Sesi III Resensi

Saturday, December 8, 2007 | Labels: , | 0 comments |

Start:17 Desember 2007
Location:Kemudian.com

Materi : 2-4 puisi, 4 prosa

Peresensi :
Zabidi Ibnoe Say
Nanang Suryadi
Mikael Johani
Amalia Suryani
Setiyo Bardono
Ratih Kumala

Prosa :
Danau Kematian (Ratih Kumala)
Menunggu Hujan (Setiyo Bardono)
Nature Romance (Setiyo Bardono)

(detil peresensi masih akan bertambah dan detil karya menyusul)

Read More...

Sajak-sajak Yang Tak

Sunday, December 2, 2007 | Labels: , | 0 comments |

Oleh M. Aan Mansyur


0.

23 NOVEMBER 2007 lalu, sebuah surat berisi tiga sajak tiba di kotak surat saya. Sayang sekali, tak satu pun di antara ketiga sajak itu menurut saya menarik buat diulas. Lalu saya melupakannya—dan tiga sajak itu pun tertimbun surat-surat lain yang datang. Tiba-tiba, beberapa jam yang lalu, sewaktu berada di toilet, saya mengingat janji saya untuk membuat ulasan sajak. Astaga, sudah melewati batas hari yang ditentukan pula! Tetapi, pikir saya, tak ada salahnya tetap membuat ulasan itu. Maka saya bongkar kotak surat dan kemudian menemukan tiga sajak itu lagi—syukur, saya tidak menghapusnya waktu itu.

Kali ini saya hanya ingin membagi kesan seusai membaca sajak-sajak yang dikirim itu. Saya, terus-terang saja, bingung mengulasnya dengan cara apa. Saya ingin menyebut ketiga sajak itu sebagai ‘sajak-sajak yang tak’. Dan lagi, saya sudah tidak cukup punya waktu, sebentar lagi tulisan ini harus tayang, kata seseorang di Yahoo Messenger yang menagih janjiku dengan cara yang amat sopan. Maka dalam posisi ini saya bukanlah pengulas melainkan pembaca saja. Semoga tak mengapa.

1.

Rutinitas Lima Belas Menit oleh pikanisa

SEBENARNYA MALAM ini saya sedang sangat tidak bersemangat, banyak sekali hal yang mesti saya selesaikan tetapi terabaikan entah karena apa. Maka, saya memilih pertama kali satu di antara tiga sajak itu yang mungkin bisa menghibur saya, membuat saya tertawa atau setidaknya tersenyum.

Meski sebenarnya sangat tidak lucu, sajak berjudul Rutinitas Lima Belas Menit yang akhirnya saya pilih. Saya pikir di antara ketiganya sajak ini yang paling diniatkan oleh penulisnya jadi sajak lucu. Tetapi dengan sedih saya katakan: sajak ini gagal membuat saya terhibur.

Seusai membaca sajak ini, saya seolah baru saja mendengar seorang teman saya yang selalu mau disebut komedian (yang tak perlu saya sebut namanya) menceritakan sebuah banyolan yang sudah sangat sering ia ceritakan. Saya tetap tertawa. Dan selalu begitu, saya selalu tertawa. Saya tertawa bukan karena ceritanya lucu. Saya tertawa karena cerita yang ia pikir lucu itu bagi saya sangat tidak lucu—dan di situlah lucunya, ternyata.

Tawa yang baru saja saya lontar dan dengar sendiri itu tidak menghibur sama sekali, malah menyakiti. Saya merasa bersalah. Ah, bagaimana mengatakannya dengan tepat? Saya bingung sendiri.

Baiklah saya coba membacanya sekali lagi.

