan atau eufoni. Jalinan kata-kata harus mampu memadukan kemanisan bunyi dengan makna (S. Effendi 1982:xi)

**
Dalam kaitan itu, sebuah puisi berjudul Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas telah di kirim ke email saya oleh panitia KOPDAR 2 Kemudian.com. Puisi ini dikirim ke saya tanpa nama penulisnya. Mungkin ini kesengajaan dari panitia agar peresensi tidak mengetahui identitas penulis puisi. Namun karena tidak mengetahui siapa penulisnya, saya agak kesulitan untuk menerawang suasana kebatinan dan latar belakang lahirnya puisi ini. Tapi baiklah saya akan mencoba memberikan apresiasi yang mudah-mudahan tidak salah dan keliru.

Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya
Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari
Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua
Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup
Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip
Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti
Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan
Ritual mandinya belum tuntas
Kulit kaki belum lepas
Nanti malam masih dipakainya berjalan

Macul,14 Maret07
***

Mandi secara harafiah berarti upaya seseorang untuk menyegarkan badan sekaligus membersihkan badannya dari berbagai jenis kotoran. Kenapa mandi, karena dalam puisi ini, secara implisit memperlihatkan upaya seseorang untuk membersihkan dirinya dari berbagai kotoran itu kotoran yang melekat di badan dan maupun kotoran jiwanya. Lihat bait-bait berikut: Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua/ Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup/ penat disini bisa dikiaskan sebagai dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dan kesadaran ini diperoleh setelah menyaksikan kematian /Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari/. Setelah melihat bagaimana seorang hamba tak berdaya menghadapi maut, menghadapi takdir kematian. Setelah melihat betapa tak bisa apa-apanya sebuah kerangka manusia selain pasrah pada tanah kuburan.

Dalam ajaran Agama Islam, mandi memiliki makna membersihkan diri dari hadas/najis, baik najis besar maupun najis kecil. Jika perpijak pada dua bait berikut: Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti/Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan/ maka mandi yang dimaksudkan si penyair dapat disebut sebagai upaya untuk membersihkan diri dari berbagai dosa karena usia yang semakin menua sebagaimana dikiaskan sebagai Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip.

Apa yang bisa saya simpulkan dari puisi yang coba saya hayati adalah sebentuk upaya membersihkan diri atau semacam cuci dosa. Dalam puisi ini sang penyair berupaya membersihkan disebabkan oleh dosa-dosanya di sepanjang usia sebagai makhluk yang berupaya dekat dengan Rabb, dengan Tuhan.

Memang tidak semua penyair menulis sajak untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, dalam puisi Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas sang penyair, hemat saya, tengah berusaha merapatkan diri pada hakikat keindahan, kebenaran, dan kejernihan.

Penyair yang kata Saini KM, adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia juga kayu dalam pembakaran, tengah berusaha berjalan ke inti kehidupan, kepada Tuhan.

Meskipun sang penyair sadar bahwa setelah pemandian, pensucian dan pertobatan, dosa-dosanya belum habis terkikis. Ini dikiaskan kembali dalam Ritual mandinya belum tuntas/Kulit kaki belum lepas. Karena sebagai makhluk yang lemah, sebagai manusia yang doif, ia selalu dengan sangat gampang tergelincir untuk berbuat dosa. Sangat gampang untuk ditaklukkan kembali oleh nafsu dan setan.

Sang penyair juga terpaku pada ketersadaran bahwa hari esok masih harus terus iya jalani sebelum ajal menjemput, sebagaimana di sampaikan pada bait penutup. /Nanti malam masih dipakainya berjalan. Namun sayang ia tak tak memintal doa-doa sebagai bekal untuk melangkah.

Entah berjalan kemana kita sesungguhnya sama-sama tak tahu. Hanya sang penyair yang mengerti hendak kemana nasib akan dibawa. Entah menuju ke langit dengan wajah selembut bidadari atau menuju neraka dengan wajah sehitam iblis.

Wallahu a'lam bis Shawab.
Serambi Mekah, Jumat 24 Januari 2008

Read More...

