Mangga muda problem lama
Monday, January 28, 2008 | Labels: resensi, sesi 5 | |Oleh Mikael Johani
Mangga muda oleh ghe
Sebelum mulai bicara tentang puisi ‘Mangga muda’ (ya, m yang kedua memang kecil, penulisnya Francophile ya?) ini saya ingin ngomong sebentar tentang proses review buat kemudian.com ini. Mungkin semua orang sudah tahu juga, saya diberi pilihan beberapa tulisan untuk direview tanpa pernah tahu nama atau siapa penulisnya. Alasannya jelas tentu—paling tidak ini asumsi saya—untuk mencegah kongkalikong, mencegah reviewer seperti saya menulis review penuh gula-gula untuk penulis yang manis dan kebetulan adik pacar saya. Tapi kemudian saya pikir, ini kan bukan lomba? Lagian, saya justru merasa perlu tahu latar belakang seorang penulis, bukan hanya namanya saja, kalau bisa saya ingin tahu buku apa saja yang dia baca waktu tumbuh dewasa, di kota mana dia dibesarkan, (dalam konteks Indonesia bhinneka tunggal ika ini) suku dia apa. dia suka mendengarkan musik apa, heroes atau csi, etc. etc.
Mangga muda oleh ghe
Sebelum mulai bicara tentang puisi ‘Mangga muda’ (ya, m yang kedua memang kecil, penulisnya Francophile ya?) ini saya ingin ngomong sebentar tentang proses review buat kemudian.com ini. Mungkin semua orang sudah tahu juga, saya diberi pilihan beberapa tulisan untuk direview tanpa pernah tahu nama atau siapa penulisnya. Alasannya jelas tentu—paling tidak ini asumsi saya—untuk mencegah kongkalikong, mencegah reviewer seperti saya menulis review penuh gula-gula untuk penulis yang manis dan kebetulan adik pacar saya. Tapi kemudian saya pikir, ini kan bukan lomba? Lagian, saya justru merasa perlu tahu latar belakang seorang penulis, bukan hanya namanya saja, kalau bisa saya ingin tahu buku apa saja yang dia baca waktu tumbuh dewasa, di kota mana dia dibesarkan, (dalam konteks Indonesia bhinneka tunggal ika ini) suku dia apa. dia suka mendengarkan musik apa, heroes atau csi, etc. etc.
Seperti di review saya yang kemarin tentang tiga cerpen berbahasa Inggris yang ternyata ditulis oleh satu orang itu (saya cuma berani menebak waktu itu dua dari tiga cerita itu ditulis oleh orang yang sama) saya ingin juga tahu apakah dia benar-benar pernah tinggal di London atau dia hanya mengkhayalkannya saja dengan bahan-bahan yang pastinya banyak dia dapatkan waktu dia tinggal di Brisbane. Atau malah sebaliknya? Kelihatannya sih tidak. Atau dia mengkhayal tentang semua tempat itu dan selama ini dia tinggal di Tebet (ala Ratih Kumala dan Tabula Rasa-nya)? Buat saya hal-hal seperti ini bukan hanya menarik tapi juga penting, karena misalnya saja waktu itu saya sempat bertanya kok dia bisa-bisanya bilang London humid di bulan November? Nah, kalau misalnya dia hanya pernah tinggal di Australia dan hanya pernah transit di Heathrow tiga jam sebelum terus ke Stockholm saya jadi bisa tahu pastinya itu dia lakukan karena dia mencampurkan waktu musim panas Australia yang berada di belahan bumi selatan dengan London di bumi utara. Saya jadi tahu dia cuma perlu merevisi pelajaran geografi SMU-nya saja. Tapi kalau misalnya ternyata dia pernah belajar seni patung di St. Martins College setelah capek belajar Masters ekonomi di Brisbane saya jadi bisa bilang mungkin dia lagi mencampuradukkan memori historisnya. Dan kalau dia ternyata masih sekolah di SMU 26, yah, spekulasi sendiri saja kira-kira kesimpulan macam apa yang bisa kita tarik tentang cerita-cerita itu.
