Resensi Prosa 'Lonte?'
Thursday, January 24, 2008 | Labels: resensi, sesi 5 | |Oleh Amalia Suryani
Lonte? oleh Ananda
Daya tarik LONTE adalah si penulis tidak menjelaskan apa itu “lonte” pada pembaca sampai akhir cerita. Pembaca dipaksa untuk menerjemahkan sendiri (bagi yang belum tahu istilah lonte) dan dibuat penasaran (bagi yang sudah tahu) bagaimana si penulis akan mendefinisikannya.
Cerita ini lucu. Ada fakta-fakta tersembunyi yang sangat menarik. Saya sih tidak tahu fakta itu sengaja dibuat samar atau sebenarnya tidak ada artinya. Yang jelas menurut saya menarik sekali.
Lonte? oleh Ananda
Daya tarik LONTE adalah si penulis tidak menjelaskan apa itu “lonte” pada pembaca sampai akhir cerita. Pembaca dipaksa untuk menerjemahkan sendiri (bagi yang belum tahu istilah lonte) dan dibuat penasaran (bagi yang sudah tahu) bagaimana si penulis akan mendefinisikannya.
Cerita ini lucu. Ada fakta-fakta tersembunyi yang sangat menarik. Saya sih tidak tahu fakta itu sengaja dibuat samar atau sebenarnya tidak ada artinya. Yang jelas menurut saya menarik sekali.
Pertama. Fakta bahwa tokoh Ririn mendapat istilah “lonte” dari ayahnya. Kenapa ayahnya menyebutkan kata “lonte” di depan anaknya? Sengaja atau tidak?
Kedua. Si Ayah mengucapkan “kamu lonte, dasar anak lonte!”. Yang ini juga menarik sebab sepertinya menjelaskan alasan tidak adanya karakter Ibu di cerita ini. Jangan-jangan memang ibu Ririn memang seorang lonte.
Ketiga. Penulis tidak terburu-buru menjelaskan arti “lonte” untuk pembaca. Saat Ririn bertanya pada teman-temannya, penulis tetap bertahan tidak membeberkan definisi “lonte” dengan mudahnya. Bahkan Ibu Guru juga tidak berbaik hati memberitahu Ririn apa itu “lonte”, dan tidak repot-repot melarang Ririn menyebut dirinya “lonte”. Dengan lugunya, Ririn dibiarkan mengartikan sendiri “lonte” menurut pemahamannya sebagai anak umur enam tahun.
Kalau diminta menyebutkan kelemahan cerita ini, saya terpaksa bilang agak kecewa saja dengan ending-nya. Bukan karena masih tidak terpapar apa itu “lonte”, tapi karena kejadian Ririn memanggil seorang perempuan seksi dengan sebutan “lonte”. Padahal sebelumnya Ririn mengartikan “lonte” sebagai senyum manis, sementara Kakak Seksi tidak digambarkan sebagai orang yang manis, melainkan seksi.
Sepertinya cerita ini bakal lebih menarik kalau Ririn menyebut seorang Kakak Manis dengan sebutan “lonte”, hingga si Kakak Manis tersinggung dan terluka hatinya dikatai “lonte” oleh seorang anak kecil.
Kedua. Si Ayah mengucapkan “kamu lonte, dasar anak lonte!”. Yang ini juga menarik sebab sepertinya menjelaskan alasan tidak adanya karakter Ibu di cerita ini. Jangan-jangan memang ibu Ririn memang seorang lonte.
Ketiga. Penulis tidak terburu-buru menjelaskan arti “lonte” untuk pembaca. Saat Ririn bertanya pada teman-temannya, penulis tetap bertahan tidak membeberkan definisi “lonte” dengan mudahnya. Bahkan Ibu Guru juga tidak berbaik hati memberitahu Ririn apa itu “lonte”, dan tidak repot-repot melarang Ririn menyebut dirinya “lonte”. Dengan lugunya, Ririn dibiarkan mengartikan sendiri “lonte” menurut pemahamannya sebagai anak umur enam tahun.
Kalau diminta menyebutkan kelemahan cerita ini, saya terpaksa bilang agak kecewa saja dengan ending-nya. Bukan karena masih tidak terpapar apa itu “lonte”, tapi karena kejadian Ririn memanggil seorang perempuan seksi dengan sebutan “lonte”. Padahal sebelumnya Ririn mengartikan “lonte” sebagai senyum manis, sementara Kakak Seksi tidak digambarkan sebagai orang yang manis, melainkan seksi.
Sepertinya cerita ini bakal lebih menarik kalau Ririn menyebut seorang Kakak Manis dengan sebutan “lonte”, hingga si Kakak Manis tersinggung dan terluka hatinya dikatai “lonte” oleh seorang anak kecil.