Bincang Kemudianers

Thursday, December 20, 2007 | Labels: | 3 comments |

Jadwal:

  • Minggu, 24 Februari 2008, pkl. 13.00-16.00
Topik:
  • “KEMUDIAN kini dan kemudian”
Pembicara:
  • Farida dan Tiva (Pendiri KEMUDIAN)
Moderator:
  • Hanny Kusumawati

Kegiatan ini akan menjadi ajang temu para anggota KEMUDIAN. Sehari-hari, para anggota hanya saling berinteraksi secara online. Maka, inilah saatnya para anggota bertemu muka untuk saling mengenal lebih jauh.

Bincang Kemudianers juga akan membahas beberapa topik hangat seputar komunitas. Dibawakan langsung oleh Farida dan Tiva (para pendiri KEMUDIAN) serta dipandu oleh seorang moderator.

Read More...

Workshop Inspirasional

| Labels: | 0 comments |

Jadwal:

  • Minggu, 24 Februari 2008, pkl. 09.30-12.00
Tempat:
  • Gedung Dinas Teknis (Bank DKI), Gunung Sahari - Jakarta Pusat

Topik:
  • “Semua Bisa Menulis ... Jadi Kenapa Tidak?!”
Pembicara:
  • T.S. Pinang
Moderator:
  • Kinu Triatmodjo

Dengan tema “Saatnya Penulis Beraksi”, workshop ini bertujuan untuk membuka wawasan peserta tentang bentuk sebuah karya tulis yang baik dengan cara pembekalan teori, kiat serta panduan tentang proses kreatif pembuatan sebuah karya tulis yang baik, sehingga diharapkan dapat membangkitkan semangat serta memberikan motivasi dari peserta untuk menghasilkan sebuah karya tulis yang baik. Selain itu, dapat menjadi ajang unjuk diri dari peserta sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan diri dari peserta.

Read More...

Seminar

| Labels: | 0 comments |

Jadwal:

  • Sabtu, 23 Februari 2008, pkl.09.30-12.00 (Sesi I)
  • Sabtu, 23 Februari 2008, pkl.13.00-15.30 (Sesi II)
Tempat:
  • Gedung Dinas Teknis (Bank DKI), Gunung Sahari - Jakarta Pusat
Topik:
  • Proses Kreatif Membuat Karya Tulis (Sesi I)
  • Persiapan Diri Menjadi Penulis Profesional (Sesi II)
Pembicara:
  • Putu Wijaya (Sesi I)
  • Ahmad Tohari (Sesi II)
  • Joni Ariadinata (Sesi I & II)
Moderator:
  • Tamara Geraldine

Dengan tema “Saatnya Penulis Beraksi”, seminar ini bertujuan untuk membahas secara detail dan terstruktur proses-proses kreatif yang terdapat dalam pembuatan sebuah karya tulis yang baik. Kegiatan ini juga membahas bagaimana cara menjadi seorang penulis yang baik dan sukses dengan cara pembagian pengalaman, kiat serta panduan dari narasumber kepada peserta. Pembahasan ini akan menjadi sarana pembelajaran serta membuka wawasan peserta.

Read More...

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha ti.

Monday, December 17, 2007 | Labels: , | 4 comments |

Oleh Mikael Johani

Hati oleh ghe

duh.

hatimu berserakan di lantai kamarku

sebentar. kuambil pengki dan sapu



Saya tertawa membaca ini. Sebentar, jangan tertawa dulu. Tertawa barang langka sekarang dalam sastra Indonesia, paling tidak (meneruskan rant saya dua di sesi satu kemarin) yang diakui oleh koran-koran Minggu. Dan orang sebenarnya rindu ketawa, lihat ini. Jadi, satu hal penting dulu, hanya karena saya tertawa, bukan berarti sajak kecil ini lebih 'ringan' apalagi lebih tidak bermutu daripada sajak yang membuat saya mengerutkan dahi atau mengelus-elus dada (ini juga mungkin terjadi gara-gara saya bingung dan putus asa nggak ngerti artinya, belum tentu karena sajaknya menyedihkan dan membuat trenyuh).

