Dunia Anak Ya Harus Anak-anak
Tuesday, November 20, 2007 | Labels: resensi, sesi 1 | |Oleh Wawan Eko Yulianto
Anak Kampung oleh wehahaha
Ini dia tulisan yang mengasyikkan. Secara isi, menurut saya cerita ini cukup menyayat. Apa sih yang kurang menyayat dari kisah anak kecil terkucilkan yang diceritakan oleh "korban". :D Betul, temanya cukup "layak" untuk dicerpenkan. Bisa dibilang, tema-tema serupa ini pernah dipakai Seno Gumira Ajidarma dalam Pelajaran Mengarang (tapi SGA menggunakan perbandingan anak dari keluarga baik-baik vs anak pelacur). Mungkin beberapa orang akan bilang bahwa tema seperti ini terbilang klise, terlalu sering muncul. Bahkan di sinetron pun sering muncul. Tapi lagi, sedikit pun tidak ada salahnya menggarap tema lama, asalkan dengan cara pandang baru, sudut pandang baru. Lagian, apa sih yang originally baru dalam hidup ini?
Nah, yang menurut saya kurang gimanaaaa gitu adalah cara penyampaiannya. Ada beberapa hal sih yang menurut saya bisa lebih digarap lagi (ciyyeeee.... :D, bijak nih).
Anak Kampung oleh wehahaha
Ini dia tulisan yang mengasyikkan. Secara isi, menurut saya cerita ini cukup menyayat. Apa sih yang kurang menyayat dari kisah anak kecil terkucilkan yang diceritakan oleh "korban". :D Betul, temanya cukup "layak" untuk dicerpenkan. Bisa dibilang, tema-tema serupa ini pernah dipakai Seno Gumira Ajidarma dalam Pelajaran Mengarang (tapi SGA menggunakan perbandingan anak dari keluarga baik-baik vs anak pelacur). Mungkin beberapa orang akan bilang bahwa tema seperti ini terbilang klise, terlalu sering muncul. Bahkan di sinetron pun sering muncul. Tapi lagi, sedikit pun tidak ada salahnya menggarap tema lama, asalkan dengan cara pandang baru, sudut pandang baru. Lagian, apa sih yang originally baru dalam hidup ini?
Nah, yang menurut saya kurang gimanaaaa gitu adalah cara penyampaiannya. Ada beberapa hal sih yang menurut saya bisa lebih digarap lagi (ciyyeeee.... :D, bijak nih).
Pertama, menentukan cara "bersuara" yang pas dengan sudut pandang. Di sini, sudut pandang adalah orang pertama dan naratornya adalah seorang anak kecil berlatar belakang kampung dan tidak mampu. Kalau sudut pandang orang pertama yang dipakai, akan asyik lagi kalau bahasa dan apa-apa yang diucapkan yang dipakai "NYAMBUNG" dengan latar belakang si orang. Sebagai misal, kalau dia anak kecil, ya cakupan kosakatanya, ya, yang nggak jauh-jauh dari kosakata yang dikuasai si anak. Contoh, dalam cerpen The Sisters-nya James Joyce ada tokoh anak kecil yang cakupan kosakatanya nggak banyak dan di situ seorang tokoh tua mengatakan sesuatu yang tidak dia ketahui, akhirnya kata itu pun tidak tersampaikan kepada pembaca (lha wong si tokoh sendiri tidak tahu...:D, ingat kan penggalan 'tidak pernah mendengarkan lagu-lagu bahasa Inggris' ini?). Nah, di 'Anak Kampung (1)' ini, cerpen diawali dengan cuplikan lagu berbahasa Inggris yang dinyanyikan bukan oleh tokoh utama. Kalau si narator ini (1) anak kampung yang (2) asing dengan lagu-lagu berbahasa Inggris, mestinya kan dia tidak bisa mencuplik dengan persis, bahkan tanpa ada kesalahan grammar sekecil apapun, kurang 's'-lah atau kurang 'to be'-lah seperti banyak tulisan dan cerpen Indonesia umumnya :D.
Terus lagi, di situ disebutkan kata 'buffet' oleh si anak kampung. Mestinya kan si anak kampung ini terkaget-kaget (entah bagaimana bentuknya, entah bilang '... di restoran buffet, tapi bukan bufet tempat memajang vas dan buku-buku itu lho...' atau mungkin bahkan bilang '... di restoran apa gitu, saya lupa namanya...').
