Kali ini saya hanya ingin membagi kesan seusai membaca sajak-sajak yang dikirim itu. Saya, terus-terang saja, bingung mengulasnya dengan cara apa. Saya ingin menyebut ketiga sajak itu sebagai ‘sajak-sajak yang tak’. Dan lagi, saya sudah tidak cukup punya waktu, sebentar lagi tulisan ini harus tayang, kata seseorang di
Yahoo Messenger yang menagih janjiku dengan cara yang amat sopan. Maka dalam posisi ini saya bukanlah pengulas melainkan pembaca saja. Semoga tak mengapa.
1.Rutinitas Lima Belas Menit oleh
pikanisaSEBENARNYA MALAM ini saya sedang sangat tidak bersemangat, banyak sekali hal yang mesti saya selesaikan tetapi terabaikan entah karena apa. Maka, saya memilih pertama kali satu di antara tiga sajak itu yang mungkin bisa menghibur saya, membuat saya tertawa atau setidaknya tersenyum.
Meski sebenarnya sangat tidak lucu, sajak berjudul
Rutinitas Lima Belas Menit yang akhirnya saya pilih. Saya pikir di antara ketiganya sajak ini yang paling diniatkan oleh penulisnya jadi sajak lucu. Tetapi dengan sedih saya katakan: sajak ini gagal membuat saya terhibur.
Seusai membaca sajak ini, saya seolah baru saja mendengar seorang teman saya yang selalu mau disebut komedian (yang tak perlu saya sebut namanya) menceritakan sebuah banyolan yang sudah sangat sering ia ceritakan. Saya tetap tertawa. Dan selalu begitu, saya selalu tertawa. Saya tertawa bukan karena ceritanya lucu. Saya tertawa karena cerita yang ia pikir lucu itu bagi saya sangat tidak lucu—dan di situlah lucunya, ternyata.
Tawa yang baru saja saya lontar dan dengar sendiri itu tidak menghibur sama sekali, malah menyakiti. Saya merasa bersalah. Ah, bagaimana mengatakannya dengan tepat? Saya bingung sendiri.
Baiklah saya coba membacanya sekali lagi.
Mustafa dan Maria tidak bisa tidur. Hasrat yang telah didera ingin segera dilampiaskan. Hari itu sangat dingin. Cuaca hari itu memang sangat dingin. Hingga… cuaca membuat hasrat diantara mereka tidak lagi bisa tertahan.Kemudian,……Mustafa cepat-cepat masuk bilik, Maria cepat-cepat masuk bilik. Mustafa cepat-cepat buka sarung, Maria cepat-cepat buka rok. Mustafa cepat-cepat buka celana, Maria…cepat-cepat buka celana. Maria mengangkangkan kakinya, Mustafa duduk. Kemudian……… Sebuah erangan. Sebuah rintihan. “Yes… oh…. No…. oh…. My Good” Keringat tak henti membasahi tubuh mereka. Mustafa mengejan, Maria mengejan. Ini ritual mereka dua kali sehari. Lima belas menit untuk setiap kalinya. Dan setelah menunggu selama itu akhirnya…. “PLUNG !!!……….” Hasil akhirnya adalah senyum kelegaan. Setelah itu terdengar bunyi air diguyur. Ini ritual dua kali dalam sehari. Maria dan Mustafa keluar dari bilik. Ini adalah sebuah bilik sakral. Kita memberi nama Toilet, mereka memberi nama WC.Saya dengan lancang mengubah topografi
Rutinitas Lima Belas Menit menjadi sebuah ‘cerpen pendek’—kepada penulisnya, maafkan saya! Sengaja saya melakukannya demi mencari ‘sensasi baru’ yang saya tidak temukan waktu pertama membacanya. Mungkin dengan bentuk baru ini saya menemukan kelucuan yang saya butuhkan dari semula.