Saya tertawa karena apa? Pertama-tama, tidak jelas. Tapi menurut saya, alasan tertawa memang susah dijelaskan. Tidak semua orang akan menertawakan hal yang sama. Dan hal yang sama-sama ditertawakan mungkin sekali tidak ditertawakan karena alasan yang sama. Ada alasannya kenapa Freud menjuduli kitab sucinya tentang humor 'Jokes and their Relation to the Unconscious', karena kelihatannya memang itulah yang diserang oleh sebuah lelucon, alam bawah sadar kita, sebelum sadar kenapa, kita sudah tertawa duluan.

Tapi marilah kita bermain Oprah sebentar, jadi psikoanalis amatiran.

Mungkin yang pertama membuat saya ketawa adalah anti-klimaks sajak ini, 'sebentar. kuambil pengki dan sapu'. si pacar (eks pacar!) sadar hati (eks)pacarnya berserakan di lantai kamar (pastinya dia sendiri yang menghancurkannya!) tapi reaksinya bukan, misalnya, 'nih, bunga sekeranjang!', dia hanya akan menyapu serpihan-serpihan hati itu, menggiringnya ke pengki, dan kemudian saya bayangkan, ke mana lagi kalau bukan membuangnya ke tempat sampah! dan perhatikan titik setelah sebentar itu. bukan 'sebentar, (koma) ...' seberapakah sebentar yang diikuti titik itu? si (eks)pacar berdiri (atau mungkin tergeletak pingsan di lantai) tanpa hati, dan masih juga dia disuruh menunggu! mana emergency response-nya!

Tapi mungkin sebelum itu saya sudah ketawa karena 'duh.' di baris pertama. ini (lagi-lagi diikuti titik yang nyantai, bukan koma yang tergesa apalagi tanda pentung yang panik) duh khawatir atau duh kebosanan? duuuh, lagi deh, gimana siiih!

Kesinisan penyair, yang dikatakan dengan begitu dead pan, buat saya sangat menghibur. Buat saya, kesinisan adalah emosi yang sama real-nya dengan, misalnya, penyesalan. Dan penyesalan sudah diberikan terlalu banyak tempat di koran Minggu (tetep).

Tapi ini masalah yang buat saya memang besar. Sejak puisi mbeling di tahun '70-an (cari antologi 'Penyair Muda Di Depan Forum' di toko buku Jose Rizal di TIM), baru 'Antologi Bunga Matahari' (2005) yang dengan sadar memberi tempat utk emosi-emosi yang tidak melulu muram. (Joko Pinurbo bisa lucu juga, tapi pada dasarnya dia seorang romantis yang paling suka kalau bisa menguras air mata pembacanya.)

Mungkin selain tertawa karena sajak ini lucu, saya juga tertawa lega karena sajak ini tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam romantisme, apalagi sentimentalisme, yang palsu.

Tidak tahu apakah ini sengaja atau tidak, mungkin tidak penting sengaja atau tidak, saya juga suka dengan bentuk visual sajak ini. Pendek, cuma tiga baris, yg membuat saya berpikir tentang haiku, atau misalnya ini:

Malam Lebaran

Bulan

Di atas kuburan

(Sitor Situmorang)

Yang juga mungkin membuat saya secara tidak sadar menanti sesuatu yang penuh kekhidmatan seperti itu. Penantian yang langsung hancur berserakan setelah membaca 'duh.' tadi.

Perrmainan bentuk seperti ini, mengkhianati bentuk, tentu bisa menjadi salah satu senjata penyair yang ampuh. Seperti Sitor sendiri misalnya, dengan (nyaris)pantun-nya 'Si Anak Hilang' yang pulang ke bentuk tradisional hanya untuk memberi tahu bahwa si anak hilang ini tidak mungkin pulang!

Dan lagi2, parodi bentuk seperti ini juga jarang sekali ditemui sekarang di koran-koran Minggu. Yang kebanyakan memuat verse yang sok libre. Satu lagi centang dengan bolpen hijau untuk puisi 'Hati' ini.