Menurut saya ini masalah yang penting, karena di Indonesia kelihatannya kritikus sastra suka malas atau tidak bersedia menyambungkan tulisan dengan dunia penulisnya. Semacam hangover dari New Criticism saya yakin mereka juga tidak pernah benar-benar mengerti juga. Seperti misalnya kata pengantar Nirwan Dewanto di buku ‘Ripin: Cerpen Kompas PIlihan 2005-2006’. Di situ dia sama sekali tidak pernah benar-benar membahas di cerita ‘Ripin’ karya Ugoran Prasad yang ia anggap cerita terbaik di Kompas selama periode 2005-2006 itu siapa itu si Ripin, apa yang terjadi dengannya (bapaknya mati ditembak Petrus—ini twist-nya haha sori ya spoiler haters), kenapa Ugoran memilih masalah Petrus ini untuk cerpennya, apa masih menarik menulis tentang Petrus, etc. etc. Hal-hal yang menurut saya lebih menarik tentang ini daripada misalnya, ‘[dalam Ripin] kita sampai pada paradoks yang menggetarkan: antara kokohnya alur dengan hasrat para tokoh untuk keluar dari tindasan, antara keasyikan sudut pandang dengan kekasaran latar cerita, antara mustahaknya tutup cerita dengan ketidakpastian nasib Ripin si tokoh utama.’ (Nirwan Dewanto dalam ‘Ripin etc.’ hlm. xxvi.) Tindasan macam apa? Dari siapa? Kenapa ada di situ? Kekasaran macam apa? Siapa? Kenapa ada di situ? Apakah penting, menarik, membosankan, biasa-biasa saja semua itu ada di situ? Dan, apa arti mustahak? ;)
Buat saya kritik macam di atas, yang kelihatannya menganggap hanya arsitektur sebuah tulisan saja yang penting (semacam versi Taliban New Criticism), sama saja dengan bilang foie gras itu mak nyusss tapi tak pernah bilang (karena memang tak tahu karena memang tak mau tahu!) makanan itu terbuat dari apa.
Mungkin semua ini kedengaran terlalu panjang tapi pun sudah langsung relevan begitu kita membaca judul sajak kita kali ini ini: ‘Mangga muda.’ Karena saya orang Indonesia atau paling tidak orang Jawa, membaca judul ini langsung terbayang di kepala saya berbagai macam bayangan tentang mangga muda: dicocol campuran garam dan cabe enak, makanan perempuan lagi ngidam, tergantung musim ada atau tidaknya di pasar (paling tidak dulu sebelum globalisasi mangga karbitan melanda Total). Dan begitu membaca baris pertama sajak ini, nah benar kan saya. Sekarang bayangkan misalnya saya seorang wannabe Indonesianis asal Alaska yang belum dapat-dapat juga beasiswa pertukaran pelajar ke UGM tapi saya nekat menulis review tentang sajak ini dan karena saya memang tidak tahu dan malas bertanya pada supervisor saya, saya tidak pernah mempertimbangkan semua imej kultural spesifik tentang mangga muda ini dan hanya sibuk menyatakan betapa pengulangan dua kata mangga muda ini menghipnotis seperti mantra (ini memang benar, tapi), apakah patut kritik saya dibilang kritik yang lengkap? Apakah patut tulisan saya itu disebut kritik karena saya sebenarnya belum memeriksa semua kemungkinan pembacaan sajak ini? Apakah patut saya disebut seorang kritikus?
Sudah jelas kalau tulisan seorang kritikus akan dipengaruhi oleh latar belakangnya, apakah tidak lucu kalau kemudian kritikus itu sok-sok menganggap tulisan yang dikiritiknya tidak ada hubungannya dengan latar belakang penulisnya? Penulis sudah mati? Ya, kau yang membunuhnya Kritikus Sialan!
Kembali ke sajak kita (sebelum saya membunuhnya juga dengan melupakannya sama sekali), sajak ini adalah sajak yang naratif. Banyak sajak tentu yang sebenarnya memang prosa yang ditulis dalam baris-baris sehingga kelihatannya seperti puisi. Baca banyak sajak Billy Collins misalnya, atau Hasan Aspahani. Memang tantangan membuat puisi mungkin itu (paling tidak puisi lirik), bagaimana menggubah lirisisme yang kita rasakan, semacam aku melihat matamu dan di matamu ada aku, dalam kata-kata yang tidak sekedar menceritakan itulah yang terjadi tapi dalam puisi (apa pun itu kek) yang bisa membangkitkan rasa itu lagi untuk pembacanya setiap kali ia membacanya. Jadi misalnya, kalau saya tulis saja, ‘di matamu ada aku’, pembaca akan membacanya, mungkin bisa mengerti apa yang saya maksud, tapi (selain berpikir duh menye-klise banget sih) setelah itu ya sudah, kalimat (tak layak dibilang baris) ini bisa dibuang saja, sudah selesai tugasnya, dia hanya menceritakan apa yang terjadi, suatu saat, mungkin di tepi sebuah danau dengan kabut yang mengambang di atas permukaannya yang (tentu saja) tenang, ‘di matamu ada aku.’