Kedua, menggarap adegan-adegan yang semestinya bisa diperapik dan diperrapi. 'Anak Kampung' punya adegan-adegan yang menurut saya berpotensi untuk dijadikan menonjol dan digarap lebih rapi agar lebih awet di dalam benak pembaca (wow...!!!). Kalau saya baca ulang, ada bagian-bagian cerita macam gini yang ingin disampaikan mbak/mas penulisnya: (1) adegan menyanyi angin mamiri dan diejek teman-teman, (2) adegan melihat teman tidak mencintai negeri, (3) adegan ibu kaget anaknya tahu kata 'brengsek', (4) adegan ulang tahun dan si tokoh disisihkan, (5) adegan peminta sumbangan yang tidak dikasih anak kaya tapi malah dikasih si anak kampung, (6) adegan pengembalian hadiah dari si anak kampung, (7) adegan penutup yang isinya perenungan dan nulis puisi. Tapi, maaf, saya merasa ketujuh adegan itu digarap dengan sambil lalu. Sayang betul, padahal si penulis sudah sangat hebat telah menemukan ketujuh adegan itu.
Kalau dirasa-rasa (kali ini ukurannya perasaan :D), tujuh adegan dalam satu cerpen sepanjang 4-5 halaman itu sangat banyak. Ingat kan, cerpen Pelajaran Mengarang SGA yang panjangnya sekira 7-8 halaman itu saja isinya cuman adegan (1) mengarang di kelas, (2) ingatan tentang rumah berantakan dan ibu pacaran, (3) rumah pelacuran, (4) mama mau keluar karena ada panggilan, (5) bu guru Tati menilai tugas murid-murid di rumahnya. MEMANG TIDAK ADA UNDANG-UNDANG JUMLAH ADEGAN DALAM SATU CERPEN, :D, tapi jika sedikit saja adegan yang benar-benar berpotensi besar dan kuat saja yang ditampilkan dan digarap dengan asyik, pasti hasilnya lebih bagus ketimbang banyak tapi kurang diramut. Ya, kayak punya bunga, tiga saja tapi dirawat pasti lebih bagus ketimbang tujuh tapi dibiarkan tumbuh sesukanya dan kurang disiram.
Ketiga, menyisihkan adegan-adegan yang kurang besar kontribusinya terhadap keutuhan cerita. Semua orang sepakat (terutama yang pernah saya baca sendiri pernyataannya, Stephen King dan Natalie Goldberg) bahwa kita harus merelakan bagian-bagian yang kurang signifikan dalam keutuhan cerita, secinta apapun kata mereka. Stephen King mengucapkan kalimat semacam itu. Dalam bahasa Natalie Goldberg, saya kita menjadi editor (yaitu saat memeriksa cerpen yang sudah kita bikin), kita harus setega(s) samurai yang berani menyabetkan pedangnya untuk menebas bagian-bagian yang kurang penthing. Btw, bagian kurang penthing bukan berarti jelek lho ya; kadang-kadang bagian itu malah bagus dan kita supercinta kepadanya. Kalau di cerpen ini, menurut saya (lagi-lagi cuman menurut saya, :D) adegan (2), (3), dan (5) mestinya bisa tidak dipakai di sini. Ya, kalau masih sangat cinta dan tidak rela menghapusnya, bisa lah bagian-bagian itu dikopi ke file lain untuk digarap dengan tema lain yang mungkin lebih cocok :p.
Kayaknya sementara tiga saja. Maaaaaaf sejuta maaf kalau saya banyak omong. Lha dasarnya memang suka ngobrol.
Oh ya, ada satu hal yang tak bisa dipungkiri dari cerpen ini: kepedulian si penulis untuk menggarap tema-tema berbau sosial dan berpotensi mengingatkan, menyadarkan, mencerahkan orang. Dengan kepedulian seperti ini, dan wawasan yang luas, saya yakin mbak/mas penulisnya bisa meninggalkan kesan di hati orang. Well, masalah sosial, terutama yang miris-miris seperti ini lebih berpotensi untuk menyentuh hati orang ketimbang cerita-cerita yang isinya kehidupan mewah atau bahkan absurd (:D).
Akhirul kalam, semoga sukses tak terbendung buat sang penulis dan mari bareng-bareng membaca dan menulis. Salam.
Terus lagi, di situ disebutkan kata 'buffet' oleh si anak kampung. Mestinya kan si anak kampung ini terkaget-kaget (entah bagaimana bentuknya, entah bilang '... di restoran buffet, tapi bukan bufet tempat memajang vas dan buku-buku itu lho...' atau mungkin bahkan bilang '... di restoran apa gitu, saya lupa namanya...').
