Membaca “Danau Kematian”
Monday, December 17, 2007 | Labels: resensi, sesi 3 | |Oleh: Ratih Kumala
Danau Kematian oleh niska
“Apakah ia akan bernasib sama seperti aku dulu? Tersihir oleh peri-peri kecil yang ada di permukaan danau dan terhanyut pula oleh tangan-tangan ganggang hijau yang gemulai ini?” (Cerpen “Danau Kematian”)
Peri-peri, yang digambarkan sebesar bunga pohon putri malu dan berterbangan lincah dengan sayap yang keemasan, adalah yang dikatakan sebagai penyebab kematian Rina, tokoh utama cerpen “Danau Kematian”. Peri ini juga yang kemudian membuat tokoh Irin, tergoda dan akhirnya tercebur ke danau.
“Danau Kematian” bercerita tentang Rina, kekasih Diar, yang tewas tepat pada hari ulangtahun Diar. Rina menghilang, dan kemudian diketahui ternyata telah tercebur di danau karena tertegun melihat bayangan peri di permukaan danau pada pagi hari. Ia tenggelam dan mayatnya tak ditemukan hingga lebih dari dua bulan. Cerpen ini bertutur lewat point of view (POV) Rina.
Danau Kematian oleh niska
“Apakah ia akan bernasib sama seperti aku dulu? Tersihir oleh peri-peri kecil yang ada di permukaan danau dan terhanyut pula oleh tangan-tangan ganggang hijau yang gemulai ini?” (Cerpen “Danau Kematian”)
Peri-peri, yang digambarkan sebesar bunga pohon putri malu dan berterbangan lincah dengan sayap yang keemasan, adalah yang dikatakan sebagai penyebab kematian Rina, tokoh utama cerpen “Danau Kematian”. Peri ini juga yang kemudian membuat tokoh Irin, tergoda dan akhirnya tercebur ke danau.
“Danau Kematian” bercerita tentang Rina, kekasih Diar, yang tewas tepat pada hari ulangtahun Diar. Rina menghilang, dan kemudian diketahui ternyata telah tercebur di danau karena tertegun melihat bayangan peri di permukaan danau pada pagi hari. Ia tenggelam dan mayatnya tak ditemukan hingga lebih dari dua bulan. Cerpen ini bertutur lewat point of view (POV) Rina.
Sedari awal, penulis ingin menyuguhkan cerita yang sedih sekaligus indah. Di kalimat pembuka, tokoh Rina memanggil-manggil nama kekasihnya. Meski begitu, Diar, sang kekasih, tak juga kunjung datang. Lalu diikuti kesedihan berikutnya; berita hilangnya Rina. Selanjutnya, ditemukan mayat Rina di dalam danau. Di sela-sela itu, dikisahkan kematian neneknya Diar yang juga tenggelam di danau bertahun-tahun lalu. Juga Irin, adik Diar, yang tercebur di danau yang sama dan untungnya bisa diselamatkan.
Cerpen ini sedikit banyak mengingatkan saya akan novel Raumanen karya Marianne Katoppo, terutama karena dua karya tersebut sama-sama dituturkan lewat POV tokoh yang sudah mati dan kisah cinta yang melatari. Selain itu, kedua karya juga ada usaha untuk sengaja menyembunyikan kondisi tokoh utama yang sebenarnya. Sepertinya ingin memberi kejutan kepada pembaca bahwa POV dituturkan oleh orang yang telah mati. Mengenai hal ini, Raumanen jauh lebih berhasil, namun “Danau Kematian” sebaliknya. Ketika tiba pada paragraf empat cerpen “Danau Kematian”, pembaca sudah bisa menebak tokoh utama telah meninggal dunia. Lebih dari itu, sejujurnya, pembaca juga sudah bisa menebak kira-kira nasib naas macam apa yang telah menimpa tokoh utama. Semua petunjuk di paragraf-paragraf awal sudah dibuka oleh penulis. Meski pada tiga paragraf awal penulis berhasil membangun keindahan, namun pada saat yang sama penulis juga menghancurkan klimaksnya sendiri yang seharunya berada di sepertiga akhir paragraf.
Hal yang membuat saya meraba-raba cerpen ini adalah; ketidakyakinan saya, cerpen ini sebetulnya oleh penulis ingin diarahkan ke mana; kisah cinta, misteri, atau fantasi. Kisah cinta Diar dan Rina jelas menjadi latar dari cerpen ini. Rasa kehilangan kedua tokoh yang amat sangat, menegaskan bahwa kisah cinta di sini berperan penting. Namun begitu pula misteri, sebab hilangnya Rina yang tiba-tiba, juga judul yang sengaja dipilih; “Danau Kematian”. Awalnya, saya merasa yakin bahwa misterilah yang ingin dikedepankan, namun toh kemudian saya dapatkan bahwa cerita kematian di sini tidak lebih penting dari kisah cinta Rina dan Diar. Pada bagian ini, logika yang dibangun agak tersendat-sendat. Jika memang ada usaha pencarian Rina yang tiba-tiba hilang, seharusnya sudah ada pula usaha mencari Rina di danau yang jelas-jelas sebelumnya pernah menelan korban. Dugaan-dugaan macam inilah yang tidak diperhitungkan oleh penulis. Tepat ketika penulis ingin membangun aura misteri pada cerpen ini, saat itu pula penulis meluluhkannya sendiri dengan romantisme kekasih yang hilang. Sedang kisah fantasi, dalam hal ini adanya peri-peri di permukaan danau, yang menjadi penyebab tiga korban tercebur di danau seolah-olah ditulis hanya sebagai penguat keindahan visual imagery dalam cerpen ini. Padahal, tanpa peri pun bisa terbangun sebuah alasan penyebab kematian.
Sebagai sebuah cerita, cerpen “Danau Kematian” bisa dibilang mendekati lengkap. Diksi dan tata bahasa Indonesia penulis bagus. Usaha penulis untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik dengan sedikit bermain pada alur dan POV terlihat jelas. Hal ini menunjukan penulis telah selangkah lebih maju dalam proses pembelajarannya. Namun satu hal yang perlu dipoles benar adalah logika cerita. Satu contoh sederhana; tokoh Irin dikatakan sebagai gadis SMA, namun membaca keseluruhan cerpen ini, bagi pembaca (dalam hal ini saya) Irin adalah seorang anak kecil berusia tak lebih dari sepuluh tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, maka itu ia tetap naik perahu sendirian meski sudah dilarang. Juga segala sikap kekanak-kanakannya, yang manja dan keras kepala. Perilaku macam ini kurang logis untuk seorang gadis usia SMA.
Sangat wajar jika dalam tulisan-tulisan awal, keinginan menampilkan sebuah karya yang indah sangat kuat. Sayangnya definisi ‘indah’ di sini kadang masih sempit, sehingga kebanyakan penulis (terutama yang baru belajar) terbuai dengan keindahan bahasa. Cerpen “Danau Kematian” mengakhiri ceritanya dengan sedikit anti-klimaks. Penulis masih haus untuk bermain-main dengan diksi yang flamboyan. Jika saya diijinkan mengedit, maka akan saya akhiri tepat pada kalimat; “Perlahan kusadari, aku tak perlu tiupan angin untuk membawakan suara-suaraku padanya.” Titik. Dan membuang sisanya. Seorang penulis harus mulai belajar percaya pada kekuatan cerita itu sendiri, dan berani memotong kalimat yang bersifat boros dan artifisial.