Mustafa dan Maria tidak bisa tidur. Hasrat yang telah didera ingin segera dilampiaskan. Hari itu sangat dingin. Cuaca hari itu memang sangat dingin. Hingga… cuaca membuat hasrat diantara mereka tidak lagi bisa tertahan.Kemudian,……Mustafa cepat-cepat masuk bilik, Maria cepat-cepat masuk bilik. Mustafa cepat-cepat buka sarung, Maria cepat-cepat buka rok. Mustafa cepat-cepat buka celana, Maria…cepat-cepat buka celana. Maria mengangkangkan kakinya, Mustafa duduk. Kemudian……… Sebuah erangan. Sebuah rintihan. “Yes… oh…. No…. oh…. My Good” Keringat tak henti membasahi tubuh mereka. Mustafa mengejan, Maria mengejan. Ini ritual mereka dua kali sehari. Lima belas menit untuk setiap kalinya. Dan setelah menunggu selama itu akhirnya…. “PLUNG !!!……….” Hasil akhirnya adalah senyum kelegaan. Setelah itu terdengar bunyi air diguyur. Ini ritual dua kali dalam sehari. Maria dan Mustafa keluar dari bilik. Ini adalah sebuah bilik sakral. Kita memberi nama Toilet, mereka memberi nama WC.

Saya dengan lancang mengubah topografi Rutinitas Lima Belas Menit menjadi sebuah ‘cerpen pendek’—kepada penulisnya, maafkan saya! Sengaja saya melakukannya demi mencari ‘sensasi baru’ yang saya tidak temukan waktu pertama membacanya. Mungkin dengan bentuk baru ini saya menemukan kelucuan yang saya butuhkan dari semula.

Saya membayangkan penulis sajak ini sebenarnya ingin bercerita seperti seorang cerpenis. Ia ingin membuat sebuah cerita pendek dengan akhir yang menghentak. Kekuatan cerita yang ia mau bangun terletak di akhir. Tetapi, sekali lagi saya katakan, ia gagal bahkan ketika ia membuat cerita pendek itu sangat pendek.

Bisa juga dikatakan bahwa penulis ini sebenarnya hendak jadi seorang sutradara film pendek. Biasanya film-film pendek meletakkan kekuatannya di akhir. Tetapi, sebagai film, Rutinitas Lima Belas Menit pun gagal. Tak ada gambar-gambar yang cukup kuat yang membuat saya tertegun dan kemudian kaget di akhirnya.

Ataukah mungkin sebenarnya ide cerita yang diolah penulis ini sudah sangat usang? Seperti saya bilang tadi bahwa ini adalah banyolan yang hanya mampu membuat kita tertawa karena ketidaklucuannya. Tetapi bukankah kita bisa menemukan banyak cerita yang bersumber dari hal-hal usang dan tetap membuat kita terpana? Ah, saya susah menjawabnya. Jika begini, betullah dugaan awal saya bahwa Rutinitas Lima Belas Menit adalah sebuah ‘sajak yang tak’.

2.

Sebuah Repertoar: Menggugat Lelaki dan Perempuan oleh pikanisa

SEBUAH REPERTOAR: Menggugat Lelaki dan Perempuan, ini sajak kedua yang saya pilih setelah sajak tentang sepasang orang yang buang air besar tadi. Ini juga berkisah tentang pasangan, lelaki dan perempuan. Keduanya sedang menggugat diri mereka, setidaknya itulah yang dikatakan judul sajak ini.

Ini juga sebuah sajak yang tak mengambil hati saya ketika membacanya pertama kali. Sudah saya katakan sebelumnya, bukan? Maka kali ini saya ingin menontonnya sebagai sebuah pementasan teater. Toh, memang penulis membuatnya sebagai rangkaian dialog.

Sayang sekali, tak ada hal-hal visual yang bisa menarasikan sesuatu dari pementasan teater ini. Hanya ada seorang perempuan dan seorang lelaki saling bersahut-sahutan. Artinya saya tak perlu menggunakan mata saya, sebab tak banyak hal yang bisa dilihat. Lalu saya menutup mata dan mendengar dialog-dialognya saja. Dan berubahlah jadi sebuah sandiwara radio—atau sepasang kekasih di kamar sebelah yang sedang berkelahi?

