Membicarakan Hujan di Bulan Desember
Monday, December 17, 2007 | Labels: resensi, sesi 3 | |Oleh Setiyo Bardono
Bulan Desember identik dengan hujan. Desember, gede-gedene sumber, begitu khasanah budaya Jawa mengartikannya. "Sumber" sendiri bisa berarti mata air atau sumur. Bulan Desember berarti bulan dimana sumur atau mata air dalam kandungan air yang berlimpah karena hujan.
Dalam bulan Desember ini pula saya menerima dua naskah cerpen yang menyinggung tentang hujan. Dua cerpen tersebut harus saya resensi untuk program resensi karya kemudian.com. Sebenarnya saya bukan peresensi yang baik, tapi saya akan mencoba mengupas dua cerpen itu dengan cara saya sendiri.
Bulan Desember identik dengan hujan. Desember, gede-gedene sumber, begitu khasanah budaya Jawa mengartikannya. "Sumber" sendiri bisa berarti mata air atau sumur. Bulan Desember berarti bulan dimana sumur atau mata air dalam kandungan air yang berlimpah karena hujan.
Dalam bulan Desember ini pula saya menerima dua naskah cerpen yang menyinggung tentang hujan. Dua cerpen tersebut harus saya resensi untuk program resensi karya kemudian.com. Sebenarnya saya bukan peresensi yang baik, tapi saya akan mencoba mengupas dua cerpen itu dengan cara saya sendiri.
Menanti Hujan
Oleh noir
Menanti Hujan adalah sebuah cerpen dengan kalimat awal yang begitu basah. Engkaukah yang datang bersama hujan ini?
Tapi kata ”hujan ini” memberi kesan hujan sudah turun, jadi proses ”Menanti Hujan” sepertinya sudah lewat. Selain itu, sebagai sebuah judul kata tersebut terlalu umum. Bila kata tersebut harus bersaing dengan ratusan judul cerpen untuk dibaca seseorang, kemungkinan besar bisa dilewati. Apalagi sebagaimana kita ketahui, menunggu adalah proses yang membosankan.
Selain harus mencerminkan keseluruhan isi, judul seyogyanya harus dibuat menarik. Jadi mengapa tidak mengambil kata “Lelaki Hujan” sebagai judul. Bukankah cerpen ini membicarakan sosoknya, mempertanyakan keberadaanmu, lelaki hujanku.
Membaca keseluruhan cerpen, saya seperti membaca sebuah puisi prosa. Deretan kata-kata indah mengalir seperti tarian hujan. Sepertinya penulis sedang larut dalam perasaannya.
Gerimis selalu sertai hadirmu. Seperti waktu-waktu lalu. Ingatkah kau pada masa hujan kerap basahi bumi? Kita larut menjalin asa. Percakapan disela gemuruh petir. Bisikan di antara desau angin. Bercumbu kala jarum-jarum air menghujam. Temaram begitu memabukkan.
Tapi, menderetkan kata-kata indah memerlukan stamina lebih. Benar saja, seperti hujan sekejap, cerpen ini berakhir terlalu cepat. Cerpen ini berhasil saya cetak menjadi satu halaman A4 dengan huruf Arial Narrow ukuran 10. Cerpen ini mungkin tergolong Cermin (Cerita Mini), sangat cocok dikirim ke majalah Gadis untuk mengisi rubrik Percikan.
Memang cerpen yang panjang belum tentu lebih bermutu dari pada cerpen yang pendek. Tapi melatih diri untuk menulis cerpen sesuai batas yang sering disyaratkan media atau panitia lomba cerpen, sangat diperlukan. Misalnya 6-8 halaman dengan huruf Arial ukuran 12 dengan jarak dua spasi. Batas halaman bisa melatih kita mencari celah bagaimana membuat alur cerita yang menarik. Batas halaman melatih kita bagaimana melebarkan cerita atau memampatkan cerita.