Kedua, menggarap adegan-adegan yang semestinya bisa diperapik dan diperrapi. 'Anak Kampung' punya adegan-adegan yang menurut saya berpotensi untuk dijadikan menonjol dan digarap lebih rapi agar lebih awet di dalam benak pembaca (wow...!!!). Kalau saya baca ulang, ada bagian-bagian cerita macam gini yang ingin disampaikan mbak/mas penulisnya: (1) adegan menyanyi angin mamiri dan diejek teman-teman, (2) adegan melihat teman tidak mencintai negeri, (3) adegan ibu kaget anaknya tahu kata 'brengsek', (4) adegan ulang tahun dan si tokoh disisihkan, (5) adegan peminta sumbangan yang tidak dikasih anak kaya tapi malah dikasih si anak kampung, (6) adegan pengembalian hadiah dari si anak kampung, (7) adegan penutup yang isinya perenungan dan nulis puisi. Tapi, maaf, saya merasa ketujuh adegan itu digarap dengan sambil lalu. Sayang betul, padahal si penulis sudah sangat hebat telah menemukan ketujuh adegan itu.
Kalau dirasa-rasa (kali ini ukurannya perasaan :D), tujuh adegan dalam satu cerpen sepanjang 4-5 halaman itu sangat banyak. Ingat kan, cerpen Pelajaran Mengarang SGA yang panjangnya sekira 7-8 halaman itu saja isinya cuman adegan (1) mengarang di kelas, (2) ingatan tentang rumah berantakan dan ibu pacaran, (3) rumah pelacuran, (4) mama mau keluar karena ada panggilan, (5) bu guru Tati menilai tugas murid-murid di rumahnya. MEMANG TIDAK ADA UNDANG-UNDANG JUMLAH ADEGAN DALAM SATU CERPEN, :D, tapi jika sedikit saja adegan yang benar-benar berpotensi besar dan kuat saja yang ditampilkan dan digarap dengan asyik, pasti hasilnya lebih bagus ketimbang banyak tapi kurang diramut. Ya, kayak punya bunga, tiga saja tapi dirawat pasti lebih bagus ketimbang tujuh tapi dibiarkan tumbuh sesukanya dan kurang disiram.
Ketiga, menyisihkan adegan-adegan yang kurang besar kontribusinya terhadap keutuhan cerita. Semua orang sepakat (terutama yang pernah saya baca sendiri pernyataannya, Stephen King dan Natalie Goldberg) bahwa kita harus merelakan bagian-bagian yang kurang signifikan dalam keutuhan cerita, secinta apapun kata mereka. Stephen King mengucapkan kalimat semacam itu. Dalam bahasa Natalie Goldberg, saya kita menjadi editor (yaitu saat memeriksa cerpen yang sudah kita bikin), kita harus setega(s) samurai yang berani menyabetkan pedangnya untuk menebas bagian-bagian yang kurang penthing. Btw, bagian kurang penthing bukan berarti jelek lho ya; kadang-kadang bagian itu malah bagus dan kita supercinta kepadanya. Kalau di cerpen ini, menurut saya (lagi-lagi cuman menurut saya, :D) adegan (2), (3), dan (5) mestinya bisa tidak dipakai di sini. Ya, kalau masih sangat cinta dan tidak rela menghapusnya, bisa lah bagian-bagian itu dikopi ke file lain untuk digarap dengan tema lain yang mungkin lebih cocok :p.
Kayaknya sementara tiga saja. Maaaaaaf sejuta maaf kalau saya banyak omong. Lha dasarnya memang suka ngobrol.
Oh ya, ada satu hal yang tak bisa dipungkiri dari cerpen ini: kepedulian si penulis untuk menggarap tema-tema berbau sosial dan berpotensi mengingatkan, menyadarkan, mencerahkan orang. Dengan kepedulian seperti ini, dan wawasan yang luas, saya yakin mbak/mas penulisnya bisa meninggalkan kesan di hati orang. Well, masalah sosial, terutama yang miris-miris seperti ini lebih berpotensi untuk menyentuh hati orang ketimbang cerita-cerita yang isinya kehidupan mewah atau bahkan absurd (:D).
Akhirul kalam, semoga sukses tak terbendung buat sang penulis dan mari bareng-bareng membaca dan menulis. Salam.
Makasih, guru. ^^