Satu lagi yang membuat saya penasaran tentang ini, dan yang juga lama tidak disinggung oleh sastra Indonesia, terutama kritik(us)2nya adalah fungsi retorik puisi ini. Dia diucapkan untuk apa? Apakah misalnya, untuk membuat (eks)pacar ini jadi lebih kesal sehingga dia akhirnya meninggalkan kamar terus si penyair bisa tenang hore2 main Wii? Kita suka lupa puisi punya maksud pragmatis seperti itu juga. Dan seandainya itu benar, betapa efektifnya puisi ini! (Eks)pacar mana yang tidak akan semakin muak dengan penyair tanpa hati seperti ini!

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha

ha.

Read More...

ROMANTISME Menanti Hujan

| Labels: , | 2 comments |

Oleh Amalia Suryani

Menanti Hujan oleh noir

Tidak jelas. Tapi ketidakjelasan itu sangat manis dibaca dan dibayangkan. Mungkin ini gara-gara hujan. Sebab selain nuansa suram dan kelabu, hujan memang suka memberi efek manis romantis.

Engkaukah yang datang bersama hujan itu?

Oh ya… si pengarang, yang awalnya saya pikir perempuan, memilih pertanyaan yang benar. Sebab pertanyaan sentimentil semacam itu sungguh serasi dipadankan dengan suasana tubuh dan sekaligus hati yang dingin.

Namun rasanya judul tulisan ini kurang pas. Sebab hujan sudah datang (kok masih dinanti?). Hanya lelaki hujan saja yang belum muncul. Jadi bukan hujan yang ditunggu-tunggu, melainkan si lelaki hujan. Mungkin pengarang lebih memilih judul “Menanti Lelaki Hujan” agar tidak mementahkan romantisme yang ingin ia ciptakan. Mungkin.

Diceritakan hujan sedang turun, aku bertanya apakah lelaki hujan datang bersama hujan itu, sebab biasanya lelaki itu datang ketika hujan. Aku lalu bertanya-tanya apakah lelaki hujan tidak akan lagi datang bersama hujan, melainkan bersama kemarau. Lelaki hujan menjawab; bahwa ia bukan hujan, ia juga bukan kemarau. Ia adalah musim yang salah. Nah… sampai di sini saya jadi bingung. Rangkaian pertanyaan dan jawaban di akhir tulisan ini merusak keasyikan saya mengikuti nasib aku yang menanti seorang lelaki yang mestinya datang bersama hujan,

“Aku bukan hujan.”

Saya ngerti lelaki itu bukan hujan. Ia cuma seseorang yang biasa datang bersama hujan. Jadi sepertinya, pada akhirnya ia datang untuk menjelaskan pada aku kalau dirinya bukan hujan.

“Kemarau itu kau yang ciptakan.”

Saya asumsikan kemarau di sini adalah gambaran kerinduan aku. Dan kemarau itu muncul karena lelaki hujan lama tak datang.

“Aku adalah musim yang salah.”

Ah ya… ini yang paling mengganggu. Kalimat ini menjadi puncak “kalimat berbunga” alias kiasan yang sejak awal menjadi gaya yang pasti sengaja dipilih pengarang untuk menceritakan kisah aku. Apa yang sebetulnya hendak disampaikan pengarang? Saya merasa kalimat itu bukan sekadar pemanis percakapan.

Apakah ungkapan itu disampaikan untuk meminta secara tidak langsung agar aku tidak perlu lagi menunggu lelaki hujan datang bersama hujan? Bahwa di saat-saat sebelumnya aku keliru menganggap lelaki itu adalah lelaki hujan? Bahwa ia hanya lelaki yang memiliki banyak kenangan berlatar suasana hujan dengan aku? Bahwa ia sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hujan yang menyertainya? Atau ia hendak menyampaikan kalau selama ini ia datang tidak di saat yang tepat?

Ada banyak kemungkinan. Saya sendiri lebih suka menganggap tulisan ini adalah jelmaan rasa rindu seorang perempuan akan kehadiran seseorang yang selama ini membuatnya tenang sekaligus bisa mengekspresikan perasaannya dengan liar. Rasa rindu itu belum terobati hingga akhir cerita sebab yang ia tunggu belum muncul, kecuali sekadar penggalan-penggalan kenangan.

Ah ya, satu hal lagi yang saya simpulkan dari tulisan ini: bahwa pada tanggal 9 Oktober 2007 sekitar pukul 2 siang… turun hujan.

Read More...

MISTERI Danau Kematian

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Amalia Suryani

Danau Kematian oleh niska

Fiksi memang bisa menjadi kedok bagi pengarang untuk menjawab keanehan, ketidakmungkinan, dan lebih ekstrim lagi: kemustahilan. Lewat fiksi, imajinasi bisa dibentangkan seluas dunia, termasuk dunia lain yang tidak kasat mata. Penceritaan Danau Kematian adalah salah satu kemustahilan, yang saya yakin oleh pengarangnya dianggap “aman” karena ini cerita fiksi.

Saya menganggapnya mustahil karena tokoh aku dalam cerita ini adalah orang yang sudah mati, yang bahasa gaulnya: ruh gentayangan. Jadi teringat serial Desperate Housewives yang naratornya sudah mati.

Terus terang saya kecewa. Sejak awal cerita ini dimulai, saya sudah bisa mengira-ira apa yang terjadi pada aku. Apalagi dengan judul yang begitu gamblang: Danau Kematian, siapapun yang membaca pasti tahu kalau danau itu ada hubungannya dengan kematian karakter penting.

Saya tidak ingin berkomentar banyak tentang bagaimana cerita ini disusun, bagaimana pembaca dibawa ke akhir cerita yang menjanjikan jawaban, atau bagaimana “misteri” danau itu terkuak. Karena toh jawaban sudah terbayangkan tanpa harus menyelesaikan cerita. Tapi… saya punya kewajiban membaca cerita ini sampai tuntas agar komentar saya tidak salah. Dan jujur, sambil membaca saya terus berharap perkiraan saya meleset.

Sayang. Perkiraan saya tidak meleset. Si aku yang bernama Rina itu memang mati. Dengan gemas saya pun langsung bertanya: Bagaimana orang mati bisa bercerita?

Pertanyaan itu mungkin akan dijawab dengan gagah bahwa cerita ini hanya fiktif belaka. Pengarang hanya sedang mengumpamakan dirinya menjadi orang yang sudah mati yang jasadnya terjebak di dasar danau. Berani sekali. Seolah si pengarang sudah sangat paham dengan apa yang terjadi sesudah kematian. Berani sekali. Sebab ada pilihan yang lebih bijak untuk memilih karakter lain yang lebih masuk akal untuk diceritakan sebagai orang pertama. Diar, misalnya.

Namun apapun… gaya penceritaan dan pemilihan sudut pandang bercerita menjadi hak prerogatif pengarang. Saya cuma pembaca yang tidak suka dengan kemustahilan semacam itu. Cukuplah pikiran ini merasa keberatan membayangkan bagaimana ruh tertinggal di danau, bagaimana ruh (Rina) menahan napas (ya, di paragraf ketiga ada pernyataan tentang Rina-mati yang menahan napas) , lalu bagaimana ruh (Rina) yang gaib bisa meraih dan memeluk bunga lili yang fana. Rasanya tidak perlu lagi ditambahi dengan kesulitan bagaimana sang ruh bercerita dan mengirimkan cerita ini untuk dibaca orang (yang masih hidup). That’s overwhelming.

Good point: pengarang cerita ini pastilah orang yang sangat sabar dalam menceritakan sebuah kisah. Ia tidak terburu-buru, bercerita satu demi satu adegan untuk membawa pembacanya ke akhir cerita. Menurut saya “kesabaran” semacam itu modal yang bagus. Ia hanya perlu menemukan kisah yang tepat saja.

Semoga saya tidak berlebihan…

Read More...

Membicarakan Hujan di Bulan Desember

| Labels: , | 1 comments |

Oleh Setiyo Bardono

Bulan Desember identik dengan hujan. Desember, gede-gedene sumber, begitu khasanah budaya Jawa mengartikannya. "Sumber" sendiri bisa berarti mata air atau sumur. Bulan Desember berarti bulan dimana sumur atau mata air dalam kandungan air yang berlimpah karena hujan.