Jika tidak bisa menemukan kekuatan melalui gambar dan saya kira penulis satu ini memang tidak ingin meletakkannya di sana, saya ingin mencarinya lewat dialog-dialog itu. Bukankah kekuatan sebuah teater atau sandiwara salah satunya sangat ditentukan oleh dialog? Saya coba mendengarnya berkali-kali. Tetapi, ah, lagi-lagi tak ada yang menarik yang diucapkan kedua orang itu.

Sepertinya kedua orang ini sedang berlatih menghafalkan sebuah skenario saja. Mereka belum mementaskannya. Atau lebih parah lagi, sebenarnya mereka baru saja sedamg mencari-cari kalimat yang bagus buat dituliskan. Mereka belum selesai menuliskannya. Kalau begitu, Sebuah Repertoar: Menggugat Lelaki dan Perempuan juga hanya ‘sajak yang tak.’

3.

Aku, Kau… Kita oleh Littleayas

SEPERTI YANG saya bilang di awal tulisan ini, saya sedang tidak bersemangat. Ditambah lagi, saya belum mengatakan sebelumnya, saat menuliskan semua ini Makassar sedang diguyur hujan deras. Maka ketika saya melihat sajak ketiga adalah sajak cinta, ah, saya tambah tidak bersemangat. Saya sedang tidak ingin larut dan mengingat kekasihku yang sedang berada di Jakarta karena hujan dan sajak cinta ini. Lagi pula, di ponsel saya sedang tidak ada pulsa buat menelpon—sudah habis karena menelponnya kemarin, mengucapkan selamat ulang tahun yang panjang sekali.

Tapi bagaimana lagi, saya tetap harus membacanya. Aku, Kau… Kita, itu judulnya. Kenapa harus memilih judul seperti itu? Tidak ada lagikah judul yang lebih baik? Coba kita lihat baris-baris yang ada di bawahnya, siapa tahu ada sebaris yang bisa menggantikan judul itu. Toh, sajak ini saya lihat seperti susunan calon-calon judul belaka. Coba lihat!

Kau ada untukku
Menghangatkan hati
Mengusir Sepi
Membunuh galau
Selayaknya telaga tenang
Dimana tumbuh mawar harum berseri
Aku ada untukmu
Melarutkan duka
Meretaskan tawa
Mengalunkan nada rindu
Selayaknya denting kasih
Jernih dan lembut
Apakah ini cinta?
Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dipertanyakan satu sama lain
Saat derita mencinta berpalung rindu hadir
Apakah ini cinta?
Pun kala hati hampa tanpamu
Kau tetap menanyakan cinta
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu
Dalam sunyi
Dalam gelap
Di tengah keramaian
Di bawah bulan perak
Di terik mentari
Di bayang kedamaian pohon
Di sela semilir angin
Di antara gemiricik sungai
Aku ada untukmu
Selayaknya kau ada untukku
Selamanya
Meski sangkakala terpagut manis dunia

Sudah baca semua calon-calon judul itu? Ah, ternyata, bagiku tak ada satu pun yang bagus jadi judul sajak. Semuanya sama saja: sama-sama sangat klise! Padahal sesungguhnya salah satu tugas pokok seorang penulis adalah memusnahkan klise, bukan sebaliknya. Saya lihat sajak Aku, Kau… Kita ini malah sedang asyik merayakan klise. Mau mengingkari tugasnya sebagai penulis?

Atau mungkin penulisnya hanya sedang membuat daftar klise yang tak mau ia gunakan dalam sajak-sajak yang mau ia tuliskan, daftar klise yang ingin ia hindari. Ya, mungkin itu tepatnya—dan semoga memang begitu. Sebab jika membacanya sekali dan sekali lagi, nampaknya Aku, Kau… Kita tetaplah sebuah ‘sajak yang tak’ juga, seperti dua sajak sebelumnya.

4.

TAK SEORANG pun saya kenal siapa yang menuliskan tiga sajak di atas. Salah satu keuntungan bagi saya sebenarnya untuk lebih jujur mengungkap perasaan seusai membaca sajak-sajak itu. Tetapi di sisi lain, saya juga merasa bersalah sebab saya dengan sangat sinis nampaknya melampiaskan perasaan tidak bersemangat saya kepada orang-orang yang saya tidak kenal sama sekali.