Cerpen ”Menanti Hujan” ini menyisakan banyak celah yang bisa digali. Misalnya bagaimana awal mula pertemuan dengan lelaki hujan (apakah waktu dia sedang ngojek payung?), apa yang menarik dari sosoknya, bagaimana ia suka berbasah-basah, dan lain-lain. Seperti hujan yang kadang deras, kadang rintik, dan kemudian berhenti, sebuah cerpen juga memerlukan irama. Kehidupan berjalan tidak datar-datar saja. Siapkan konflik, gejolak, pertentangan batin dan lain-lain.
Membaca cerpen ini saya seperti membaca curahan hati dalam sebuah diari. Sepertinya penulis mempersiapkan diri untuk larut dalam perasaannya. Jadilah permainan perasaan ini mengalun seiring rintik hujan. Tapi kadang perasaan seakan mempermainkan penulis hingga ada beberapa hal yang bisa membuat pembaca bertanya-tanya.
Aku masih menanti hujan. Tapi tak ada kau di ujung rintiknya. Aku tak dapat meraihmu di balik tirainya. Berbisik cinta berbuih gairah... .
Begitulah, seperti yang diuraikan sebelumnya. Mengapa Aku masih menanti hujan. Tapi tak ada engkau di ujung rintiknya. Mungkin akan lebih baik jika Aku masih menanti engkau, lelaki hujanku. Karena tak kutemukan senyummu di ujung rintiknya.
Bila penulis ingin bermain dengan perasaan, dalam cerpen ini ada satu percakapan yang cukup kuat untuk digali lebih dalam. Percakapan yang sebenarnya bisa menjadi mesiu untuk meledakkan cerpen ini.
”Aku bukan hujan.”
”Aku tahu itu.”
”Aku tak dapat selalu basahi kemaraumu.”
”Kemarau itu kau yang ciptakan.”
”Tapi aku bukanlah deras yang kau damba.”
”Lalu apakah kau?”
”Aku adalah musim yang salah.”
Tetesan hujan memang tidak pernah sia-sia, tak heran jika ada saja yang Menanti Hujan.
Nature Romance
Oleh sunshineofnay
Seperti cerpen ”Menanti Hujan”, kata ”Nature Romance” terlalu biasa untuk sebuah judul. Menurut saya, cerpen ini masuk dalam kategori JAIL (Judul Asing Isi Lokal). Sebenarnya sah-sah saja selama Judul tersebut bisa memberi ruh pada isi cerpen. Jangan seperti klub-klub sepakbola kita yang banyak menyewa pemain asing tapi hanya berkutat pada kompetisi lokal saja. Bukankah kita yang lebih memahami kondisi rumput lapangan sepakbola tanah air? Lho, apa hubungannya?
Sebagaimana cerpen, sebelum menulis kita harus memahami lebih dulu masalah yang akan ditulis. Jangan sampai penulis terengah-engah hingga pesan yang dituliskan menjadi tak sampai ke pembaca dan bertanya-tanya dalam hati ”Ini maksudnya apa ya?”.
Seperti cerpen Menanti Hujan, cerpen ini sepertinya diindah-indahkan atau dibuat agar indah. Hanya saja pemilihan katanya lebih sederhana. Semua unsur alam sepertinya ingin rangkum dalam cerpen itu untuk dikecap kenikmatannya. Dari Angin, hujan, malam hingga melibatkan bintang jatuh.
Aku merebahkan di perlintasan cakrawala. Saat semburatnya jingga senja, perlahan berubah menjadi selimut kelam yang berbintang. Aku terdiam. Terus terdiam. Dan mulai terpejam.
