LEKONG & LEKONG DALAM CERITA

Friday, January 25, 2008 | Labels: , | |

Oleh Hara Hope

Judul di atas kugunakan sekedar untuk menalikan dua buah cerpen berjudul “Aku Mencintainya” dan “Cintaku Terhalang Kelamin” yang memiliki tema yang sama, yakni: cinta terhadap sesama jenis.

Cerita pertama, “Aku mencintainya,” diuraikan dengan gaya drama keluarga, sedangkan cerita kedua, “Cintaku Terhalang Kelamin,” diuraikan dengan gaya drama abu-abu – jika tidak boleh dikatakan semi-stensil ^_^

AKU MENCINTAINYA oleh yosi_hsn

Cerita ini digarap dengan apik oleh penulisnya. Aliran kata-kata cukup terjaga mood-nya dan diksi tersusun rapi. Sang penulis pun cukup memiliki kesabaran dengan membuka informasi cerita secara bertahap sembari dibumbui selingan flashback/uraian profil tokohnya.

Hanya saja, aku merasakan tema yang diusung cenderung klise, yakni tentang “Salahkah mencintai sesama jenis?”. Di samping itu, aku sebenarnya merasakan kebiasan penulis untuk memfokuskan arah cerita ini. Pada bagian awal kisah muncul kesan bahwa kisah ini berfokus pada Ares dan Fuji, terutama Ares yang apapun sikapnya akan menjadi unsur penting dalam cerita bahkan menjadi penyelesai konflik dalam cerita. Tapi kemudian cerita berpindah fokus pada masalah konflik Fuji versus orangtua yang tak menyetujui “model” perasaan yang dimiliki Fuji. Dan terakhir fokus cerita ada pada audisi resital Fuji.

Sebenarnya, kalau kita kembali kepada judul, kita pun akan sama memaklumi bahwa cinta Fuji terhadap Tezar lah yang menjadi penyambungnya. Tapi kedudukan Tezar dalam cerita pun tampak tidak kuat. Aku menengarai bahwa kisah yang disajikan dalam bentuk penceritaan ulang dari seorang tokohlah penyebabnya. Hal ini menyebabkan pembaca tidak bisa melihat secara langsung konflik yang terjadi dalam keluarga itu plus Tezar. Yang diperlihatkan secara langsung justru hanya tentang bagaimana persuaan kembali Tezar dengan anggota keluarga musisi itu, sementara saat terjadinya konflik, yang menurutku penting, cenderung diceritakan ulang secara naratif saja.

Dengan kata lain, fokus yang ingin ditunjukkan melalui cerita ini tampaknya terlalu kompleks untuk sebuah cerpen.

Kemudian tentang latar cerita. Terus terang aku bingung menengarai cerita ini berpijak di mana. Saat membaca bagian awal cerita, kupikir kisah ini berlatar di Indonesia, atau setidaknya tentang orang Indonesia. Tapi saat membaca bagian akhir, baru aku tahu nama lengkap Fuji adalah Harera Fujiko yang identik Jepang sekali. Tapi persoalannya, aku tak menemukan sedikit pun nuansa lokal yang menunjukkan bahwa ini terjadi di Jepang, atau setidaknya terjadi pada keluarga Jepang. Pun tidak terjejak kemungkinan cerita ini terjadi pada sebuah keluarga blasteran – yang dapat menjadi keterangan tambahan mengapa nama anak-anak dalam keluarga itu berasal dari berbagai latar budaya dunia.


CINTAKU TERHALANG KELAMIN oleh dhika moreno

Cerita ini lain lagi. Penulisnya sepertinya tak hendak membawa kisah ini pada pergulatan tentang salah/benarnya hubungan sesama jenis. Ia lebih menekankan pada sensasi yang dialami seorang tokoh dari perjumpaan pertama dengan sesama jenis, kemudian jatuh cinta, hingga akhirya mengikuti permainan sang Cinta sekalipun tetap sadar bahwa hubungan mereka hanyalah fana.

Dan sekali lagi kubilang, gaya bahasa tulisan ini abu-abu/semi-stensil mengingat ada banyak ungkapan “menggemaskan” dan “adegan ranjang”-nya. Tapi untunglah penulis tak berniat menggiringnya menjadi fiksi cabul, karena ia menggambarkannya dengan cukup “sah-sah” saja.

Hanya saja, (lagi-lagi) aku merasakan kebiasan fokus cerita. Jika membaca model tuturannya, akan tampak kiranya ia ingin menggunakan teknik cerita “menyembunyikan- dahulu- identitas- si- tokoh- baru- kemudian- membukanya- di- akhir- kisah- sebagai- kejutan- bagi- pembaca.” Tapi pemilihan judul yang sudah kepalang menunjukkan identitas si tokoh ini pun sudah jauh-jauh mementahkan dugaan ini.

Menengarai cerita ini menggunakan teknik “membeberkan- identitas- pelaku- dulu- baru- menyajikan- dramanya- kemudian” pun rasanya tak terlalu kelihatan, mengingat drama dalam kisah ini tak terlalu dieksplorasi.

Yang lebih menjadi perhatianku adalah kurangnya penggambaran kedua tokoh dalam cerita ini. Entahlah, tapi rasanya bagiku penggambaran ini perlu untuk makin mendekatkan cerita pada pembacanya, seperti misalnya sesuatu yang menggambarkan apakah kedua tokoh ini tampak seperti lelaki tulen biasa, atau salah satunya kebanci-bancian, atau justru salah satunya berperawakan banci.

Segitu aja kali ya. Maaf kalau ada salah-salah kata dan analisa.
Peace!! ^_^ V

0 comments: