Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha ti.
Monday, December 17, 2007 | Labels: resensi, sesi 3 | |Oleh Mikael Johani
Hati oleh ghe
duh.
hatimu berserakan di lantai kamarku
sebentar. kuambil pengki dan sapu
Saya tertawa membaca ini. Sebentar, jangan tertawa dulu. Tertawa barang langka sekarang dalam sastra Indonesia, paling tidak (meneruskan rant saya dua di sesi satu kemarin) yang diakui oleh koran-koran Minggu. Dan orang sebenarnya rindu ketawa, lihat ini. Jadi, satu hal penting dulu, hanya karena saya tertawa, bukan berarti sajak kecil ini lebih 'ringan' apalagi lebih tidak bermutu daripada sajak yang membuat saya mengerutkan dahi atau mengelus-elus dada (ini juga mungkin terjadi gara-gara saya bingung dan putus asa nggak ngerti artinya, belum tentu karena sajaknya menyedihkan dan membuat trenyuh).
Hati oleh ghe
duh.
hatimu berserakan di lantai kamarku
sebentar. kuambil pengki dan sapu
Saya tertawa membaca ini. Sebentar, jangan tertawa dulu. Tertawa barang langka sekarang dalam sastra Indonesia, paling tidak (meneruskan rant saya dua di sesi satu kemarin) yang diakui oleh koran-koran Minggu. Dan orang sebenarnya rindu ketawa, lihat ini. Jadi, satu hal penting dulu, hanya karena saya tertawa, bukan berarti sajak kecil ini lebih 'ringan' apalagi lebih tidak bermutu daripada sajak yang membuat saya mengerutkan dahi atau mengelus-elus dada (ini juga mungkin terjadi gara-gara saya bingung dan putus asa nggak ngerti artinya, belum tentu karena sajaknya menyedihkan dan membuat trenyuh).
Saya tertawa karena apa? Pertama-tama, tidak jelas. Tapi menurut saya, alasan tertawa memang susah dijelaskan. Tidak semua orang akan menertawakan hal yang sama. Dan hal yang sama-sama ditertawakan mungkin sekali tidak ditertawakan karena alasan yang sama. Ada alasannya kenapa Freud menjuduli kitab sucinya tentang humor 'Jokes and their Relation to the Unconscious', karena kelihatannya memang itulah yang diserang oleh sebuah lelucon, alam bawah sadar kita, sebelum sadar kenapa, kita sudah tertawa duluan.
Tapi marilah kita bermain Oprah sebentar, jadi psikoanalis amatiran.
Mungkin yang pertama membuat saya ketawa adalah anti-klimaks sajak ini, 'sebentar. kuambil pengki dan sapu'. si pacar (eks pacar!) sadar hati (eks)pacarnya berserakan di lantai kamar (pastinya dia sendiri yang menghancurkannya!) tapi reaksinya bukan, misalnya, 'nih, bunga sekeranjang!', dia hanya akan menyapu serpihan-serpihan hati itu, menggiringnya ke pengki, dan kemudian saya bayangkan, ke mana lagi kalau bukan membuangnya ke tempat sampah! dan perhatikan titik setelah sebentar itu. bukan 'sebentar, (koma) ...' seberapakah sebentar yang diikuti titik itu? si (eks)pacar berdiri (atau mungkin tergeletak pingsan di lantai) tanpa hati, dan masih juga dia disuruh menunggu! mana emergency response-nya!
Tapi mungkin sebelum itu saya sudah ketawa karena 'duh.' di baris pertama. ini (lagi-lagi diikuti titik yang nyantai, bukan koma yang tergesa apalagi tanda pentung yang panik) duh khawatir atau duh kebosanan? duuuh, lagi deh, gimana siiih!
Kesinisan penyair, yang dikatakan dengan begitu dead pan, buat saya sangat menghibur. Buat saya, kesinisan adalah emosi yang sama real-nya dengan, misalnya, penyesalan. Dan penyesalan sudah diberikan terlalu banyak tempat di koran Minggu (tetep).
Tapi ini masalah yang buat saya memang besar. Sejak puisi mbeling di tahun '70-an (cari antologi 'Penyair Muda Di Depan Forum' di toko buku Jose Rizal di TIM), baru 'Antologi Bunga Matahari' (2005) yang dengan sadar memberi tempat utk emosi-emosi yang tidak melulu muram. (Joko Pinurbo bisa lucu juga, tapi pada dasarnya dia seorang romantis yang paling suka kalau bisa menguras air mata pembacanya.)
Mungkin selain tertawa karena sajak ini lucu, saya juga tertawa lega karena sajak ini tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam romantisme, apalagi sentimentalisme, yang palsu.
Tidak tahu apakah ini sengaja atau tidak, mungkin tidak penting sengaja atau tidak, saya juga suka dengan bentuk visual sajak ini. Pendek, cuma tiga baris, yg membuat saya berpikir tentang haiku, atau misalnya ini:
Malam Lebaran
Bulan
Di atas kuburan
(Sitor Situmorang)
Yang juga mungkin membuat saya secara tidak sadar menanti sesuatu yang penuh kekhidmatan seperti itu. Penantian yang langsung hancur berserakan setelah membaca 'duh.' tadi.
Perrmainan bentuk seperti ini, mengkhianati bentuk, tentu bisa menjadi salah satu senjata penyair yang ampuh. Seperti Sitor sendiri misalnya, dengan (nyaris)pantun-nya 'Si Anak Hilang' yang pulang ke bentuk tradisional hanya untuk memberi tahu bahwa si anak hilang ini tidak mungkin pulang!