Begitulah rangkaian kalimat awal yang mengantarkan kita menuju Nature Romance. Sebuah loncatan perjalanan hingga menggapai percintaan yang terindah! Antara aku dan Angin Malam!! Untuk menghapus dahaga kerinduan pada kekasih-kekasihnya angin, hujan dan malam. Ah, mengapa judulnya menjadi Antara Angin, Hujan, Malam dan Bintang Jatuh?. Atau Percintaan Alam, siapa tahu bisa menarik para penggemar adiknya Vetty Vera ini. Lho
Sayang sekali cerpen ini kurang berhasil menyeret pembaca untuk ikut larut dalam percintaan dengan unsur-unsur alam itu. Gimana rasanya ya? Seperti Menanti Hujan, cerpen ini sebenarnya menyisakan banyak celah untuk digali lebih dalam. Seperti hujan, alam menyimpan misteri yang tak habis-habis untuk digali. Dan merasakan percintaan dengan alam bisa menjadi cerita yang sangat dahsyat.
Karena berani berbicara tentang alam, cerpen ini akan sangat mengena jika penulis berani mengangkat kenyataan-kenyataan seputar pengelolaan alam di negeri ini. Mungkin bisa sinergikan dengan berbagai isue yang sedang hangat dibicarakan seperti pembalakan hutan, global warming, pasar karbon dan lain-lain. Kepekaan sosial dalam sebuah cerpen bisa meningkatkan nilai cerpen tersebut.
Media untuk merekatkan bisa direka-reka dalam kegalauan angin misalnya. Ternyata Sang Angin tak mau diajak bercinta karena duka sedang menyelimuti wajahnya, setelah perjalanan jauh dan melihat alam begitu porak-poranda. Atau hujan yang sebenarnya ingin berhenti menangis karena takut rumah-rumah warga jadi terendam banjir. Seperti kebenaran, angin selalu bisa mencari sela untuk berhembus, air selalu bisa merembes. Maka teruslah bereksplorasi.
Penutup
Secara keseluruhan, masalah pemilihan tema memang menjadi problem utama dalam penulisan cerpen. Apa yang dirasa menarik oleh penulis belum tentu menarik bagi pembaca. Untuk itu diperlukan kepekaan hati dan kepekaan sosial untuk menangkap dan mengungkapkan sebuah tema.
Menguraikan tema menjadi sebuah cerita yang menarik juga memerlukan eksplorasi tiada henti. Sering-seringlah belajar dan membuka banyak referensi baik dari buku, diskusi, proses kreatif seorang pengarang, pengamatan lingkungan, dan lain-lain.
Selain itu mempelajari teori penulisan juga sangat membantu. Minimal kita jadi tahu bagaimana menulis dengan baik dan benar menurut EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan. Dalam dua cerpen ini masih terlihat beberapa kesalahan ejaan. Karena itu berpedomanlah dengan EYD. Oke? E... iYa Deh...
Bulan Desember identik dengan hujan. Desember, gede-gedene sumber, maka jangan pernah berhenti menggali sumber ide.
Depok, 10 Desember 2007
Setiyo Bardono, Perensensi Katro’, tinggal di Depok.
Oleh noir
Menanti Hujan adalah sebuah cerpen dengan kalimat awal yang begitu basah. Engkaukah yang datang bersama hujan ini?
Tapi kata ”hujan ini” memberi kesan hujan sudah turun, jadi proses ”Menanti Hujan” sepertinya sudah lewat. Selain itu, sebagai sebuah judul kata tersebut terlalu umum. Bila kata tersebut harus bersaing dengan ratusan judul cerpen untuk dibaca seseorang, kemungkinan besar bisa dilewati. Apalagi sebagaimana kita ketahui, menunggu adalah proses yang membosankan.
Selain harus mencerminkan keseluruhan isi, judul seyogyanya harus dibuat menarik. Jadi mengapa tidak mengambil kata “Lelaki Hujan” sebagai judul. Bukankah cerpen ini membicarakan sosoknya, mempertanyakan keberadaanmu, lelaki hujanku.
Membaca keseluruhan cerpen, saya seperti membaca sebuah puisi prosa. Deretan kata-kata indah mengalir seperti tarian hujan. Sepertinya penulis sedang larut dalam perasaannya.