Literature is news that STAYS news (Ezra Pound, ‘ABC of Reading’, hlm. 29). Saya suka nggak yakin juga macam apa news yang akan STAY news itu. Tapi biasanya sih kita tahu begitu kita melihatnya. Misalnya saja (ini saya pilih random dari rak buku saya), 'both of us hapless outcasts at the farther end of the sky; meeting like this, why must we be old friends to understand one another?' (Po Chü-i, ‘Song of the Lute’ dalam Burton Watson (penerjemah), ‘The Columbia Book of Chinese Poetry’, hlm. 252.) Bisa saja hal itu benar-benar terjadi, two hapless outcasts meeting at the farther end of the sky and feeling like they’re best friends already, tapi satu hal saja, setelah membaca ini anda ingin membacanya lagi bukan, dan lagi, dan lagi. Tanpa harus menganalisa bagaimana Po Chü-i melakukannya, dua baris itu tidak seperti kalimat gubahan saya di atas atau sekolom berita di Kompas, kita tidak akan merasa cukup hanya mengingat apa yang diberitakan oleh baris-baris itu, kita akan ingin membacanya dan lagi dan lagi, seakan-akan kata-katanya jadi lebih penting daripada apa yang diberitakannya. Ya, seakan-akan dua baris itu adalah news that STAYS news.
Nah, sajak ‘Mangga muda’ ini di banyak tempat terasa seperti cerita yang bisa merasakan ada puisi di balik ceritanya dan ingin melompat ke situ dan hup! bah! ternyata perhitungannya kurang tepat, lompatannya kurang jauh dan terjerembablah dia kembali ke narasi cerpen korannya. Tapi di beberapa tempat, sajak ini juga terasa seperti puisi yang tertatih-tatih memaksa untuk bercerita!
Sajak ini banyak menggunakan jurus pengulangan, seperti ‘kuketuk pintunya / kuketuk pintunya’ atau ‘kuketuk pintunya / kuketuk pintunya / kuketuk pintunya’ dan ini kadang-kadang terasa seperti usaha penulis untuk memuisikan cerita ‘Mangga muda’-nya tapi kadang-kadang juga terasa sepertinya mungkin justru ini yang lebih ingin dilakukan si penulis, mengulang-ulang kata-katanya begitu saja, terus saja, seperti mantra. Dan di sinilah, misalnya, pentingnya latar belakang penulis tadi. Mungkin, karena penulis ini (kelihatannya) memang orang Indonesia, salah satu bentuk puisi yang paling familiar buatnya, terdengar paling alami di telinganya, mungkin tanpa dia sadari, adalah mantra. Atau, dan ini ada juga hubungannya dengan si penulis adalah orang Indonesia, mungkin dia banyak baca balada-balada Rendra.
Cerita sajak ini adalah seorang suami yang dengan kelihatannya agak berat hati dan karena itu malas-malasan mencarikan mangga muda untuk istrinya (mungkin karena dia baru ngidam ini jam ‘setengah dua belas malam’). Tapi rasanya si suami berangkat bukan untuk istrinya karena ‘Menatapnya aku berpikir / ‘ah … itu yang meminta anakku sendiri’’. Seperti Hercules dengan satu tugas saja dia mengalami berbagai rintangan dan dia bukan Hercules jadi semua rintangan itu tidak bisa dia lalui juga sampai akhirnya dia sampai di ‘… pasar kampung kami / jam dua belas malam …’ tapi dasar bukan Hercules dia takut masuk pasar yang dia dengar penuh preman dan langsung balik kanan tapi baru ‘… berjalan dua langkah …’ dia sudah dihadang oleh ‘… tiga orang pemuda …’ dan ‘… lelaki / baju hitam-hitam dan wajah tanpa ekspresi’ ‘di belakang mereka …’
Si suami ditikam mati oleh ketiga preman dan satu laki-laki misterius ini. Tapi dari tadinya cerita yang gampang sekali diikuti, tiba-tiba di sini sajak ini menjadi agak misterius, atau mungkin, paling tidak jadi lebih susah diikuti, saya tidak tahu. Lebih baik saya kutip hampir semua bagian akhir ini:
‘aku jatuh rebah kulihat banyak sekali darah
tiga preman itu kabur membawa dompetku yang isinya tak seberapa
tapi lelaki itu tinggal
dia jalan mendekatiku dengan wajah tanpa ekspresi diulurkannya tangannya
pusarku berkedut menuntut tanganku menyambut tangannya
rasanya seperti berkenalan dan kutahu dia bukan Tuhan
dia bukan Tuhan
tapi tangannya sejuk dan aku seperti melayang’
Apakah tiga preman ini = the three wise men, tiga magi dalam cerita Injil Matius tapi kali ini yang benar-benar telah diperalat Herod = si lelaki baju hitam-hitam bukan Tuhan itu untuk menemukan dan membinasakan Kristus = si suami? Apa penulis sajak ini seorang pastur? Atau murid seminari Gonzaga? Untuk sementara ini, karena saya memang tidak tahu siapa penulis ini dan dunianya seperti apa, saya tidak tahu. Tapi bagian terakhir ini menurut saya, dengan nada setengah bercanda ringannya, adalah sebuah meditasi, sebuah puisi, tentang Tuhan dan kematian yang cukup indah.