Kalau boleh, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengatakan satu hal sederhana yang klise (maaf, meskipun klise rasanya sangat penting untuk saya katakan) kepada ketiga penulis sajak di atas, siapa pun mereka—dan kepada penulis lain yang berniat serius jadi penulis sajak. Yang pertama-tama harus dilakukan dengan serius agar bisa menulis sajak yang bagus dan tidak sekadar menuliskan ‘sajak yang tak’ adalah membaca sebanyak mungkin sajak yang bagus.

Maaf, ternyata masih ada satu hal yang ingin saya katakan: entah mengapa seusai menuliskan semua hal di atas, saya sekarang jadi bersemangat dan ingin menyelesaikan beberapa hal yang terabaikan sebelum tidur untuk kemudian bangun lebih segar besok. Terima kasih! Kau tahu, di sini hujan juga sudah reda seolah isyarat bahwa saya juga harus berhenti menulis.

Makassar, 02/12/07

Read More...

Resensi Puisi ‘Aku, Kau... Kita’

| Labels: , | 2 comments |

Oleh Inez Dikara


Aku, Kau... Kita oleh Littleayas

Seni adalah bentuk/ciptaan yang muncul dari pengalaman jiwa seseorang karena ia ingin memberikan bentuk yang konkrit terhadap yang ia rasakan. Sehingga orang lain dapat pula merasakannya. Puisi adalah salah satu bagian dari bentuk seni, yaitu Seni Sastra. Berbeda dengan bentuk sastra lainnya seperti prosa (cerpen dan novel), puisi 'berkomunikasi' dengan menggunakan kata sebagai simbol; kiasan. Kata itu mengungkapkan sekaligus arti pikiran, perasaan dan khayal (imajinasi). Dengan demikian menulis puisi bukanlah suatu aktivitas di mana kita dapat dengan santai menabur-naburkan kata di atas kertas. Karena penyair harus dapat mengendalikan pikiran, perasaan dan daya khayalnya sekaligus, sehingga membentuk pengalaman baru yang bermakna. Yang imajinatif. Yang tidak hanya sekedar luapan perasaan serupa tulisan-tulisan di catatan harian. Dengan mengembangkan kemampuan berimajinasi yang baik, diharapkan penulis dapat menghasilkan karya-karya puitik yang baik pula.

Untuk berpartisipasi dalam kegiatan komunitas berbasis web -Kemudian.com- di mana salah satu programnya adalah meresensi karya puisi dan prosa, maka berikut ini saya akan mencoba mengulas satu sajak karya anggota kemudian.com yang berjudul 'Aku, Kau dan... Kita':

Aku, Kau … Kita

Kau ada untukku
Menghangatkan hati
Mengusir Sepi
Membunuh galau
Selayaknya telaga tenang
Dimana tumbuh mawar harum berseri

Aku ada untukmu
Melarutkan duka
Meretaskan tawa
Mengalunkan nada rindu
Selayaknya denting kasih
Jernih dan lembut

Apakah ini cinta?

Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta

Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dipertanyakan satu sama lain
Saat derita mencinta berpalung rindu hadir

Apakah ini cinta?

Pun kala hati hampa tanpamu
Kau tetap menanyakan cinta

Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu

Dalam sunyi
Dalam gelap
Di tengah keramaian
Di bawah bulan perak
Di terik mentari
Di bayang kedamaian pohon
Di sela semilir angin
Di antara gemiricik sungai
Aku ada untukmu
Selayaknya kau ada untukku
Selamanya

Meski sangkakala terpagut manis dunia


Saya menafsirkan sajak ini adalah tentang dua anak manusia yang masing-masing keberadaannya saling memberikan arti. Di kala susah di kala senang. Meskipun begitu, ternyata di sini cinta masih dipertanyakan. Apakah semua terjadi atas nama cinta? Seperti yang tertulis pada bait ke-3, yang kemudian dilanjutkan pada bait berikutnya:

Apakah ini cinta?

Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta

Tetapi pada bait ke-8 saya menemukan kontradiksi pada makna yang ingin disampaikan. Ketika sebelumnya cinta masih dipertanyakan keberadaannya, pada bait ini cinta seolah sudah sudah hadir (mewujud) sejak awal:

Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu

Sehingga yang ingin disampaikan sedikit menjadi rancu: keberadaan cinta yang dipertanyakan, atau cinta (yang sudah ada) yang harus dikorbankan?.

Pada bait penutup tertulis, ‘Meski sangkakala terpagut manis dunia’, di mana ‘sangkakala’ yang dalam KBBI berarti terompet; terompet yang berbunyi secara berkala namun dapat juga diartikan sebagai ‘diambang kiamat/kiamat telah datang’ yang dilanjutkan dengan ‘terpagut manis dunia’. ‘terpagut’ dalam KBBI berarti ‘mematuk, mencatuk’. Maka saya menafsirkan bait ini adalah suatu kebahagian yang harus berakhir/direnggut oleh sesuatu yang menyakitkan. Dan kalau memang pesan itu yang ingin disampaikan, menurut saya pilihan kata yang pas adalah ‘memagut’ dan bukannya ‘terpagut’.

Mengacu pada sajak yang sejatinya merupakan kumpulan kata-kata (simbol/lambang) hasil dari imajinasi -yang kreatif- yang memberikan pengalaman baru yang bermakna, tidak dapat saya temukan pada sajak ini. Meskipun demikian, bagi saya menulis puisi adalah sebuah proses belajar dan 'mencari' yang tidak akan pernah ada habisnya.

Akhir kata, seperti tulisan penyair Sutardji Calzoum Bahri dalam kumpulan esai-nya ‘Isyarat’ terbitan Indonesia Tera, ‘…menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan, menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas. Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau mencipta foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekedar membayang dari bawah tulisanmu’.

Jakarta, 12 November 2007

Read More...

Resensi 'La Preghiera'

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Yonathan Rahardjo

La Preghiera oleh KD

Suatu cerita awal yang bisa dikembangkan lagi menjadi cerita yang lebih kompleks melibatkan konflik-konflik antar tokoh, liku-liku permasalahan yang berkembang, sehingga jalinan cerita tidak mengalir datar namun menjadi penuh kejutan, merangsang emosi, intuisi, membuka pemahaman-pemahaman baru, sebagai suatu tugas dari seni sastra yang termasuk dalam seni humaniora.


Sebagai cerita pendek dengan jumlah kata dan karakter terbatas memang sudah mampu memberikan kesan dan nuansa jalinan kisah cukup menarik. Namun akan lebih menarik bila disertai pengembangan-pengembangan seperti diuraikan pada alenia satu.

Pengalaman saya sendiri dalam menulis Novel Lanang yang meraih penghargaan sebagai salah satu pemenang Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006, penulisan seperti cerpen La Preghiera ini merupakan sumber awal atau merupakan tulisan-tulisan sketsa yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi jalinan cerita yang kompleks dalam satu kesatuan novel. Juga untuk mencapai standar cerpen-cerpen koran yang rata-rata membutuhkan jumlah kata/ karakter tertentu, cerpen ini dapat dikembangkan lagi.

Kecuali, kalau memang batasan jumlah kata sebanyak kata/ karakter cerpen diatur sebanyak seperti dalam cerpen ini, cerpen seperti ini sudah dapat memberikan kesan sebagai suatu kilasan kisah. Atau, kalau mau menjadi cerpen jadi, cerpen ini membutuhkan pemilihan kata/ ungkapan yang betul-betul tepat sehingga meski pendek tetap bernas dan dalam, yang artinya: penceritaannya efektif.