Gerimis selalu sertai hadirmu. Seperti waktu-waktu lalu. Ingatkah kau pada masa hujan kerap basahi bumi? Kita larut menjalin asa. Percakapan disela gemuruh petir. Bisikan di antara desau angin. Bercumbu kala jarum-jarum air menghujam. Temaram begitu memabukkan.
Tapi, menderetkan kata-kata indah memerlukan stamina lebih. Benar saja, seperti hujan sekejap, cerpen ini berakhir terlalu cepat. Cerpen ini berhasil saya cetak menjadi satu halaman A4 dengan huruf Arial Narrow ukuran 10. Cerpen ini mungkin tergolong Cermin (Cerita Mini), sangat cocok dikirim ke majalah Gadis untuk mengisi rubrik Percikan.
Memang cerpen yang panjang belum tentu lebih bermutu dari pada cerpen yang pendek. Tapi melatih diri untuk menulis cerpen sesuai batas yang sering disyaratkan media atau panitia lomba cerpen, sangat diperlukan. Misalnya 6-8 halaman dengan huruf Arial ukuran 12 dengan jarak dua spasi. Batas halaman bisa melatih kita mencari celah bagaimana membuat alur cerita yang menarik. Batas halaman melatih kita bagaimana melebarkan cerita atau memampatkan cerita.
Cerpen ”Menanti Hujan” ini menyisakan banyak celah yang bisa digali. Misalnya bagaimana awal mula pertemuan dengan lelaki hujan (apakah waktu dia sedang ngojek payung?), apa yang menarik dari sosoknya, bagaimana ia suka berbasah-basah, dan lain-lain. Seperti hujan yang kadang deras, kadang rintik, dan kemudian berhenti, sebuah cerpen juga memerlukan irama. Kehidupan berjalan tidak datar-datar saja. Siapkan konflik, gejolak, pertentangan batin dan lain-lain.
Membaca cerpen ini saya seperti membaca curahan hati dalam sebuah diari. Sepertinya penulis mempersiapkan diri untuk larut dalam perasaannya. Jadilah permainan perasaan ini mengalun seiring rintik hujan. Tapi kadang perasaan seakan mempermainkan penulis hingga ada beberapa hal yang bisa membuat pembaca bertanya-tanya.
Aku masih menanti hujan. Tapi tak ada kau di ujung rintiknya. Aku tak dapat meraihmu di balik tirainya. Berbisik cinta berbuih gairah... .
Begitulah, seperti yang diuraikan sebelumnya. Mengapa Aku masih menanti hujan. Tapi tak ada engkau di ujung rintiknya. Mungkin akan lebih baik jika Aku masih menanti engkau, lelaki hujanku. Karena tak kutemukan senyummu di ujung rintiknya.
Bila penulis ingin bermain dengan perasaan, dalam cerpen ini ada satu percakapan yang cukup kuat untuk digali lebih dalam. Percakapan yang sebenarnya bisa menjadi mesiu untuk meledakkan cerpen ini.
”Aku bukan hujan.”
”Aku tahu itu.”
”Aku tak dapat selalu basahi kemaraumu.”
”Kemarau itu kau yang ciptakan.”
”Tapi aku bukanlah deras yang kau damba.”
”Lalu apakah kau?”
”Aku adalah musim yang salah.”
Tetesan hujan memang tidak pernah sia-sia, tak heran jika ada saja yang Menanti Hujan.
Nature Romance
Oleh sunshineofnay
Seperti cerpen ”Menanti Hujan”, kata ”Nature Romance” terlalu biasa untuk sebuah judul. Menurut saya, cerpen ini masuk dalam kategori JAIL (Judul Asing Isi Lokal). Sebenarnya sah-sah saja selama Judul tersebut bisa memberi ruh pada isi cerpen. Jangan seperti klub-klub sepakbola kita yang banyak menyewa pemain asing tapi hanya berkutat pada kompetisi lokal saja. Bukankah kita yang lebih memahami kondisi rumput lapangan sepakbola tanah air? Lho, apa hubungannya?