Kalau lelaki yang tinggal itu bukan Tuhan terus siapa? The Grim Reaper karena bajunya hitam-hitam? Tapi dia mengajak salaman (jadi tangannya tidak sibuk memegang sabit raksasa) dan ‘… menyambut tangannya / rasanya seperti berkenalan … tangannya sejuk …’ Malaikat kematian biasanya tidak seramah ini.
Atau sebenarnya dia memang Tuhan, yang membiarkankan si suami ‘melayang’, bebas dari beban mencarikan mangga muda buat istrinya, hanya si suami terlalu merasa bersalah dengan ketidakbertanggungjawabannya ini (‘… tangannya sejuk dan aku seperti melayang’ tidak kedengaran seperti dia terlalu keberatan mati ditusuk preman-preman pasar itu) sehingga tidak mau mengakui bahwa sekalipun mungkin si lelaki baju hitam-hitam tanpa ekspresi ini adalah Setan dia adalah Tuhan penyelamat baginya?
Menurut saya ini masalah yang penting, karena di Indonesia kelihatannya kritikus sastra suka malas atau tidak bersedia menyambungkan tulisan dengan dunia penulisnya. Semacam hangover dari New Criticism saya yakin mereka juga tidak pernah benar-benar mengerti juga. Seperti misalnya kata pengantar Nirwan Dewanto di buku ‘Ripin: Cerpen Kompas PIlihan 2005-2006’. Di situ dia sama sekali tidak pernah benar-benar membahas di cerita ‘Ripin’ karya Ugoran Prasad yang ia anggap cerita terbaik di Kompas selama periode 2005-2006 itu siapa itu si Ripin, apa yang terjadi dengannya (bapaknya mati ditembak Petrus—ini twist-nya haha sori ya spoiler haters), kenapa Ugoran memilih masalah Petrus ini untuk cerpennya, apa masih menarik menulis tentang Petrus, etc. etc. Hal-hal yang menurut saya lebih menarik tentang ini daripada misalnya, ‘[dalam Ripin] kita sampai pada paradoks yang menggetarkan: antara kokohnya alur dengan hasrat para tokoh untuk keluar dari tindasan, antara keasyikan sudut pandang dengan kekasaran latar cerita, antara mustahaknya tutup cerita dengan ketidakpastian nasib Ripin si tokoh utama.’ (Nirwan Dewanto dalam ‘Ripin etc.’ hlm. xxvi.) Tindasan macam apa? Dari siapa? Kenapa ada di situ? Kekasaran macam apa? Siapa? Kenapa ada di situ? Apakah penting, menarik, membosankan, biasa-biasa saja semua itu ada di situ? Dan, apa arti mustahak? ;)
Buat saya kritik macam di atas, yang kelihatannya menganggap hanya arsitektur sebuah tulisan saja yang penting (semacam versi Taliban New Criticism), sama saja dengan bilang foie gras itu mak nyusss tapi tak pernah bilang (karena memang tak tahu karena memang tak mau tahu!) makanan itu terbuat dari apa.
