Membincangkan “Bincang Kecil Tono”
Sunday, December 2, 2007 | Labels: resensi, sesi 2 | |Oleh Primadonna Angela
Bincang Kecil Tono oleh dikadiman
Kisah yang baik, sepantasnya dimulai dengan kalimat pembuka dan paragraf yang dapat menarik perhatian pembaca. Sayangnya, tidak demikian di kisah ini. Awal yang biasa-biasa saja, membuat saya sebagai pembaca memiliki ekspektasi yang rendah.
Dimulai dengan, “Sore hari awal perkuliahan ini tidak terasa istimewa bagi Tono.” Reaksi awal saya sebagai pembaca, ingin berkata, “Terus kenapa?” Memangnya yang spesial bagi Tono seperti apa? Memangnya seperti apa sih, Tono ini? Tidak begitu jelas. Mungkin kalau diganti dengan, “Kalaupun ada yang menciumnya di bibir pagi ini, Tono masih akan beranggapan harinya biasa-biasa saja.” Dengan membaca kalimat ini, pembaca bisa berkesimpulan, barangkali Tono tipe yang memandang dunia dengan pahit, atau, tak ada apa pun yang bisa membuatnya kaget.
Bincang Kecil Tono oleh dikadiman
Kisah yang baik, sepantasnya dimulai dengan kalimat pembuka dan paragraf yang dapat menarik perhatian pembaca. Sayangnya, tidak demikian di kisah ini. Awal yang biasa-biasa saja, membuat saya sebagai pembaca memiliki ekspektasi yang rendah.
Dimulai dengan, “Sore hari awal perkuliahan ini tidak terasa istimewa bagi Tono.” Reaksi awal saya sebagai pembaca, ingin berkata, “Terus kenapa?” Memangnya yang spesial bagi Tono seperti apa? Memangnya seperti apa sih, Tono ini? Tidak begitu jelas. Mungkin kalau diganti dengan, “Kalaupun ada yang menciumnya di bibir pagi ini, Tono masih akan beranggapan harinya biasa-biasa saja.” Dengan membaca kalimat ini, pembaca bisa berkesimpulan, barangkali Tono tipe yang memandang dunia dengan pahit, atau, tak ada apa pun yang bisa membuatnya kaget.
Dan penjabaran kisah yang apa adanya, deskripsi yang menurut saya sebaiknya diganti aksi (show, don’t tell!), membuat kisah ini terasa semakin datar saja. Sebagai contoh, lihat tiga kalimat dari paragraf pertama ini:
Kegagalannya meraih nilai baik pada semester pendek membuat Tono bosan kuliah. Tidak hanya itu, ternyata kegagalan akademis ini juga membuatnya malas bergaul. Maka, alih-alih menyapa pacar atau teman-teman, alih-alih memberi tanda tangan pada anak-anak baru, begitu jam tangan menunjukan pukul setengah empat, Tono langsung menuju ke ruang kuliah. Padahal perkuliahan sendiri baru dimulai setengah jam lagi.
Tono dikisahkan sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja, malas bergaul, dan sebagainya. Daripada menceritakan apa adanya seperti ini, mungkin akan lebih menarik kalau Tono digambarkan sedang terburu-buru menuju kelas (begitu sampai di sana, baru diceritakan padahal kelasnya masih setengah jam lagi, jadi sebenarnya dia tidak punya alasan kuat untuk tergesa-gesa), dengan sengaja menghindari para mahasiswa baru, melengos saat ada yang berusaha menegurnya. Para pembaca akan dapat menarik kesimpulan, oh, barangkali Tono orangnya penyendiri, agak antisosial.
Tiadanya konflik juga membuat kisah ini terasa flat. Tono mau kuliah, bertemu teman, mengaku dia homo, diterima, kemudian mendapatkan teman baru(?). Sebagai pembaca, saya tidak merasa ada keterlibatan emosi dengan Tono. Tidak ada misteri yang membuat saya bersemangat untuk membaca kisah ini sampai akhir.
Barangkali penulis memaksudkan, asalkan Tono mau membuka diri pada seseorang, dia akan sadar, bahwa sebenarnya tidak semua orang punya prasangka buruk pada homoseksualitas. Ini adalah tema atau pesan moral yang bagus, dan patut dikembangkan.
