Resensi Puisi ‘Aku, Kau... Kita’
Sunday, December 2, 2007 | Labels: resensi, sesi 2 | |Oleh Inez Dikara
Aku, Kau... Kita oleh Littleayas
Seni adalah bentuk/ciptaan yang muncul dari pengalaman jiwa seseorang karena ia ingin memberikan bentuk yang konkrit terhadap yang ia rasakan. Sehingga orang lain dapat pula merasakannya. Puisi adalah salah satu bagian dari bentuk seni, yaitu Seni Sastra. Berbeda dengan bentuk sastra lainnya seperti prosa (cerpen dan novel), puisi 'berkomunikasi' dengan menggunakan kata sebagai simbol; kiasan. Kata itu mengungkapkan sekaligus arti pikiran, perasaan dan khayal (imajinasi). Dengan demikian menulis puisi bukanlah suatu aktivitas di mana kita dapat dengan santai menabur-naburkan kata di atas kertas. Karena penyair harus dapat mengendalikan pikiran, perasaan dan daya khayalnya sekaligus, sehingga membentuk pengalaman baru yang bermakna. Yang imajinatif. Yang tidak hanya sekedar luapan perasaan serupa tulisan-tulisan di catatan harian. Dengan mengembangkan kemampuan berimajinasi yang baik, diharapkan penulis dapat menghasilkan karya-karya puitik yang baik pula.
Untuk berpartisipasi dalam kegiatan komunitas berbasis web -Kemudian.com- di mana salah satu programnya adalah meresensi karya puisi dan prosa, maka berikut ini saya akan mencoba mengulas satu sajak karya anggota kemudian.com yang berjudul 'Aku, Kau dan... Kita':
Aku, Kau … Kita
Kau ada untukku
Menghangatkan hati
Mengusir Sepi
Membunuh galau
Selayaknya telaga tenang
Dimana tumbuh mawar harum berseri
Aku ada untukmu
Melarutkan duka
Meretaskan tawa
Mengalunkan nada rindu
Selayaknya denting kasih
Jernih dan lembut
Apakah ini cinta?
Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dipertanyakan satu sama lain
Saat derita mencinta berpalung rindu hadir
Apakah ini cinta?
Pun kala hati hampa tanpamu
Kau tetap menanyakan cinta
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu
Dalam sunyi
Dalam gelap
Di tengah keramaian
Di bawah bulan perak
Di terik mentari
Di bayang kedamaian pohon
Di sela semilir angin
Di antara gemiricik sungai
Aku ada untukmu
Selayaknya kau ada untukku
Selamanya
Meski sangkakala terpagut manis dunia
Saya menafsirkan sajak ini adalah tentang dua anak manusia yang masing-masing keberadaannya saling memberikan arti. Di kala susah di kala senang. Meskipun begitu, ternyata di sini cinta masih dipertanyakan. Apakah semua terjadi atas nama cinta? Seperti yang tertulis pada bait ke-3, yang kemudian dilanjutkan pada bait berikutnya:
Apakah ini cinta?
Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta
Tetapi pada bait ke-8 saya menemukan kontradiksi pada makna yang ingin disampaikan. Ketika sebelumnya cinta masih dipertanyakan keberadaannya, pada bait ini cinta seolah sudah sudah hadir (mewujud) sejak awal:
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu
Sehingga yang ingin disampaikan sedikit menjadi rancu: keberadaan cinta yang dipertanyakan, atau cinta (yang sudah ada) yang harus dikorbankan?.
Pada bait penutup tertulis, ‘Meski sangkakala terpagut manis dunia’, di mana ‘sangkakala’ yang dalam KBBI berarti terompet; terompet yang berbunyi secara berkala namun dapat juga diartikan sebagai ‘diambang kiamat/kiamat telah datang’ yang dilanjutkan dengan ‘terpagut manis dunia’. ‘terpagut’ dalam KBBI berarti ‘mematuk, mencatuk’. Maka saya menafsirkan bait ini adalah suatu kebahagian yang harus berakhir/direnggut oleh sesuatu yang menyakitkan. Dan kalau memang pesan itu yang ingin disampaikan, menurut saya pilihan kata yang pas adalah ‘memagut’ dan bukannya ‘terpagut’.
Mengacu pada sajak yang sejatinya merupakan kumpulan kata-kata (simbol/lambang) hasil dari imajinasi -yang kreatif- yang memberikan pengalaman baru yang bermakna, tidak dapat saya temukan pada sajak ini. Meskipun demikian, bagi saya menulis puisi adalah sebuah proses belajar dan 'mencari' yang tidak akan pernah ada habisnya.