Mungkin semua ini kedengaran terlalu panjang tapi pun sudah langsung relevan begitu kita membaca judul sajak kita kali ini ini: ‘Mangga muda.’ Karena saya orang Indonesia atau paling tidak orang Jawa, membaca judul ini langsung terbayang di kepala saya berbagai macam bayangan tentang mangga muda: dicocol campuran garam dan cabe enak, makanan perempuan lagi ngidam, tergantung musim ada atau tidaknya di pasar (paling tidak dulu sebelum globalisasi mangga karbitan melanda Total). Dan begitu membaca baris pertama sajak ini, nah benar kan saya. Sekarang bayangkan misalnya saya seorang wannabe Indonesianis asal Alaska yang belum dapat-dapat juga beasiswa pertukaran pelajar ke UGM tapi saya nekat menulis review tentang sajak ini dan karena saya memang tidak tahu dan malas bertanya pada supervisor saya, saya tidak pernah mempertimbangkan semua imej kultural spesifik tentang mangga muda ini dan hanya sibuk menyatakan betapa pengulangan dua kata mangga muda ini menghipnotis seperti mantra (ini memang benar, tapi), apakah patut kritik saya dibilang kritik yang lengkap? Apakah patut tulisan saya itu disebut kritik karena saya sebenarnya belum memeriksa semua kemungkinan pembacaan sajak ini? Apakah patut saya disebut seorang kritikus?
Sudah jelas kalau tulisan seorang kritikus akan dipengaruhi oleh latar belakangnya, apakah tidak lucu kalau kemudian kritikus itu sok-sok menganggap tulisan yang dikiritiknya tidak ada hubungannya dengan latar belakang penulisnya? Penulis sudah mati? Ya, kau yang membunuhnya Kritikus Sialan!
Kembali ke sajak kita (sebelum saya membunuhnya juga dengan melupakannya sama sekali), sajak ini adalah sajak yang naratif. Banyak sajak tentu yang sebenarnya memang prosa yang ditulis dalam baris-baris sehingga kelihatannya seperti puisi. Baca banyak sajak Billy Collins misalnya, atau Hasan Aspahani. Memang tantangan membuat puisi mungkin itu (paling tidak puisi lirik), bagaimana menggubah lirisisme yang kita rasakan, semacam aku melihat matamu dan di matamu ada aku, dalam kata-kata yang tidak sekedar menceritakan itulah yang terjadi tapi dalam puisi (apa pun itu kek) yang bisa membangkitkan rasa itu lagi untuk pembacanya setiap kali ia membacanya. Jadi misalnya, kalau saya tulis saja, ‘di matamu ada aku’, pembaca akan membacanya, mungkin bisa mengerti apa yang saya maksud, tapi (selain berpikir duh menye-klise banget sih) setelah itu ya sudah, kalimat (tak layak dibilang baris) ini bisa dibuang saja, sudah selesai tugasnya, dia hanya menceritakan apa yang terjadi, suatu saat, mungkin di tepi sebuah danau dengan kabut yang mengambang di atas permukaannya yang (tentu saja) tenang, ‘di matamu ada aku.’
Literature is news that STAYS news (Ezra Pound, ‘ABC of Reading’, hlm. 29). Saya suka nggak yakin juga macam apa news yang akan STAY news itu. Tapi biasanya sih kita tahu begitu kita melihatnya. Misalnya saja (ini saya pilih random dari rak buku saya), 'both of us hapless outcasts at the farther end of the sky; meeting like this, why must we be old friends to understand one another?' (Po Chü-i, ‘Song of the Lute’ dalam Burton Watson (penerjemah), ‘The Columbia Book of Chinese Poetry’, hlm. 252.) Bisa saja hal itu benar-benar terjadi, two hapless outcasts meeting at the farther end of the sky and feeling like they’re best friends already, tapi satu hal saja, setelah membaca ini anda ingin membacanya lagi bukan, dan lagi, dan lagi. Tanpa harus menganalisa bagaimana Po Chü-i melakukannya, dua baris itu tidak seperti kalimat gubahan saya di atas atau sekolom berita di Kompas, kita tidak akan merasa cukup hanya mengingat apa yang diberitakan oleh baris-baris itu, kita akan ingin membacanya dan lagi dan lagi, seakan-akan kata-katanya jadi lebih penting daripada apa yang diberitakannya. Ya, seakan-akan dua baris itu adalah news that STAYS news.
Nah, sajak ‘Mangga muda’ ini di banyak tempat terasa seperti cerita yang bisa merasakan ada puisi di balik ceritanya dan ingin melompat ke situ dan hup! bah! ternyata perhitungannya kurang tepat, lompatannya kurang jauh dan terjerembablah dia kembali ke narasi cerpen korannya. Tapi di beberapa tempat, sajak ini juga terasa seperti puisi yang tertatih-tatih memaksa untuk bercerita!