Cerpen ini sedikit banyak mengingatkan saya akan novel Raumanen karya Marianne Katoppo, terutama karena dua karya tersebut sama-sama dituturkan lewat POV tokoh yang sudah mati dan kisah cinta yang melatari. Selain itu, kedua karya juga ada usaha untuk sengaja menyembunyikan kondisi tokoh utama yang sebenarnya. Sepertinya ingin memberi kejutan kepada pembaca bahwa POV dituturkan oleh orang yang telah mati. Mengenai hal ini, Raumanen jauh lebih berhasil, namun “Danau Kematian” sebaliknya. Ketika tiba pada paragraf empat cerpen “Danau Kematian”, pembaca sudah bisa menebak tokoh utama telah meninggal dunia. Lebih dari itu, sejujurnya, pembaca juga sudah bisa menebak kira-kira nasib naas macam apa yang telah menimpa tokoh utama. Semua petunjuk di paragraf-paragraf awal sudah dibuka oleh penulis. Meski pada tiga paragraf awal penulis berhasil membangun keindahan, namun pada saat yang sama penulis juga menghancurkan klimaksnya sendiri yang seharunya berada di sepertiga akhir paragraf.
Hal yang membuat saya meraba-raba cerpen ini adalah; ketidakyakinan saya, cerpen ini sebetulnya oleh penulis ingin diarahkan ke mana; kisah cinta, misteri, atau fantasi. Kisah cinta Diar dan Rina jelas menjadi latar dari cerpen ini. Rasa kehilangan kedua tokoh yang amat sangat, menegaskan bahwa kisah cinta di sini berperan penting. Namun begitu pula misteri, sebab hilangnya Rina yang tiba-tiba, juga judul yang sengaja dipilih; “Danau Kematian”. Awalnya, saya merasa yakin bahwa misterilah yang ingin dikedepankan, namun toh kemudian saya dapatkan bahwa cerita kematian di sini tidak lebih penting dari kisah cinta Rina dan Diar. Pada bagian ini, logika yang dibangun agak tersendat-sendat. Jika memang ada usaha pencarian Rina yang tiba-tiba hilang, seharusnya sudah ada pula usaha mencari Rina di danau yang jelas-jelas sebelumnya pernah menelan korban. Dugaan-dugaan macam inilah yang tidak diperhitungkan oleh penulis. Tepat ketika penulis ingin membangun aura misteri pada cerpen ini, saat itu pula penulis meluluhkannya sendiri dengan romantisme kekasih yang hilang. Sedang kisah fantasi, dalam hal ini adanya peri-peri di permukaan danau, yang menjadi penyebab tiga korban tercebur di danau seolah-olah ditulis hanya sebagai penguat keindahan visual imagery dalam cerpen ini. Padahal, tanpa peri pun bisa terbangun sebuah alasan penyebab kematian.
Sebagai sebuah cerita, cerpen “Danau Kematian” bisa dibilang mendekati lengkap. Diksi dan tata bahasa Indonesia penulis bagus. Usaha penulis untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik dengan sedikit bermain pada alur dan POV terlihat jelas. Hal ini menunjukan penulis telah selangkah lebih maju dalam proses pembelajarannya. Namun satu hal yang perlu dipoles benar adalah logika cerita. Satu contoh sederhana; tokoh Irin dikatakan sebagai gadis SMA, namun membaca keseluruhan cerpen ini, bagi pembaca (dalam hal ini saya) Irin adalah seorang anak kecil berusia tak lebih dari sepuluh tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, maka itu ia tetap naik perahu sendirian meski sudah dilarang. Juga segala sikap kekanak-kanakannya, yang manja dan keras kepala. Perilaku macam ini kurang logis untuk seorang gadis usia SMA.
Sangat wajar jika dalam tulisan-tulisan awal, keinginan menampilkan sebuah karya yang indah sangat kuat. Sayangnya definisi ‘indah’ di sini kadang masih sempit, sehingga kebanyakan penulis (terutama yang baru belajar) terbuai dengan keindahan bahasa. Cerpen “Danau Kematian” mengakhiri ceritanya dengan sedikit anti-klimaks. Penulis masih haus untuk bermain-main dengan diksi yang flamboyan. Jika saya diijinkan mengedit, maka akan saya akhiri tepat pada kalimat; “Perlahan kusadari, aku tak perlu tiupan angin untuk membawakan suara-suaraku padanya.” Titik. Dan membuang sisanya. Seorang penulis harus mulai belajar percaya pada kekuatan cerita itu sendiri, dan berani memotong kalimat yang bersifat boros dan artifisial.