LEKONG & LEKONG DALAM CERITA

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Hara Hope

Judul di atas kugunakan sekedar untuk menalikan dua buah cerpen berjudul “Aku Mencintainya” dan “Cintaku Terhalang Kelamin” yang memiliki tema yang sama, yakni: cinta terhadap sesama jenis.

Cerita pertama, “Aku mencintainya,” diuraikan dengan gaya drama keluarga, sedangkan cerita kedua, “Cintaku Terhalang Kelamin,” diuraikan dengan gaya drama abu-abu – jika tidak boleh dikatakan semi-stensil ^_^

AKU MENCINTAINYA oleh yosi_hsn

Cerita ini digarap dengan apik oleh penulisnya. Aliran kata-kata cukup terjaga mood-nya dan diksi tersusun rapi. Sang penulis pun cukup memiliki kesabaran dengan membuka informasi cerita secara bertahap sembari dibumbui selingan flashback/uraian profil tokohnya.

Hanya saja, aku merasakan tema yang diusung cenderung klise, yakni tentang “Salahkah mencintai sesama jenis?”. Di samping itu, aku sebenarnya merasakan kebiasan penulis untuk memfokuskan arah cerita ini. Pada bagian awal kisah muncul kesan bahwa kisah ini berfokus pada Ares dan Fuji, terutama Ares yang apapun sikapnya akan menjadi unsur penting dalam cerita bahkan menjadi penyelesai konflik dalam cerita. Tapi kemudian cerita berpindah fokus pada masalah konflik Fuji versus orangtua yang tak menyetujui “model” perasaan yang dimiliki Fuji. Dan terakhir fokus cerita ada pada audisi resital Fuji.

Sebenarnya, kalau kita kembali kepada judul, kita pun akan sama memaklumi bahwa cinta Fuji terhadap Tezar lah yang menjadi penyambungnya. Tapi kedudukan Tezar dalam cerita pun tampak tidak kuat. Aku menengarai bahwa kisah yang disajikan dalam bentuk penceritaan ulang dari seorang tokohlah penyebabnya. Hal ini menyebabkan pembaca tidak bisa melihat secara langsung konflik yang terjadi dalam keluarga itu plus Tezar. Yang diperlihatkan secara langsung justru hanya tentang bagaimana persuaan kembali Tezar dengan anggota keluarga musisi itu, sementara saat terjadinya konflik, yang menurutku penting, cenderung diceritakan ulang secara naratif saja.

Dengan kata lain, fokus yang ingin ditunjukkan melalui cerita ini tampaknya terlalu kompleks untuk sebuah cerpen.

Kemudian tentang latar cerita. Terus terang aku bingung menengarai cerita ini berpijak di mana. Saat membaca bagian awal cerita, kupikir kisah ini berlatar di Indonesia, atau setidaknya tentang orang Indonesia. Tapi saat membaca bagian akhir, baru aku tahu nama lengkap Fuji adalah Harera Fujiko yang identik Jepang sekali. Tapi persoalannya, aku tak menemukan sedikit pun nuansa lokal yang menunjukkan bahwa ini terjadi di Jepang, atau setidaknya terjadi pada keluarga Jepang. Pun tidak terjejak kemungkinan cerita ini terjadi pada sebuah keluarga blasteran – yang dapat menjadi keterangan tambahan mengapa nama anak-anak dalam keluarga itu berasal dari berbagai latar budaya dunia.


CINTAKU TERHALANG KELAMIN oleh dhika moreno

Cerita ini lain lagi. Penulisnya sepertinya tak hendak membawa kisah ini pada pergulatan tentang salah/benarnya hubungan sesama jenis. Ia lebih menekankan pada sensasi yang dialami seorang tokoh dari perjumpaan pertama dengan sesama jenis, kemudian jatuh cinta, hingga akhirya mengikuti permainan sang Cinta sekalipun tetap sadar bahwa hubungan mereka hanyalah fana.

Dan sekali lagi kubilang, gaya bahasa tulisan ini abu-abu/semi-stensil mengingat ada banyak ungkapan “menggemaskan” dan “adegan ranjang”-nya. Tapi untunglah penulis tak berniat menggiringnya menjadi fiksi cabul, karena ia menggambarkannya dengan cukup “sah-sah” saja.

Hanya saja, (lagi-lagi) aku merasakan kebiasan fokus cerita. Jika membaca model tuturannya, akan tampak kiranya ia ingin menggunakan teknik cerita “menyembunyikan- dahulu- identitas- si- tokoh- baru- kemudian- membukanya- di- akhir- kisah- sebagai- kejutan- bagi- pembaca.” Tapi pemilihan judul yang sudah kepalang menunjukkan identitas si tokoh ini pun sudah jauh-jauh mementahkan dugaan ini.

Menengarai cerita ini menggunakan teknik “membeberkan- identitas- pelaku- dulu- baru- menyajikan- dramanya- kemudian” pun rasanya tak terlalu kelihatan, mengingat drama dalam kisah ini tak terlalu dieksplorasi.

Yang lebih menjadi perhatianku adalah kurangnya penggambaran kedua tokoh dalam cerita ini. Entahlah, tapi rasanya bagiku penggambaran ini perlu untuk makin mendekatkan cerita pada pembacanya, seperti misalnya sesuatu yang menggambarkan apakah kedua tokoh ini tampak seperti lelaki tulen biasa, atau salah satunya kebanci-bancian, atau justru salah satunya berperawakan banci.

Segitu aja kali ya. Maaf kalau ada salah-salah kata dan analisa.
Peace!! ^_^ V

Read More...

Resensi Prosa 'Pekerjaan Iin'

Thursday, January 24, 2008 | Labels: , | 0 comments |

Oleh Amalia Suryani

Pekerjaan Iin oleh yosi_hsn

Cerita dengan pesan bijak di dalamnya tanpa berlagak menggurui. Cerita seperti inilah yang disukai banyak orang sebab dimana-mana orang tidak suka digurui (orang cenderung merasa diri ini sudah tahu banyak hal atau lebih tahu daripada orang lain).

Cerita ini berjalan dengan sederhana dan alurnya rapi. Sekali lagi, jenis tulisan yang tidak terburu-buru untuk sampai pada akhir cerita.

“Pekerjaan Iin” menampilkan sisi kehidupan pembantu rumah tangga yang jarang dibicarakan (bukan PRT-nya yang jarang, tapi sisi “pandangan PRT pada majikannya” yang jarang dibahas). Tanpa menempatkan kedua karakter itu dalam peran antagonis atau protagonis.

Keduanya adalah manusia biasa dengan karakter sewajarnya. Bu Sudi sebagai majikan dan Iin sebagai pembantunya. Meski cerita ini memilih sudut pandang Iin, saya yakin penulis bisa menceritakan sudut pandang Bu Sudi dengan menarik juga.

“Bukan lingkungan yang harus berubah untukmu, tapi kau yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan itu.”

Dalam konteks “Pekerjaan Iin”, pesan itu pas disampaikan sebagai penutup cerita. Kata “menyesuaikan” tentu dipilih dengan hati-hati. Hanya saja kata tersebut bisa berarti ganda; 1) lingkungan tidak perlu berubah, kita lah yang berubah dan 2) lingkungan tidak perlu berubah, kita toleran. Yang diambil Iin adalah yang kedua, saya rasa.

Tapi pernyataan semacam ini tidak bisa berlaku untuk konteks yang berbeda sebab kadang kita perlu bersikap “steady”, tidak terbawa suasana, tidak terbawa lingkungan yang tidak sesuai dengan nurani kita. Namun sekali lagi, hal itu berlaku di konteks yang sama sekali berbeda dengan yang dialami Iin.

Read More...

Resensi Prosa 'Lonte?'

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Amalia Suryani

Lonte? oleh Ananda

Daya tarik LONTE adalah si penulis tidak menjelaskan apa itu “lonte” pada pembaca sampai akhir cerita. Pembaca dipaksa untuk menerjemahkan sendiri (bagi yang belum tahu istilah lonte) dan dibuat penasaran (bagi yang sudah tahu) bagaimana si penulis akan mendefinisikannya.