Dalam bulan Desember ini pula saya menerima dua naskah cerpen yang menyinggung tentang hujan. Dua cerpen tersebut harus saya resensi untuk program resensi karya kemudian.com. Sebenarnya saya bukan peresensi yang baik, tapi saya akan mencoba mengupas dua cerpen itu dengan cara saya sendiri.

Menanti Hujan
Oleh noir

Menanti Hujan adalah sebuah cerpen dengan kalimat awal yang begitu basah. Engkaukah yang datang bersama hujan ini?

Tapi kata ”hujan ini” memberi kesan hujan sudah turun, jadi proses ”Menanti Hujan” sepertinya sudah lewat. Selain itu, sebagai sebuah judul kata tersebut terlalu umum. Bila kata tersebut harus bersaing dengan ratusan judul cerpen untuk dibaca seseorang, kemungkinan besar bisa dilewati. Apalagi sebagaimana kita ketahui, menunggu adalah proses yang membosankan.

Selain harus mencerminkan keseluruhan isi, judul seyogyanya harus dibuat menarik. Jadi mengapa tidak mengambil kata “Lelaki Hujan” sebagai judul. Bukankah cerpen ini membicarakan sosoknya, mempertanyakan keberadaanmu, lelaki hujanku.


Membaca keseluruhan cerpen, saya seperti membaca sebuah puisi prosa. Deretan kata-kata indah mengalir seperti tarian hujan. Sepertinya penulis sedang larut dalam perasaannya.

Gerimis selalu sertai hadirmu. Seperti waktu-waktu lalu. Ingatkah kau pada masa hujan kerap basahi bumi? Kita larut menjalin asa. Percakapan disela gemuruh petir. Bisikan di antara desau angin. Bercumbu kala jarum-jarum air menghujam. Temaram begitu memabukkan.

Tapi, menderetkan kata-kata indah memerlukan stamina lebih. Benar saja, seperti hujan sekejap, cerpen ini berakhir terlalu cepat. Cerpen ini berhasil saya cetak menjadi satu halaman A4 dengan huruf Arial Narrow ukuran 10. Cerpen ini mungkin tergolong Cermin (Cerita Mini), sangat cocok dikirim ke majalah Gadis untuk mengisi rubrik Percikan.

Memang cerpen yang panjang belum tentu lebih bermutu dari pada cerpen yang pendek. Tapi melatih diri untuk menulis cerpen sesuai batas yang sering disyaratkan media atau panitia lomba cerpen, sangat diperlukan. Misalnya 6-8 halaman dengan huruf Arial ukuran 12 dengan jarak dua spasi. Batas halaman bisa melatih kita mencari celah bagaimana membuat alur cerita yang menarik. Batas halaman melatih kita bagaimana melebarkan cerita atau memampatkan cerita.

Cerpen ”Menanti Hujan” ini menyisakan banyak celah yang bisa digali. Misalnya bagaimana awal mula pertemuan dengan lelaki hujan (apakah waktu dia sedang ngojek payung?), apa yang menarik dari sosoknya, bagaimana ia suka berbasah-basah, dan lain-lain. Seperti hujan yang kadang deras, kadang rintik, dan kemudian berhenti, sebuah cerpen juga memerlukan irama. Kehidupan berjalan tidak datar-datar saja. Siapkan konflik, gejolak, pertentangan batin dan lain-lain.

Membaca cerpen ini saya seperti membaca curahan hati dalam sebuah diari. Sepertinya penulis mempersiapkan diri untuk larut dalam perasaannya. Jadilah permainan perasaan ini mengalun seiring rintik hujan. Tapi kadang perasaan seakan mempermainkan penulis hingga ada beberapa hal yang bisa membuat pembaca bertanya-tanya.

Aku masih menanti hujan. Tapi tak ada kau di ujung rintiknya. Aku tak dapat meraihmu di balik tirainya. Berbisik cinta berbuih gairah... .

Begitulah, seperti yang diuraikan sebelumnya. Mengapa Aku masih menanti hujan. Tapi tak ada engkau di ujung rintiknya. Mungkin akan lebih baik jika Aku masih menanti engkau, lelaki hujanku. Karena tak kutemukan senyummu di ujung rintiknya.