Saya memilih cerpen La Preghiera ini dibanding dua cerpen lain yang disodorkan kepada, adalah karena cerpen ini lebih mudah dipahami karena tampak sekali sebagai cerita realis dan penceritaannya lancar. Harapan saya memberikan komentar seperti di atas adalah agar penulis lebih memperkuat pilihan-pilihan katanya, dan bersedia mengembangkan lagi pilihan-pilihan seperti di atas:

  • 1. Mau dikembangkan sebagai novel
  • 2. Mau menjadi cerpen yang betul-betul pendek dan penceritaannya efektif
  • 3. Atau mau menjadi cerita pendek dalam standar umum dengan penceritaan yang lebih konflik.


Saya tidak memberikan contoh satu per satu dalam tulisan-tulisan yang tertuang dalam cerpen ini, namun penjelasan mendasar berdasar pengalaman dan pemahaman yang saya miliki, kiranya pembaca dan penulis cerpen ini dapat mempertimbangkan masukan ini.

Sehingga, kisah gadis remaja yang punya pemuda remaja pujaan namun masih di angan-angan dalam La Preghiera ini mampu dihadirkan lebih seru.

Read More...

Membincangkan “Bincang Kecil Tono”

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Primadonna Angela

Bincang Kecil Tono oleh dikadiman

Kisah yang baik, sepantasnya dimulai dengan kalimat pembuka dan paragraf yang dapat menarik perhatian pembaca. Sayangnya, tidak demikian di kisah ini. Awal yang biasa-biasa saja, membuat saya sebagai pembaca memiliki ekspektasi yang rendah.

Dimulai dengan, “Sore hari awal perkuliahan ini tidak terasa istimewa bagi Tono.” Reaksi awal saya sebagai pembaca, ingin berkata, “Terus kenapa?” Memangnya yang spesial bagi Tono seperti apa? Memangnya seperti apa sih, Tono ini? Tidak begitu jelas. Mungkin kalau diganti dengan, “Kalaupun ada yang menciumnya di bibir pagi ini, Tono masih akan beranggapan harinya biasa-biasa saja.” Dengan membaca kalimat ini, pembaca bisa berkesimpulan, barangkali Tono tipe yang memandang dunia dengan pahit, atau, tak ada apa pun yang bisa membuatnya kaget.

Dan penjabaran kisah yang apa adanya, deskripsi yang menurut saya sebaiknya diganti aksi (show, don’t tell!), membuat kisah ini terasa semakin datar saja. Sebagai contoh, lihat tiga kalimat dari paragraf pertama ini:

Kegagalannya meraih nilai baik pada semester pendek membuat Tono bosan kuliah. Tidak hanya itu, ternyata kegagalan akademis ini juga membuatnya malas bergaul. Maka, alih-alih menyapa pacar atau teman-teman, alih-alih memberi tanda tangan pada anak-anak baru, begitu jam tangan menunjukan pukul setengah empat, Tono langsung menuju ke ruang kuliah. Padahal perkuliahan sendiri baru dimulai setengah jam lagi.

Tono dikisahkan sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja, malas bergaul, dan sebagainya. Daripada menceritakan apa adanya seperti ini, mungkin akan lebih menarik kalau Tono digambarkan sedang terburu-buru menuju kelas (begitu sampai di sana, baru diceritakan padahal kelasnya masih setengah jam lagi, jadi sebenarnya dia tidak punya alasan kuat untuk tergesa-gesa), dengan sengaja menghindari para mahasiswa baru, melengos saat ada yang berusaha menegurnya. Para pembaca akan dapat menarik kesimpulan, oh, barangkali Tono orangnya penyendiri, agak antisosial.

Tiadanya konflik juga membuat kisah ini terasa flat. Tono mau kuliah, bertemu teman, mengaku dia homo, diterima, kemudian mendapatkan teman baru(?). Sebagai pembaca, saya tidak merasa ada keterlibatan emosi dengan Tono. Tidak ada misteri yang membuat saya bersemangat untuk membaca kisah ini sampai akhir.

Barangkali penulis memaksudkan, asalkan Tono mau membuka diri pada seseorang, dia akan sadar, bahwa sebenarnya tidak semua orang punya prasangka buruk pada homoseksualitas. Ini adalah tema atau pesan moral yang bagus, dan patut dikembangkan.