Barangkali kalau penulis memasukkan sedikit flash back, mengenai trauma Tono dalam menjalin persahabatan, kisah akan menjadi lebih hidup. Mungkin untuk membangun suspense, saat Tono memberitahu Herman bahwa dia homo, ada jeda yang signifikan. Ekspresi tertentu di wajah Herman, gerak-gerik tubuhnya, yang membuat Tono merasa dirinya akan menerima penolakan. Lagi, (walau ternyata tidak demikian kejadiannya.) menurut saya juga, sebaiknya dituturkan sedikit mengapa Herman bisa menerima Tono begitu mudahnya. Apa karena dia sendiri adalah seorang homo? Atau karena dia tipe yang mudah bersimpati? Sayangnya karakter Herman kurang tergali, padahal sebagai teman berbicara Tono, menurut saya, Herman sebaiknya diberikan porsi yang cukup penting.
Pesan saya pada penulis, dalam menuliskan sebuah kisah, jangan takut untuk “menyiksa” para karakter, asalkan mereka diberi bekal untuk menanggulangi cobaan itu. Mungkin akan lebih seru dan menggigit kalau Tono mengalami hari yang benar-benar menyebalkan, hingga saat bertemu Herman, dia belum apa-apa sudah emosi? Atau, saat Herman ingin bertanya lebih lanjut pada Tono mengenai homoseksualitas (bukan untuk mencela, hanya sekadar ingin tahu), Tono marah-marah atau langsung berprasangka buruk? Saya yakin, penulis pasti mampu menuliskan adegan yang lebih memesona bagi pembaca, dengan sedikit latihan!
Kegagalannya meraih nilai baik pada semester pendek membuat Tono bosan kuliah. Tidak hanya itu, ternyata kegagalan akademis ini juga membuatnya malas bergaul. Maka, alih-alih menyapa pacar atau teman-teman, alih-alih memberi tanda tangan pada anak-anak baru, begitu jam tangan menunjukan pukul setengah empat, Tono langsung menuju ke ruang kuliah. Padahal perkuliahan sendiri baru dimulai setengah jam lagi.
Tono dikisahkan sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja, malas bergaul, dan sebagainya. Daripada menceritakan apa adanya seperti ini, mungkin akan lebih menarik kalau Tono digambarkan sedang terburu-buru menuju kelas (begitu sampai di sana, baru diceritakan padahal kelasnya masih setengah jam lagi, jadi sebenarnya dia tidak punya alasan kuat untuk tergesa-gesa), dengan sengaja menghindari para mahasiswa baru, melengos saat ada yang berusaha menegurnya. Para pembaca akan dapat menarik kesimpulan, oh, barangkali Tono orangnya penyendiri, agak antisosial.
Tiadanya konflik juga membuat kisah ini terasa flat. Tono mau kuliah, bertemu teman, mengaku dia homo, diterima, kemudian mendapatkan teman baru(?). Sebagai pembaca, saya tidak merasa ada keterlibatan emosi dengan Tono. Tidak ada misteri yang membuat saya bersemangat untuk membaca kisah ini sampai akhir.
Barangkali penulis memaksudkan, asalkan Tono mau membuka diri pada seseorang, dia akan sadar, bahwa sebenarnya tidak semua orang punya prasangka buruk pada homoseksualitas. Ini adalah tema atau pesan moral yang bagus, dan patut dikembangkan.
Barangkali kalau penulis memasukkan sedikit flash back, mengenai trauma Tono dalam menjalin persahabatan, kisah akan menjadi lebih hidup. Mungkin untuk membangun suspense, saat Tono memberitahu Herman bahwa dia homo, ada jeda yang signifikan. Ekspresi tertentu di wajah Herman, gerak-gerik tubuhnya, yang membuat Tono merasa dirinya akan menerima penolakan. Lagi, (walau ternyata tidak demikian kejadiannya.) menurut saya juga, sebaiknya dituturkan sedikit mengapa Herman bisa menerima Tono begitu mudahnya. Apa karena dia sendiri adalah seorang homo? Atau karena dia tipe yang mudah bersimpati? Sayangnya karakter Herman kurang tergali, padahal sebagai teman berbicara Tono, menurut saya, Herman sebaiknya diberikan porsi yang cukup penting.
Pesan saya pada penulis, dalam menuliskan sebuah kisah, jangan takut untuk “menyiksa” para karakter, asalkan mereka diberi bekal untuk menanggulangi cobaan itu. Mungkin akan lebih seru dan menggigit kalau Tono mengalami hari yang benar-benar menyebalkan, hingga saat bertemu Herman, dia belum apa-apa sudah emosi? Atau, saat Herman ingin bertanya lebih lanjut pada Tono mengenai homoseksualitas (bukan untuk mencela, hanya sekadar ingin tahu), Tono marah-marah atau langsung berprasangka buruk? Saya yakin, penulis pasti mampu menuliskan adegan yang lebih memesona bagi pembaca, dengan sedikit latihan!