Cerita ini lucu. Ada fakta-fakta tersembunyi yang sangat menarik. Saya sih tidak tahu fakta itu sengaja dibuat samar atau sebenarnya tidak ada artinya. Yang jelas menurut saya menarik sekali.

Pertama. Fakta bahwa tokoh Ririn mendapat istilah “lonte” dari ayahnya. Kenapa ayahnya menyebutkan kata “lonte” di depan anaknya? Sengaja atau tidak?

Kedua. Si Ayah mengucapkan “kamu lonte, dasar anak lonte!”. Yang ini juga menarik sebab sepertinya menjelaskan alasan tidak adanya karakter Ibu di cerita ini. Jangan-jangan memang ibu Ririn memang seorang lonte.

Ketiga. Penulis tidak terburu-buru menjelaskan arti “lonte” untuk pembaca. Saat Ririn bertanya pada teman-temannya, penulis tetap bertahan tidak membeberkan definisi “lonte” dengan mudahnya. Bahkan Ibu Guru juga tidak berbaik hati memberitahu Ririn apa itu “lonte”, dan tidak repot-repot melarang Ririn menyebut dirinya “lonte”. Dengan lugunya, Ririn dibiarkan mengartikan sendiri “lonte” menurut pemahamannya sebagai anak umur enam tahun.

Kalau diminta menyebutkan kelemahan cerita ini, saya terpaksa bilang agak kecewa saja dengan ending-nya. Bukan karena masih tidak terpapar apa itu “lonte”, tapi karena kejadian Ririn memanggil seorang perempuan seksi dengan sebutan “lonte”. Padahal sebelumnya Ririn mengartikan “lonte” sebagai senyum manis, sementara Kakak Seksi tidak digambarkan sebagai orang yang manis, melainkan seksi.

Sepertinya cerita ini bakal lebih menarik kalau Ririn menyebut seorang Kakak Manis dengan sebutan “lonte”, hingga si Kakak Manis tersinggung dan terluka hatinya dikatai “lonte” oleh seorang anak kecil.

Read More...

Resensi Puisi 'Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas'

| Labels: , | 1 comments |

Oleh Nanang Suryadi

Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas oleh gheta

Sajak ini berjudul: Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas. Dari judulnya, penulis menggiring pembaca untuk masuk ke dalam sebuah dongeng atau cerita. Sesuai dengan judulnya, sajak ini memang bercerita. Penulis menarasikan tentang suatu kejadian, yaitu tentang ritual mandi. Mengapa mandi menjadi suatu ritual? Jika ritual diterjemahkan sebagai suatu hal yang wajib dan rutin dilakukan dengan urut-urutan yang sama, mungkin memang dapat dikatakan bahwa mandi merupakan ritual bagi seseorang. Mari kita simak sajak Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas.

Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya
Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari
Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua
Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup
Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip
Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti
Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan
Ritual mandinya belum tuntas
Kulit kaki belum lepas
Nanti malam masih dipakai jalan

Macul,14 Maret07

Dalam sajak ini siapa subyeknya? Pada baris pertama, hanya muncul “kulit lusuh”. Apakah “kulit lusuh” sudah mencukupi, sepertinya tidak. Mungkin, akan lebih baik jika dimunculkan “subyek” yang memiliki “kulit lusuh” ini, di awal sajak. Karena akan menjadi ganjil ketika sang subyek alias “ Ia” muncul tiba-tiba di baris kedua dan baris ketiga. Secara teknis, susunan kalimat atau frasa masih perlu diperbaiki. Misalnya kalimat: Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari. Apa yang kurang dari kalimat ini? Mungkin pembaca dapat menunjukkannya jika melihat dengan menggunakan kadiah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Menurut saya, sajak ini dapat menjadi lebih bagus lagi, jika penulisnya mau mencoba untuk masuk ke dalam sajaknya tersebut dan membuang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Saya sangat menghargai kemauan penulisnya untuk mencoba menciptakan frasa-frasa unik, misalnya: “keringat tersimpan rapi”, “siku hidup” Permainan bunyi juga sudah terasa, misalnya: “penat terlihat” namun masih kurang dikembangkan.

Begitulah kesan saya pada sajak ini.

Read More...