Barangkali kalau penulis memasukkan sedikit flash back, mengenai trauma Tono dalam menjalin persahabatan, kisah akan menjadi lebih hidup. Mungkin untuk membangun suspense, saat Tono memberitahu Herman bahwa dia homo, ada jeda yang signifikan. Ekspresi tertentu di wajah Herman, gerak-gerik tubuhnya, yang membuat Tono merasa dirinya akan menerima penolakan. Lagi, (walau ternyata tidak demikian kejadiannya.) menurut saya juga, sebaiknya dituturkan sedikit mengapa Herman bisa menerima Tono begitu mudahnya. Apa karena dia sendiri adalah seorang homo? Atau karena dia tipe yang mudah bersimpati? Sayangnya karakter Herman kurang tergali, padahal sebagai teman berbicara Tono, menurut saya, Herman sebaiknya diberikan porsi yang cukup penting.

Pesan saya pada penulis, dalam menuliskan sebuah kisah, jangan takut untuk “menyiksa” para karakter, asalkan mereka diberi bekal untuk menanggulangi cobaan itu. Mungkin akan lebih seru dan menggigit kalau Tono mengalami hari yang benar-benar menyebalkan, hingga saat bertemu Herman, dia belum apa-apa sudah emosi? Atau, saat Herman ingin bertanya lebih lanjut pada Tono mengenai homoseksualitas (bukan untuk mencela, hanya sekadar ingin tahu), Tono marah-marah atau langsung berprasangka buruk? Saya yakin, penulis pasti mampu menuliskan adegan yang lebih memesona bagi pembaca, dengan sedikit latihan!

Read More...

Mengejar Sang Putri

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Primadonna Angela

Putri Impian oleh moesafeer

Kisah ini diawali dengan kalimat pembuka yang cukup menarik. Gaya penulisannya puitis romantis, dengan diksi yang manis. “Putri Impian” memiliki plot yang sederhana, dan walau saya sudah sering membaca cerita yang kurang lebih temanya sama, kisah ini masih menyenangkan untuk disimak.

Yang sedikit mengganggu, barangkali, karena saya sulit merasakan keterlibatan emosi dengan prosa ini. Saat saya membacanya, tidak ubahnya seperti membaca selebaran iklan. Sekilas, sepintas, sekelebat saja. Menarik, iya. Menggugah, kurang. Mungkin karena dalam kisah ini bisa dikatakan, tidak ada konflik yang menggigit. Tidak ada sesuatu yang membuat saya, sebagai seorang pembaca, menanti-nanti apa yang akan terjadi sesudahnya. Saya jadi bertanya-tanya, apa pentingnya sih, bagi sang protagonis (atau malah narator) untuk bertemu putri impiannya? Apa latar belakang atau motivasinya?

Mungkin apabila kisah ini diberikan pelengkap berupa latar belakang penulis mengapa baginya begitu penting untuk bertemu sang putri, pembaca akan lebih terpikat. Misalnya saja, sang narator pernah mengalami OBE (Out of Body Experience) atau Near Death Experience, dan bertemu sosok sang putri yang menyelamatkannya? Atau dia pernah bertemu dengan sang putri dalam mimpi, yang terasa begitu nyata?

Terlepas dari tiadanya konflik, kisah ini dapat dikembangkan menjadi cerita yang lebih padat dan mendalam. Dengan ditambahkan konflik, plus pemilihan kosa kata yang indah, para pembaca akan lebih terpukau dan merasakan keterlibatan emosi dengan sang protagonis.

Read More...

[Profil] Inez Dikara

| Labels: | 0 comments |

Lahir di Tanjung, Kalimantan Selatan. Pernah mengenyam pendidikan di Columbia College Chicago, Illinois, Amerika Serikat, jurusan Marketing Communication. Berdomisili dan menjalankan usaha sendiri di Jakarta. Aktif di komunitas berbasis web, Bunga Matahari dan Apresiasi Sastra. Kumpulan puisinya dapat dilihat di situsnya: http://inez.dikara.web.id

Read More...