Dan lagi2, parodi bentuk seperti ini juga jarang sekali ditemui sekarang di koran-koran Minggu. Yang kebanyakan memuat verse yang sok libre. Satu lagi centang dengan bolpen hijau untuk puisi 'Hati' ini.
Satu lagi yang membuat saya penasaran tentang ini, dan yang juga lama tidak disinggung oleh sastra Indonesia, terutama kritik(us)2nya adalah fungsi retorik puisi ini. Dia diucapkan untuk apa? Apakah misalnya, untuk membuat (eks)pacar ini jadi lebih kesal sehingga dia akhirnya meninggalkan kamar terus si penyair bisa tenang hore2 main Wii? Kita suka lupa puisi punya maksud pragmatis seperti itu juga. Dan seandainya itu benar, betapa efektifnya puisi ini! (Eks)pacar mana yang tidak akan semakin muak dengan penyair tanpa hati seperti ini!
Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
ha.
Tapi marilah kita bermain Oprah sebentar, jadi psikoanalis amatiran.
Mungkin yang pertama membuat saya ketawa adalah anti-klimaks sajak ini, 'sebentar. kuambil pengki dan sapu'. si pacar (eks pacar!) sadar hati (eks)pacarnya berserakan di lantai kamar (pastinya dia sendiri yang menghancurkannya!) tapi reaksinya bukan, misalnya, 'nih, bunga sekeranjang!', dia hanya akan menyapu serpihan-serpihan hati itu, menggiringnya ke pengki, dan kemudian saya bayangkan, ke mana lagi kalau bukan membuangnya ke tempat sampah! dan perhatikan titik setelah sebentar itu. bukan 'sebentar, (koma) ...' seberapakah sebentar yang diikuti titik itu? si (eks)pacar berdiri (atau mungkin tergeletak pingsan di lantai) tanpa hati, dan masih juga dia disuruh menunggu! mana emergency response-nya!
Tapi mungkin sebelum itu saya sudah ketawa karena 'duh.' di baris pertama. ini (lagi-lagi diikuti titik yang nyantai, bukan koma yang tergesa apalagi tanda pentung yang panik) duh khawatir atau duh kebosanan? duuuh, lagi deh, gimana siiih!
Kesinisan penyair, yang dikatakan dengan begitu dead pan, buat saya sangat menghibur. Buat saya, kesinisan adalah emosi yang sama real-nya dengan, misalnya, penyesalan. Dan penyesalan sudah diberikan terlalu banyak tempat di koran Minggu (tetep).
Tapi ini masalah yang buat saya memang besar. Sejak puisi mbeling di tahun '70-an (cari antologi 'Penyair Muda Di Depan Forum' di toko buku Jose Rizal di TIM), baru 'Antologi Bunga Matahari' (2005) yang dengan sadar memberi tempat utk emosi-emosi yang tidak melulu muram. (Joko Pinurbo bisa lucu juga, tapi pada dasarnya dia seorang romantis yang paling suka kalau bisa menguras air mata pembacanya.)
Mungkin selain tertawa karena sajak ini lucu, saya juga tertawa lega karena sajak ini tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam romantisme, apalagi sentimentalisme, yang palsu.
Tidak tahu apakah ini sengaja atau tidak, mungkin tidak penting sengaja atau tidak, saya juga suka dengan bentuk visual sajak ini. Pendek, cuma tiga baris, yg membuat saya berpikir tentang haiku, atau misalnya ini:
Malam Lebaran
Bulan
Di atas kuburan
(Sitor Situmorang)
Yang juga mungkin membuat saya secara tidak sadar menanti sesuatu yang penuh kekhidmatan seperti itu. Penantian yang langsung hancur berserakan setelah membaca 'duh.' tadi.
Perrmainan bentuk seperti ini, mengkhianati bentuk, tentu bisa menjadi salah satu senjata penyair yang ampuh. Seperti Sitor sendiri misalnya, dengan (nyaris)pantun-nya 'Si Anak Hilang' yang pulang ke bentuk tradisional hanya untuk memberi tahu bahwa si anak hilang ini tidak mungkin pulang!
Dan lagi2, parodi bentuk seperti ini juga jarang sekali ditemui sekarang di koran-koran Minggu. Yang kebanyakan memuat verse yang sok libre. Satu lagi centang dengan bolpen hijau untuk puisi 'Hati' ini.
Satu lagi yang membuat saya penasaran tentang ini, dan yang juga lama tidak disinggung oleh sastra Indonesia, terutama kritik(us)2nya adalah fungsi retorik puisi ini. Dia diucapkan untuk apa? Apakah misalnya, untuk membuat (eks)pacar ini jadi lebih kesal sehingga dia akhirnya meninggalkan kamar terus si penyair bisa tenang hore2 main Wii? Kita suka lupa puisi punya maksud pragmatis seperti itu juga. Dan seandainya itu benar, betapa efektifnya puisi ini! (Eks)pacar mana yang tidak akan semakin muak dengan penyair tanpa hati seperti ini!
Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
hahahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
ha.
untunglah pembahasan dr pak mikael keren juga. tapi mang puisinya ghe top sih..! hehehehe..
(bocoran panitia) puisi ini-lah yang sanggup bertahan di antara belasan karya lainnya :D heheheu
asik asik..
:D
makasih mas mikael..
seneng sekali ikut acara berani diresensi ini, jadi banyak belajar!
dan termotivasi sekali untuk membuat puisi dengan sadar.. (nggak mabok, gituh maksudnya..)
:D