Bila penulis ingin bermain dengan perasaan, dalam cerpen ini ada satu percakapan yang cukup kuat untuk digali lebih dalam. Percakapan yang sebenarnya bisa menjadi mesiu untuk meledakkan cerpen ini.

”Aku bukan hujan.”
”Aku tahu itu.”
”Aku tak dapat selalu basahi kemaraumu.”
”Kemarau itu kau yang ciptakan.”
”Tapi aku bukanlah deras yang kau damba.”
”Lalu apakah kau?”
”Aku adalah musim yang salah.”

Tetesan hujan memang tidak pernah sia-sia, tak heran jika ada saja yang Menanti Hujan.

Nature Romance
Oleh sunshineofnay

Seperti cerpen ”Menanti Hujan”, kata ”Nature Romance” terlalu biasa untuk sebuah judul. Menurut saya, cerpen ini masuk dalam kategori JAIL (Judul Asing Isi Lokal). Sebenarnya sah-sah saja selama Judul tersebut bisa memberi ruh pada isi cerpen. Jangan seperti klub-klub sepakbola kita yang banyak menyewa pemain asing tapi hanya berkutat pada kompetisi lokal saja. Bukankah kita yang lebih memahami kondisi rumput lapangan sepakbola tanah air? Lho, apa hubungannya?

Sebagaimana cerpen, sebelum menulis kita harus memahami lebih dulu masalah yang akan ditulis. Jangan sampai penulis terengah-engah hingga pesan yang dituliskan menjadi tak sampai ke pembaca dan bertanya-tanya dalam hati ”Ini maksudnya apa ya?”.

Seperti cerpen Menanti Hujan, cerpen ini sepertinya diindah-indahkan atau dibuat agar indah. Hanya saja pemilihan katanya lebih sederhana. Semua unsur alam sepertinya ingin rangkum dalam cerpen itu untuk dikecap kenikmatannya. Dari Angin, hujan, malam hingga melibatkan bintang jatuh.

Aku merebahkan di perlintasan cakrawala. Saat semburatnya jingga senja, perlahan berubah menjadi selimut kelam yang berbintang. Aku terdiam. Terus terdiam. Dan mulai terpejam.

Begitulah rangkaian kalimat awal yang mengantarkan kita menuju Nature Romance. Sebuah loncatan perjalanan hingga menggapai percintaan yang terindah! Antara aku dan Angin Malam!! Untuk menghapus dahaga kerinduan pada kekasih-kekasihnya angin, hujan dan malam. Ah, mengapa judulnya menjadi Antara Angin, Hujan, Malam dan Bintang Jatuh?. Atau Percintaan Alam, siapa tahu bisa menarik para penggemar adiknya Vetty Vera ini. Lho

Sayang sekali cerpen ini kurang berhasil menyeret pembaca untuk ikut larut dalam percintaan dengan unsur-unsur alam itu. Gimana rasanya ya? Seperti Menanti Hujan, cerpen ini sebenarnya menyisakan banyak celah untuk digali lebih dalam. Seperti hujan, alam menyimpan misteri yang tak habis-habis untuk digali. Dan merasakan percintaan dengan alam bisa menjadi cerita yang sangat dahsyat.

Karena berani berbicara tentang alam, cerpen ini akan sangat mengena jika penulis berani mengangkat kenyataan-kenyataan seputar pengelolaan alam di negeri ini. Mungkin bisa sinergikan dengan berbagai isue yang sedang hangat dibicarakan seperti pembalakan hutan, global warming, pasar karbon dan lain-lain. Kepekaan sosial dalam sebuah cerpen bisa meningkatkan nilai cerpen tersebut.

Media untuk merekatkan bisa direka-reka dalam kegalauan angin misalnya. Ternyata Sang Angin tak mau diajak bercinta karena duka sedang menyelimuti wajahnya, setelah perjalanan jauh dan melihat alam begitu porak-poranda. Atau hujan yang sebenarnya ingin berhenti menangis karena takut rumah-rumah warga jadi terendam banjir. Seperti kebenaran, angin selalu bisa mencari sela untuk berhembus, air selalu bisa merembes. Maka teruslah bereksplorasi.