Saya membayangkan penulis sajak ini sebenarnya ingin bercerita seperti seorang cerpenis. Ia ingin membuat sebuah cerita pendek dengan akhir yang menghentak. Kekuatan cerita yang ia mau bangun terletak di akhir. Tetapi, sekali lagi saya katakan, ia gagal bahkan ketika ia membuat cerita pendek itu sangat pendek.
Bisa juga dikatakan bahwa penulis ini sebenarnya hendak jadi seorang sutradara film pendek. Biasanya film-film pendek meletakkan kekuatannya di akhir. Tetapi, sebagai film, Rutinitas Lima Belas Menit pun gagal. Tak ada gambar-gambar yang cukup kuat yang membuat saya tertegun dan kemudian kaget di akhirnya.
Ataukah mungkin sebenarnya ide cerita yang diolah penulis ini sudah sangat usang? Seperti saya bilang tadi bahwa ini adalah banyolan yang hanya mampu membuat kita tertawa karena ketidaklucuannya. Tetapi bukankah kita bisa menemukan banyak cerita yang bersumber dari hal-hal usang dan tetap membuat kita terpana? Ah, saya susah menjawabnya. Jika begini, betullah dugaan awal saya bahwa
Rutinitas Lima Belas Menit adalah sebuah ‘sajak yang tak’.
2.Sebuah Repertoar: Menggugat Lelaki dan Perempuan oleh
pikanisaSEBUAH REPERTOAR: Menggugat Lelaki dan Perempuan, ini sajak kedua yang saya pilih setelah sajak tentang sepasang orang yang buang air besar tadi. Ini juga berkisah tentang pasangan, lelaki dan perempuan. Keduanya sedang menggugat diri mereka, setidaknya itulah yang dikatakan judul sajak ini.
Ini juga sebuah sajak yang tak mengambil hati saya ketika membacanya pertama kali. Sudah saya katakan sebelumnya, bukan? Maka kali ini saya ingin menontonnya sebagai sebuah pementasan teater. Toh, memang penulis membuatnya sebagai rangkaian dialog.
Sayang sekali, tak ada hal-hal visual yang bisa menarasikan sesuatu dari pementasan teater ini. Hanya ada seorang perempuan dan seorang lelaki saling bersahut-sahutan. Artinya saya tak perlu menggunakan mata saya, sebab tak banyak hal yang bisa dilihat. Lalu saya menutup mata dan mendengar dialog-dialognya saja. Dan berubahlah jadi sebuah sandiwara radio—atau sepasang kekasih di kamar sebelah yang sedang berkelahi?
Jika tidak bisa menemukan kekuatan melalui gambar dan saya kira penulis satu ini memang tidak ingin meletakkannya di sana, saya ingin mencarinya lewat dialog-dialog itu. Bukankah kekuatan sebuah teater atau sandiwara salah satunya sangat ditentukan oleh dialog? Saya coba mendengarnya berkali-kali. Tetapi, ah, lagi-lagi tak ada yang menarik yang diucapkan kedua orang itu.
Sepertinya kedua orang ini sedang berlatih menghafalkan sebuah skenario saja. Mereka belum mementaskannya. Atau lebih parah lagi, sebenarnya mereka baru saja sedamg mencari-cari kalimat yang bagus buat dituliskan. Mereka belum selesai menuliskannya. Kalau begitu,
Sebuah Repertoar: Menggugat Lelaki dan Perempuan juga hanya ‘sajak yang tak.’
3.Aku, Kau… Kita oleh
LittleayasSEPERTI YANG saya bilang di awal tulisan ini, saya sedang tidak bersemangat. Ditambah lagi, saya belum mengatakan sebelumnya, saat menuliskan semua ini Makassar sedang diguyur hujan deras. Maka ketika saya melihat sajak ketiga adalah sajak cinta, ah, saya tambah tidak bersemangat. Saya sedang tidak ingin larut dan mengingat kekasihku yang sedang berada di Jakarta karena hujan dan sajak cinta ini. Lagi pula, di ponsel saya sedang tidak ada pulsa buat menelpon—sudah habis karena menelponnya kemarin, mengucapkan selamat ulang tahun yang panjang sekali.
