Ngobrol tentang Monet
Tuesday, November 20, 2007 | Labels: resensi, sesi 1 | |Oleh Isman H. Suryaman
Monet oleh miss worm
Karya ini ditulis dengan baik. Penulis tampak sudah sangat berpengalaman dalam menulis cerita. Penggambaran latar dan karakter menggunakan cara menunjukkan, alih-alih memberitahukan (show, not tell). Semua elemen yang menjual terangkai dengan manis: ambisi, cinta, keputusasaan, hingga kebas. Dan ini sebenarnya sudah cukup untuk menjual karya ini.
Sebelum beralih ke masukan, pertama-tama perlu saya ungkapkan bahwa saya bukan penggemar rangkaian cerita yang manis. Sebuah karya perlu menjual tingkat kepercayaan (believability) yang tinggi agar saya mau menerima rangkaian cerita yang manis. Agar saya percaya bahwa cerita ini benar-benar terjadi di dunia nyata. Bukan dalam khayalan penulis semata. Bahwa tokoh-tokohnya menjejak tanah dan tidak melayang. Bahwa mereka minum, makan, dan buang air. Tidak kenyang dengan menghirup udara dan wangi tubuh masing-masing.
Sebelum beralih ke masukan, pertama-tama perlu saya ungkapkan bahwa saya bukan penggemar rangkaian cerita yang manis. Sebuah karya perlu menjual tingkat kepercayaan (believability) yang tinggi agar saya mau menerima rangkaian cerita yang manis. Agar saya percaya bahwa cerita ini benar-benar terjadi di dunia nyata. Bukan dalam khayalan penulis semata. Bahwa tokoh-tokohnya menjejak tanah dan tidak melayang. Bahwa mereka minum, makan, dan buang air. Tidak kenyang dengan menghirup udara dan wangi tubuh masing-masing.
Latar, sebagai contoh. Alih-alih menampilkan lokasi yang sempurna untuk pembicaraan dan romantisasi, mengapa tidak menggambarkan lokasi yang tidak sempurna? Langit London yang biru cerah, misalnya. Ini terlalu sempurna bagi kota yang dikenal dengan langit berawannya. Seperti yang ditulis Jamie Cullum dalam lagu London Skies;
“Will you let me romanticize,
The beauty in our London Skies,
You know the sunlight always shines,
Behind the clouds of London Skies.”
Mengapa tidak membuat para pengunjung Tate sedikit saja mengganggu pembicaraan kedua tokoh? Minimal membuat tokoh “aku” jengah sedikit. Atau mempertimbangkan ulang kesempatan untuk berbicara. Nuansa sederhana ini akan menghilangkan kesan panggung kosong yang terlalu sempurna untuk dialog.
Atau mungkin menulis ulang sebagian dialog agar tidak terlalu terkesan terjemahan dari bahasa Inggris? “This building won a Pritzker, you know?” “Really? How do you know?”
Hal-hal ini mungkin tampak kecil. Tapi justru hal kecillah yang membangun kepercayaan. Kredibilitas sebuah cerita. Jalinan emosi dengan tokoh. Dan itu juga yang akan membuat saya percaya pada akhir yang begitu “manis”. Seniman yang bunuh diri, lantas karyanya dihargai dalam tujuh tahun sebagai “revolusi dalam seni modern”. Ini memang akhir yang sangat bagus. Dan manis.
Saya akan lebih memercayainya, seandainya akhir ini diantar oleh rangkaian yang tidak begitu manis. Seperti masakan, sering kali seorang koki mencampur garam dalam masakan manis. Agar tidak enek. Karena toh kita melahap keseluruhan sebuah cerita--apa pun cara kita menyantapnya: baik mencoelkan cerita ke sambal sebelum menyuapkannya ke mulut maupun memakannya sepotong demi sepotong dengan pisau dan garpu. Bukan sekadar mencicipinya.
Selamat atas karyanya yang menarik! Terus menulis!
>--isman
“Will you let me romanticize,
The beauty in our London Skies,
You know the sunlight always shines,
Behind the clouds of London Skies.”
Mengapa tidak membuat para pengunjung Tate sedikit saja mengganggu pembicaraan kedua tokoh? Minimal membuat tokoh “aku” jengah sedikit. Atau mempertimbangkan ulang kesempatan untuk berbicara. Nuansa sederhana ini akan menghilangkan kesan panggung kosong yang terlalu sempurna untuk dialog.
Atau mungkin menulis ulang sebagian dialog agar tidak terlalu terkesan terjemahan dari bahasa Inggris? “This building won a Pritzker, you know?” “Really? How do you know?”
Hal-hal ini mungkin tampak kecil. Tapi justru hal kecillah yang membangun kepercayaan. Kredibilitas sebuah cerita. Jalinan emosi dengan tokoh. Dan itu juga yang akan membuat saya percaya pada akhir yang begitu “manis”. Seniman yang bunuh diri, lantas karyanya dihargai dalam tujuh tahun sebagai “revolusi dalam seni modern”. Ini memang akhir yang sangat bagus. Dan manis.
Saya akan lebih memercayainya, seandainya akhir ini diantar oleh rangkaian yang tidak begitu manis. Seperti masakan, sering kali seorang koki mencampur garam dalam masakan manis. Agar tidak enek. Karena toh kita melahap keseluruhan sebuah cerita--apa pun cara kita menyantapnya: baik mencoelkan cerita ke sambal sebelum menyuapkannya ke mulut maupun memakannya sepotong demi sepotong dengan pisau dan garpu. Bukan sekadar mencicipinya.
Selamat atas karyanya yang menarik! Terus menulis!
>--isman
nyaaa ... terima kasih sangat masukannya, mas Isman ^^