Sajak ini banyak menggunakan jurus pengulangan, seperti ‘kuketuk pintunya / kuketuk pintunya’ atau ‘kuketuk pintunya / kuketuk pintunya / kuketuk pintunya’ dan ini kadang-kadang terasa seperti usaha penulis untuk memuisikan cerita ‘Mangga muda’-nya tapi kadang-kadang juga terasa sepertinya mungkin justru ini yang lebih ingin dilakukan si penulis, mengulang-ulang kata-katanya begitu saja, terus saja, seperti mantra. Dan di sinilah, misalnya, pentingnya latar belakang penulis tadi. Mungkin, karena penulis ini (kelihatannya) memang orang Indonesia, salah satu bentuk puisi yang paling familiar buatnya, terdengar paling alami di telinganya, mungkin tanpa dia sadari, adalah mantra. Atau, dan ini ada juga hubungannya dengan si penulis adalah orang Indonesia, mungkin dia banyak baca balada-balada Rendra.
Cerita sajak ini adalah seorang suami yang dengan kelihatannya agak berat hati dan karena itu malas-malasan mencarikan mangga muda untuk istrinya (mungkin karena dia baru ngidam ini jam ‘setengah dua belas malam’). Tapi rasanya si suami berangkat bukan untuk istrinya karena ‘Menatapnya aku berpikir / ‘ah … itu yang meminta anakku sendiri’’. Seperti Hercules dengan satu tugas saja dia mengalami berbagai rintangan dan dia bukan Hercules jadi semua rintangan itu tidak bisa dia lalui juga sampai akhirnya dia sampai di ‘… pasar kampung kami / jam dua belas malam …’ tapi dasar bukan Hercules dia takut masuk pasar yang dia dengar penuh preman dan langsung balik kanan tapi baru ‘… berjalan dua langkah …’ dia sudah dihadang oleh ‘… tiga orang pemuda …’ dan ‘… lelaki / baju hitam-hitam dan wajah tanpa ekspresi’ ‘di belakang mereka …’
Si suami ditikam mati oleh ketiga preman dan satu laki-laki misterius ini. Tapi dari tadinya cerita yang gampang sekali diikuti, tiba-tiba di sini sajak ini menjadi agak misterius, atau mungkin, paling tidak jadi lebih susah diikuti, saya tidak tahu. Lebih baik saya kutip hampir semua bagian akhir ini:
‘aku jatuh rebah kulihat banyak sekali darah
tiga preman itu kabur membawa dompetku yang isinya tak seberapa
tapi lelaki itu tinggal
dia jalan mendekatiku dengan wajah tanpa ekspresi diulurkannya tangannya
pusarku berkedut menuntut tanganku menyambut tangannya
rasanya seperti berkenalan dan kutahu dia bukan Tuhan
dia bukan Tuhan
tapi tangannya sejuk dan aku seperti melayang’
Apakah tiga preman ini = the three wise men, tiga magi dalam cerita Injil Matius tapi kali ini yang benar-benar telah diperalat Herod = si lelaki baju hitam-hitam bukan Tuhan itu untuk menemukan dan membinasakan Kristus = si suami? Apa penulis sajak ini seorang pastur? Atau murid seminari Gonzaga? Untuk sementara ini, karena saya memang tidak tahu siapa penulis ini dan dunianya seperti apa, saya tidak tahu. Tapi bagian terakhir ini menurut saya, dengan nada setengah bercanda ringannya, adalah sebuah meditasi, sebuah puisi, tentang Tuhan dan kematian yang cukup indah.
Kalau lelaki yang tinggal itu bukan Tuhan terus siapa? The Grim Reaper karena bajunya hitam-hitam? Tapi dia mengajak salaman (jadi tangannya tidak sibuk memegang sabit raksasa) dan ‘… menyambut tangannya / rasanya seperti berkenalan … tangannya sejuk …’ Malaikat kematian biasanya tidak seramah ini.
Atau sebenarnya dia memang Tuhan, yang membiarkankan si suami ‘melayang’, bebas dari beban mencarikan mangga muda buat istrinya, hanya si suami terlalu merasa bersalah dengan ketidakbertanggungjawabannya ini (‘… tangannya sejuk dan aku seperti melayang’ tidak kedengaran seperti dia terlalu keberatan mati ditusuk preman-preman pasar itu) sehingga tidak mau mengakui bahwa sekalipun mungkin si lelaki baju hitam-hitam tanpa ekspresi ini adalah Setan dia adalah Tuhan penyelamat baginya?