Penutup

Secara keseluruhan, masalah pemilihan tema memang menjadi problem utama dalam penulisan cerpen. Apa yang dirasa menarik oleh penulis belum tentu menarik bagi pembaca. Untuk itu diperlukan kepekaan hati dan kepekaan sosial untuk menangkap dan mengungkapkan sebuah tema.

Menguraikan tema menjadi sebuah cerita yang menarik juga memerlukan eksplorasi tiada henti. Sering-seringlah belajar dan membuka banyak referensi baik dari buku, diskusi, proses kreatif seorang pengarang, pengamatan lingkungan, dan lain-lain.

Selain itu mempelajari teori penulisan juga sangat membantu. Minimal kita jadi tahu bagaimana menulis dengan baik dan benar menurut EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan. Dalam dua cerpen ini masih terlihat beberapa kesalahan ejaan. Karena itu berpedomanlah dengan EYD. Oke? E... iYa Deh...

Bulan Desember identik dengan hujan. Desember, gede-gedene sumber, maka jangan pernah berhenti menggali sumber ide.

Depok, 10 Desember 2007
Setiyo Bardono, Perensensi Katro’, tinggal di Depok.

Read More...

Membaca “Danau Kematian”

| Labels: , | 0 comments |

Oleh: Ratih Kumala

Danau Kematian oleh niska

“Apakah ia akan bernasib sama seperti aku dulu? Tersihir oleh peri-peri kecil yang ada di permukaan danau dan terhanyut pula oleh tangan-tangan ganggang hijau yang gemulai ini?” (Cerpen “Danau Kematian”)

Peri-peri, yang digambarkan sebesar bunga pohon putri malu dan berterbangan lincah dengan sayap yang keemasan, adalah yang dikatakan sebagai penyebab kematian Rina, tokoh utama cerpen “Danau Kematian”. Peri ini juga yang kemudian membuat tokoh Irin, tergoda dan akhirnya tercebur ke danau.

“Danau Kematian” bercerita tentang Rina, kekasih Diar, yang tewas tepat pada hari ulangtahun Diar. Rina menghilang, dan kemudian diketahui ternyata telah tercebur di danau karena tertegun melihat bayangan peri di permukaan danau pada pagi hari. Ia tenggelam dan mayatnya tak ditemukan hingga lebih dari dua bulan. Cerpen ini bertutur lewat point of view (POV) Rina.

Sedari awal, penulis ingin menyuguhkan cerita yang sedih sekaligus indah. Di kalimat pembuka, tokoh Rina memanggil-manggil nama kekasihnya. Meski begitu, Diar, sang kekasih, tak juga kunjung datang. Lalu diikuti kesedihan berikutnya; berita hilangnya Rina. Selanjutnya, ditemukan mayat Rina di dalam danau. Di sela-sela itu, dikisahkan kematian neneknya Diar yang juga tenggelam di danau bertahun-tahun lalu. Juga Irin, adik Diar, yang tercebur di danau yang sama dan untungnya bisa diselamatkan.

Cerpen ini sedikit banyak mengingatkan saya akan novel Raumanen karya Marianne Katoppo, terutama karena dua karya tersebut sama-sama dituturkan lewat POV tokoh yang sudah mati dan kisah cinta yang melatari. Selain itu, kedua karya juga ada usaha untuk sengaja menyembunyikan kondisi tokoh utama yang sebenarnya. Sepertinya ingin memberi kejutan kepada pembaca bahwa POV dituturkan oleh orang yang telah mati. Mengenai hal ini, Raumanen jauh lebih berhasil, namun “Danau Kematian” sebaliknya. Ketika tiba pada paragraf empat cerpen “Danau Kematian”, pembaca sudah bisa menebak tokoh utama telah meninggal dunia. Lebih dari itu, sejujurnya, pembaca juga sudah bisa menebak kira-kira nasib naas macam apa yang telah menimpa tokoh utama. Semua petunjuk di paragraf-paragraf awal sudah dibuka oleh penulis. Meski pada tiga paragraf awal penulis berhasil membangun keindahan, namun pada saat yang sama penulis juga menghancurkan klimaksnya sendiri yang seharunya berada di sepertiga akhir paragraf.

