MISTERI Danau Kematian

Monday, December 17, 2007 | Labels: , | |

Oleh Amalia Suryani

Danau Kematian oleh niska

Fiksi memang bisa menjadi kedok bagi pengarang untuk menjawab keanehan, ketidakmungkinan, dan lebih ekstrim lagi: kemustahilan. Lewat fiksi, imajinasi bisa dibentangkan seluas dunia, termasuk dunia lain yang tidak kasat mata. Penceritaan Danau Kematian adalah salah satu kemustahilan, yang saya yakin oleh pengarangnya dianggap “aman” karena ini cerita fiksi.

Saya menganggapnya mustahil karena tokoh aku dalam cerita ini adalah orang yang sudah mati, yang bahasa gaulnya: ruh gentayangan. Jadi teringat serial Desperate Housewives yang naratornya sudah mati.

Terus terang saya kecewa. Sejak awal cerita ini dimulai, saya sudah bisa mengira-ira apa yang terjadi pada aku. Apalagi dengan judul yang begitu gamblang: Danau Kematian, siapapun yang membaca pasti tahu kalau danau itu ada hubungannya dengan kematian karakter penting.

Saya tidak ingin berkomentar banyak tentang bagaimana cerita ini disusun, bagaimana pembaca dibawa ke akhir cerita yang menjanjikan jawaban, atau bagaimana “misteri” danau itu terkuak. Karena toh jawaban sudah terbayangkan tanpa harus menyelesaikan cerita. Tapi… saya punya kewajiban membaca cerita ini sampai tuntas agar komentar saya tidak salah. Dan jujur, sambil membaca saya terus berharap perkiraan saya meleset.

Sayang. Perkiraan saya tidak meleset. Si aku yang bernama Rina itu memang mati. Dengan gemas saya pun langsung bertanya: Bagaimana orang mati bisa bercerita?

Pertanyaan itu mungkin akan dijawab dengan gagah bahwa cerita ini hanya fiktif belaka. Pengarang hanya sedang mengumpamakan dirinya menjadi orang yang sudah mati yang jasadnya terjebak di dasar danau. Berani sekali. Seolah si pengarang sudah sangat paham dengan apa yang terjadi sesudah kematian. Berani sekali. Sebab ada pilihan yang lebih bijak untuk memilih karakter lain yang lebih masuk akal untuk diceritakan sebagai orang pertama. Diar, misalnya.

Namun apapun… gaya penceritaan dan pemilihan sudut pandang bercerita menjadi hak prerogatif pengarang. Saya cuma pembaca yang tidak suka dengan kemustahilan semacam itu. Cukuplah pikiran ini merasa keberatan membayangkan bagaimana ruh tertinggal di danau, bagaimana ruh (Rina) menahan napas (ya, di paragraf ketiga ada pernyataan tentang Rina-mati yang menahan napas) , lalu bagaimana ruh (Rina) yang gaib bisa meraih dan memeluk bunga lili yang fana. Rasanya tidak perlu lagi ditambahi dengan kesulitan bagaimana sang ruh bercerita dan mengirimkan cerita ini untuk dibaca orang (yang masih hidup). That’s overwhelming.

Good point: pengarang cerita ini pastilah orang yang sangat sabar dalam menceritakan sebuah kisah. Ia tidak terburu-buru, bercerita satu demi satu adegan untuk membawa pembacanya ke akhir cerita. Menurut saya “kesabaran” semacam itu modal yang bagus. Ia hanya perlu menemukan kisah yang tepat saja.

Semoga saya tidak berlebihan…

0 comments: