ROMANTISME Menanti Hujan
Monday, December 17, 2007 | Labels: resensi, sesi 3 | |Oleh Amalia Suryani
Menanti Hujan oleh noir
Tidak jelas. Tapi ketidakjelasan itu sangat manis dibaca dan dibayangkan. Mungkin ini gara-gara hujan. Sebab selain nuansa suram dan kelabu, hujan memang suka memberi efek manis romantis.
Engkaukah yang datang bersama hujan itu?
Oh ya… si pengarang, yang awalnya saya pikir perempuan, memilih pertanyaan yang benar. Sebab pertanyaan sentimentil semacam itu sungguh serasi dipadankan dengan suasana tubuh dan sekaligus hati yang dingin.
Menanti Hujan oleh noir
Tidak jelas. Tapi ketidakjelasan itu sangat manis dibaca dan dibayangkan. Mungkin ini gara-gara hujan. Sebab selain nuansa suram dan kelabu, hujan memang suka memberi efek manis romantis.
Engkaukah yang datang bersama hujan itu?
Oh ya… si pengarang, yang awalnya saya pikir perempuan, memilih pertanyaan yang benar. Sebab pertanyaan sentimentil semacam itu sungguh serasi dipadankan dengan suasana tubuh dan sekaligus hati yang dingin.
Namun rasanya judul tulisan ini kurang pas. Sebab hujan sudah datang (kok masih dinanti?). Hanya lelaki hujan saja yang belum muncul. Jadi bukan hujan yang ditunggu-tunggu, melainkan si lelaki hujan. Mungkin pengarang lebih memilih judul “Menanti Lelaki Hujan” agar tidak mementahkan romantisme yang ingin ia ciptakan. Mungkin.
Diceritakan hujan sedang turun, aku bertanya apakah lelaki hujan datang bersama hujan itu, sebab biasanya lelaki itu datang ketika hujan. Aku lalu bertanya-tanya apakah lelaki hujan tidak akan lagi datang bersama hujan, melainkan bersama kemarau. Lelaki hujan menjawab; bahwa ia bukan hujan, ia juga bukan kemarau. Ia adalah musim yang salah. Nah… sampai di sini saya jadi bingung. Rangkaian pertanyaan dan jawaban di akhir tulisan ini merusak keasyikan saya mengikuti nasib aku yang menanti seorang lelaki yang mestinya datang bersama hujan,
“Aku bukan hujan.”
Saya ngerti lelaki itu bukan hujan. Ia cuma seseorang yang biasa datang bersama hujan. Jadi sepertinya, pada akhirnya ia datang untuk menjelaskan pada aku kalau dirinya bukan hujan.
“Kemarau itu kau yang ciptakan.”
Saya asumsikan kemarau di sini adalah gambaran kerinduan aku. Dan kemarau itu muncul karena lelaki hujan lama tak datang.
“Aku adalah musim yang salah.”
Ah ya… ini yang paling mengganggu. Kalimat ini menjadi puncak “kalimat berbunga” alias kiasan yang sejak awal menjadi gaya yang pasti sengaja dipilih pengarang untuk menceritakan kisah aku. Apa yang sebetulnya hendak disampaikan pengarang? Saya merasa kalimat itu bukan sekadar pemanis percakapan.
Apakah ungkapan itu disampaikan untuk meminta secara tidak langsung agar aku tidak perlu lagi menunggu lelaki hujan datang bersama hujan? Bahwa di saat-saat sebelumnya aku keliru menganggap lelaki itu adalah lelaki hujan? Bahwa ia hanya lelaki yang memiliki banyak kenangan berlatar suasana hujan dengan aku? Bahwa ia sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hujan yang menyertainya? Atau ia hendak menyampaikan kalau selama ini ia datang tidak di saat yang tepat?
Ada banyak kemungkinan. Saya sendiri lebih suka menganggap tulisan ini adalah jelmaan rasa rindu seorang perempuan akan kehadiran seseorang yang selama ini membuatnya tenang sekaligus bisa mengekspresikan perasaannya dengan liar. Rasa rindu itu belum terobati hingga akhir cerita sebab yang ia tunggu belum muncul, kecuali sekadar penggalan-penggalan kenangan.
Ah ya, satu hal lagi yang saya simpulkan dari tulisan ini: bahwa pada tanggal 9 Oktober 2007 sekitar pukul 2 siang… turun hujan.
Diceritakan hujan sedang turun, aku bertanya apakah lelaki hujan datang bersama hujan itu, sebab biasanya lelaki itu datang ketika hujan. Aku lalu bertanya-tanya apakah lelaki hujan tidak akan lagi datang bersama hujan, melainkan bersama kemarau. Lelaki hujan menjawab; bahwa ia bukan hujan, ia juga bukan kemarau. Ia adalah musim yang salah. Nah… sampai di sini saya jadi bingung. Rangkaian pertanyaan dan jawaban di akhir tulisan ini merusak keasyikan saya mengikuti nasib aku yang menanti seorang lelaki yang mestinya datang bersama hujan,
“Aku bukan hujan.”
Saya ngerti lelaki itu bukan hujan. Ia cuma seseorang yang biasa datang bersama hujan. Jadi sepertinya, pada akhirnya ia datang untuk menjelaskan pada aku kalau dirinya bukan hujan.
“Kemarau itu kau yang ciptakan.”
Saya asumsikan kemarau di sini adalah gambaran kerinduan aku. Dan kemarau itu muncul karena lelaki hujan lama tak datang.
“Aku adalah musim yang salah.”
Ah ya… ini yang paling mengganggu. Kalimat ini menjadi puncak “kalimat berbunga” alias kiasan yang sejak awal menjadi gaya yang pasti sengaja dipilih pengarang untuk menceritakan kisah aku. Apa yang sebetulnya hendak disampaikan pengarang? Saya merasa kalimat itu bukan sekadar pemanis percakapan.
Apakah ungkapan itu disampaikan untuk meminta secara tidak langsung agar aku tidak perlu lagi menunggu lelaki hujan datang bersama hujan? Bahwa di saat-saat sebelumnya aku keliru menganggap lelaki itu adalah lelaki hujan? Bahwa ia hanya lelaki yang memiliki banyak kenangan berlatar suasana hujan dengan aku? Bahwa ia sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hujan yang menyertainya? Atau ia hendak menyampaikan kalau selama ini ia datang tidak di saat yang tepat?
Ada banyak kemungkinan. Saya sendiri lebih suka menganggap tulisan ini adalah jelmaan rasa rindu seorang perempuan akan kehadiran seseorang yang selama ini membuatnya tenang sekaligus bisa mengekspresikan perasaannya dengan liar. Rasa rindu itu belum terobati hingga akhir cerita sebab yang ia tunggu belum muncul, kecuali sekadar penggalan-penggalan kenangan.
Ah ya, satu hal lagi yang saya simpulkan dari tulisan ini: bahwa pada tanggal 9 Oktober 2007 sekitar pukul 2 siang… turun hujan.
huih, jadi ingin belajar meresensi...
hayooo Hann ... meresensi karya om Budi Darma ajah kekeke. Posting di blog, atau kita janjian Close Reading karya yang sama? :p