Akhir kata, seperti tulisan penyair Sutardji Calzoum Bahri dalam kumpulan esai-nya ‘Isyarat’ terbitan Indonesia Tera, ‘…menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan, menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas. Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau mencipta foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekedar membayang dari bawah tulisanmu’.
Jakarta, 12 November 2007
Aku, Kau … Kita
Kau ada untukku
Menghangatkan hati
Mengusir Sepi
Membunuh galau
Selayaknya telaga tenang
Dimana tumbuh mawar harum berseri
Aku ada untukmu
Melarutkan duka
Meretaskan tawa
Mengalunkan nada rindu
Selayaknya denting kasih
Jernih dan lembut
Apakah ini cinta?
Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dipertanyakan satu sama lain
Saat derita mencinta berpalung rindu hadir
Apakah ini cinta?
Pun kala hati hampa tanpamu
Kau tetap menanyakan cinta
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu
Dalam sunyi
Dalam gelap
Di tengah keramaian
Di bawah bulan perak
Di terik mentari
Di bayang kedamaian pohon
Di sela semilir angin
Di antara gemiricik sungai
Aku ada untukmu
Selayaknya kau ada untukku
Selamanya
Meski sangkakala terpagut manis dunia
Saya menafsirkan sajak ini adalah tentang dua anak manusia yang masing-masing keberadaannya saling memberikan arti. Di kala susah di kala senang. Meskipun begitu, ternyata di sini cinta masih dipertanyakan. Apakah semua terjadi atas nama cinta? Seperti yang tertulis pada bait ke-3, yang kemudian dilanjutkan pada bait berikutnya:
Apakah ini cinta?
Pun ketika jemari bertautan
Kau masih menanyakan cinta
Tetapi pada bait ke-8 saya menemukan kontradiksi pada makna yang ingin disampaikan. Ketika sebelumnya cinta masih dipertanyakan keberadaannya, pada bait ini cinta seolah sudah sudah hadir (mewujud) sejak awal:
Aku, Kau…Kita
Haruskah cinta dikorbankan
Meski jiwa ini terikat dengan jiwamu
Sehingga yang ingin disampaikan sedikit menjadi rancu: keberadaan cinta yang dipertanyakan, atau cinta (yang sudah ada) yang harus dikorbankan?.
Pada bait penutup tertulis, ‘Meski sangkakala terpagut manis dunia’, di mana ‘sangkakala’ yang dalam KBBI berarti terompet; terompet yang berbunyi secara berkala namun dapat juga diartikan sebagai ‘diambang kiamat/kiamat telah datang’ yang dilanjutkan dengan ‘terpagut manis dunia’. ‘terpagut’ dalam KBBI berarti ‘mematuk, mencatuk’. Maka saya menafsirkan bait ini adalah suatu kebahagian yang harus berakhir/direnggut oleh sesuatu yang menyakitkan. Dan kalau memang pesan itu yang ingin disampaikan, menurut saya pilihan kata yang pas adalah ‘memagut’ dan bukannya ‘terpagut’.
Mengacu pada sajak yang sejatinya merupakan kumpulan kata-kata (simbol/lambang) hasil dari imajinasi -yang kreatif- yang memberikan pengalaman baru yang bermakna, tidak dapat saya temukan pada sajak ini. Meskipun demikian, bagi saya menulis puisi adalah sebuah proses belajar dan 'mencari' yang tidak akan pernah ada habisnya.
Akhir kata, seperti tulisan penyair Sutardji Calzoum Bahri dalam kumpulan esai-nya ‘Isyarat’ terbitan Indonesia Tera, ‘…menulis sastra adalah menulis di atas tulisan (realitas), maka menulis pada hakikatnya pula menyembunyikan, menyimpan, mengandung, menindih, melapis realitas. Suatu saat engkau menulis bagaikan menusir foto realitas. Engkau tebalkan garis hidungnya, engkau panjangkan janggutnya, engkau hitamkan ubannya, engkau kasarkan kumisnya, dan engkau mencipta foto lain yang beda dari foto sebelumnya (realitas). Dan realitas sekedar membayang dari bawah tulisanmu’.
Jakarta, 12 November 2007
uhuy. inez dikara.. rupanya resensinya lengkap juga. TOP lah..!
klo gak di Resensi Kemudian.com ini gak bakal deh aku bisa baca.
kekeke ... ini namanya nyemilin ilmu lewat tulisan non fiksi :p
mba Inez, bagus sekali resensinya. salut!