Sebagaimana cerpen, sebelum menulis kita harus memahami lebih dulu masalah yang akan ditulis. Jangan sampai penulis terengah-engah hingga pesan yang dituliskan menjadi tak sampai ke pembaca dan bertanya-tanya dalam hati ”Ini maksudnya apa ya?”.
Seperti cerpen Menanti Hujan, cerpen ini sepertinya diindah-indahkan atau dibuat agar indah. Hanya saja pemilihan katanya lebih sederhana. Semua unsur alam sepertinya ingin rangkum dalam cerpen itu untuk dikecap kenikmatannya. Dari Angin, hujan, malam hingga melibatkan bintang jatuh.
Aku merebahkan di perlintasan cakrawala. Saat semburatnya jingga senja, perlahan berubah menjadi selimut kelam yang berbintang. Aku terdiam. Terus terdiam. Dan mulai terpejam.
Begitulah rangkaian kalimat awal yang mengantarkan kita menuju Nature Romance. Sebuah loncatan perjalanan hingga menggapai percintaan yang terindah! Antara aku dan Angin Malam!! Untuk menghapus dahaga kerinduan pada kekasih-kekasihnya angin, hujan dan malam. Ah, mengapa judulnya menjadi Antara Angin, Hujan, Malam dan Bintang Jatuh?. Atau Percintaan Alam, siapa tahu bisa menarik para penggemar adiknya Vetty Vera ini. Lho
Sayang sekali cerpen ini kurang berhasil menyeret pembaca untuk ikut larut dalam percintaan dengan unsur-unsur alam itu. Gimana rasanya ya? Seperti Menanti Hujan, cerpen ini sebenarnya menyisakan banyak celah untuk digali lebih dalam. Seperti hujan, alam menyimpan misteri yang tak habis-habis untuk digali. Dan merasakan percintaan dengan alam bisa menjadi cerita yang sangat dahsyat.
Karena berani berbicara tentang alam, cerpen ini akan sangat mengena jika penulis berani mengangkat kenyataan-kenyataan seputar pengelolaan alam di negeri ini. Mungkin bisa sinergikan dengan berbagai isue yang sedang hangat dibicarakan seperti pembalakan hutan, global warming, pasar karbon dan lain-lain. Kepekaan sosial dalam sebuah cerpen bisa meningkatkan nilai cerpen tersebut.
Media untuk merekatkan bisa direka-reka dalam kegalauan angin misalnya. Ternyata Sang Angin tak mau diajak bercinta karena duka sedang menyelimuti wajahnya, setelah perjalanan jauh dan melihat alam begitu porak-poranda. Atau hujan yang sebenarnya ingin berhenti menangis karena takut rumah-rumah warga jadi terendam banjir. Seperti kebenaran, angin selalu bisa mencari sela untuk berhembus, air selalu bisa merembes. Maka teruslah bereksplorasi.
Penutup
Secara keseluruhan, masalah pemilihan tema memang menjadi problem utama dalam penulisan cerpen. Apa yang dirasa menarik oleh penulis belum tentu menarik bagi pembaca. Untuk itu diperlukan kepekaan hati dan kepekaan sosial untuk menangkap dan mengungkapkan sebuah tema.
Menguraikan tema menjadi sebuah cerita yang menarik juga memerlukan eksplorasi tiada henti. Sering-seringlah belajar dan membuka banyak referensi baik dari buku, diskusi, proses kreatif seorang pengarang, pengamatan lingkungan, dan lain-lain.
Selain itu mempelajari teori penulisan juga sangat membantu. Minimal kita jadi tahu bagaimana menulis dengan baik dan benar menurut EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan. Dalam dua cerpen ini masih terlihat beberapa kesalahan ejaan. Karena itu berpedomanlah dengan EYD. Oke? E... iYa Deh...
Bulan Desember identik dengan hujan. Desember, gede-gedene sumber, maka jangan pernah berhenti menggali sumber ide.
Depok, 10 Desember 2007
Setiyo Bardono, Perensensi Katro’, tinggal di Depok.
setuju...
Desember Gede gedene sumber.