Hal yang membuat saya meraba-raba cerpen ini adalah; ketidakyakinan saya, cerpen ini sebetulnya oleh penulis ingin diarahkan ke mana; kisah cinta, misteri, atau fantasi. Kisah cinta Diar dan Rina jelas menjadi latar dari cerpen ini. Rasa kehilangan kedua tokoh yang amat sangat, menegaskan bahwa kisah cinta di sini berperan penting. Namun begitu pula misteri, sebab hilangnya Rina yang tiba-tiba, juga judul yang sengaja dipilih; “Danau Kematian”. Awalnya, saya merasa yakin bahwa misterilah yang ingin dikedepankan, namun toh kemudian saya dapatkan bahwa cerita kematian di sini tidak lebih penting dari kisah cinta Rina dan Diar. Pada bagian ini, logika yang dibangun agak tersendat-sendat. Jika memang ada usaha pencarian Rina yang tiba-tiba hilang, seharusnya sudah ada pula usaha mencari Rina di danau yang jelas-jelas sebelumnya pernah menelan korban. Dugaan-dugaan macam inilah yang tidak diperhitungkan oleh penulis. Tepat ketika penulis ingin membangun aura misteri pada cerpen ini, saat itu pula penulis meluluhkannya sendiri dengan romantisme kekasih yang hilang. Sedang kisah fantasi, dalam hal ini adanya peri-peri di permukaan danau, yang menjadi penyebab tiga korban tercebur di danau seolah-olah ditulis hanya sebagai penguat keindahan visual imagery dalam cerpen ini. Padahal, tanpa peri pun bisa terbangun sebuah alasan penyebab kematian.

Sebagai sebuah cerita, cerpen “Danau Kematian” bisa dibilang mendekati lengkap. Diksi dan tata bahasa Indonesia penulis bagus. Usaha penulis untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik dengan sedikit bermain pada alur dan POV terlihat jelas. Hal ini menunjukan penulis telah selangkah lebih maju dalam proses pembelajarannya. Namun satu hal yang perlu dipoles benar adalah logika cerita. Satu contoh sederhana; tokoh Irin dikatakan sebagai gadis SMA, namun membaca keseluruhan cerpen ini, bagi pembaca (dalam hal ini saya) Irin adalah seorang anak kecil berusia tak lebih dari sepuluh tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, maka itu ia tetap naik perahu sendirian meski sudah dilarang. Juga segala sikap kekanak-kanakannya, yang manja dan keras kepala. Perilaku macam ini kurang logis untuk seorang gadis usia SMA.

Sangat wajar jika dalam tulisan-tulisan awal, keinginan menampilkan sebuah karya yang indah sangat kuat. Sayangnya definisi ‘indah’ di sini kadang masih sempit, sehingga kebanyakan penulis (terutama yang baru belajar) terbuai dengan keindahan bahasa. Cerpen “Danau Kematian” mengakhiri ceritanya dengan sedikit anti-klimaks. Penulis masih haus untuk bermain-main dengan diksi yang flamboyan. Jika saya diijinkan mengedit, maka akan saya akhiri tepat pada kalimat; “Perlahan kusadari, aku tak perlu tiupan angin untuk membawakan suara-suaraku padanya.” Titik. Dan membuang sisanya. Seorang penulis harus mulai belajar percaya pada kekuatan cerita itu sendiri, dan berani memotong kalimat yang bersifat boros dan artifisial.

Read More...

[Profil] Amalia Suryani

Sunday, December 16, 2007 | Labels: | 0 comments |

Amalia pernah menyandang Penulis Berbakat Lomba Teenlit writer 2005. Sejak saat itu ia telah mengeluarkan 3 novel teenlit yang semuanya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, yaitu Being 17, Rival, 100 jam dan dua buah cerpennya yang masuk dalam kumpulan cerpen teenlit GPU: Idolamu? Itu aku!

Read More...