Tapi bagaimana lagi, saya tetap harus membacanya.
Aku, Kau… Kita, itu judulnya. Kenapa harus memilih judul seperti itu? Tidak ada lagikah judul yang lebih baik? Coba kita lihat baris-baris yang ada di bawahnya, siapa tahu ada sebaris yang bisa menggantikan judul itu. Toh, sajak ini saya lihat seperti susunan calon-calon judul belaka. Coba lihat!
Kau ada untukkuMenghangatkan hatiMengusir SepiMembunuh galauSelayaknya telaga tenangDimana tumbuh mawar harum berseri Aku ada untukmuMelarutkan dukaMeretaskan tawaMengalunkan nada rinduSelayaknya denting kasihJernih dan lembut Apakah ini cinta? Pun ketika jemari bertautanKau masih menanyakan cinta Aku, Kau…KitaHaruskah cinta dipertanyakan satu sama lainSaat derita mencinta berpalung rindu hadir Apakah ini cinta? Pun kala hati hampa tanpamuKau tetap menanyakan cinta Aku, Kau…KitaHaruskah cinta dikorbankanMeski jiwa ini terikat dengan jiwamu Dalam sunyiDalam gelapDi tengah keramaianDi bawah bulan perakDi terik mentariDi bayang kedamaian pohonDi sela semilir anginDi antara gemiricik sungaiAku ada untukmuSelayaknya kau ada untukkuSelamanya Meski sangkakala terpagut manis dunia Sudah baca semua calon-calon judul itu? Ah, ternyata, bagiku tak ada satu pun yang bagus jadi judul sajak. Semuanya sama saja: sama-sama sangat klise! Padahal sesungguhnya salah satu tugas pokok seorang penulis adalah memusnahkan klise, bukan sebaliknya. Saya lihat sajak
Aku, Kau… Kita ini malah sedang asyik merayakan klise. Mau mengingkari tugasnya sebagai penulis?
Atau mungkin penulisnya hanya sedang membuat daftar klise yang tak mau ia gunakan dalam sajak-sajak yang mau ia tuliskan, daftar klise yang ingin ia hindari. Ya, mungkin itu tepatnya—dan semoga memang begitu. Sebab jika membacanya sekali dan sekali lagi, nampaknya
Aku, Kau… Kita tetaplah sebuah ‘sajak yang tak’ juga, seperti dua sajak sebelumnya.
4.TAK SEORANG pun saya kenal siapa yang menuliskan tiga sajak di atas. Salah satu keuntungan bagi saya sebenarnya untuk lebih jujur mengungkap perasaan seusai membaca sajak-sajak itu. Tetapi di sisi lain, saya juga merasa bersalah sebab saya dengan sangat sinis nampaknya melampiaskan perasaan tidak bersemangat saya kepada orang-orang yang saya tidak kenal sama sekali.
Kalau boleh, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengatakan satu hal sederhana yang klise (maaf, meskipun klise rasanya sangat penting untuk saya katakan) kepada ketiga penulis sajak di atas, siapa pun mereka—dan kepada penulis lain yang berniat serius jadi penulis sajak. Yang pertama-tama harus dilakukan dengan serius agar bisa menulis sajak yang bagus dan tidak sekadar menuliskan ‘sajak yang tak’ adalah membaca sebanyak mungkin sajak yang bagus.
Maaf, ternyata masih ada satu hal yang ingin saya katakan: entah mengapa seusai menuliskan semua hal di atas, saya sekarang jadi bersemangat dan ingin menyelesaikan beberapa hal yang terabaikan sebelum tidur untuk kemudian bangun lebih segar besok. Terima kasih! Kau tahu, di sini hujan juga sudah reda seolah isyarat bahwa saya juga harus berhenti menulis.
Makassar, 02/12/07