Kematian Bisa Saja Indah
Tuesday, November 20, 2007 | Labels: resensi, sesi 1 | |Oleh Zabidi Ibnoe Say
Hari Ini Kita Berpisah, Rani oleh miss worm
Dalam persepsi umum kematian sering digambarkan berwajah kelam. Misalnya saja cerita-cerita dalam sinetron kita, yang amat menjemukan itu. Jerit tangis, histeria dan simbol-simbol melankoli lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kematian bagi kebanyakan orang adalah hal yang menakutkan sekaligus mencekam. Karena maut dipahami sebatas akhir dari setiap bentuk kehidupan. Karena kematian bagi seseorang berarti terputus segala ikatan keduniaan, hilangnya ikatan-ikatan emosi, seperti cinta, persahabatan, harapan, keinginan juga bentuk-bentuk materi lainnya. Mungkin hanya di kalangan kaum sufi kematian dihadapi dengan berani sebagai sebuah prosesi menuju keabadian.
Hari Ini Kita Berpisah, Rani oleh miss worm
Dalam persepsi umum kematian sering digambarkan berwajah kelam. Misalnya saja cerita-cerita dalam sinetron kita, yang amat menjemukan itu. Jerit tangis, histeria dan simbol-simbol melankoli lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kematian bagi kebanyakan orang adalah hal yang menakutkan sekaligus mencekam. Karena maut dipahami sebatas akhir dari setiap bentuk kehidupan. Karena kematian bagi seseorang berarti terputus segala ikatan keduniaan, hilangnya ikatan-ikatan emosi, seperti cinta, persahabatan, harapan, keinginan juga bentuk-bentuk materi lainnya. Mungkin hanya di kalangan kaum sufi kematian dihadapi dengan berani sebagai sebuah prosesi menuju keabadian.
“Hari Ini Kita Berpisah, Rani” inipun berbicara perihal kematian. Menghadirkan dua tokoh, lelaki dan perempuan sebagai sepasang kekasih. Cerita berujung dramatik, berupa kematian. Menjadi menarik, meski bukan cerita sufistik tema cinta ini dicoba dikemas berbeda dengan pandangan umum tadi.
Pemakaian diksi dengan metafora serta beberapa repetisi di dalamnya, telah memberi tenaga dalam tubuh ceritanya. Plot demi plot diawali dengan kalimat pembuka yang “terang” dan mampu memancing keingintahuan. Membawa pembaca menyelami pergulatan pikiran dan perasaan dua tokohnya dalam dialog lewat tatapan, gesture atau sekedar rintihan pertanyaan.
Tema percintaan yang selalu penuh dengan warna kesangsian, pengorbanan, kepasrahan, kesetiaan dan keyakinan, mengalir lewat frasa demi frasa. Mampu membangkitkan rangsangan emosi. Cerita menjadi terasa lebih nyata karena diskripsi berbagai indra, penglihatan, penciuman, sentuhan juga ekspresi.
Terkadang, perpisahan adalah hal yang sangat kuinginkan. Inilah kalimat pembuka, yang mengawali cerita bagaimana Re demikian merasa putus asa untuk tetap dapat bertahan menghadapi penyakitnya. Bagaimana Re yang mencintai Rani tidak mau menambah beban penderitaannya. Inilah bangunan drama paragraf pertama yang ingin menggambarkan kondisi psikis keduanya. Di satu sisi Rani selalu mencoba menghibur Re, meski ia tahu bahwa penyakit kekasihnya sulit disembuhkan.
Seringkali, perpisahan adalah hal yang sangat kutakutkan. Pada paragraf ke dua ini, plot bergulir pada kondisi psikis perasaan Rani yang demikian takut kehilangan Re. Pada alenia ini untuk memperkuat perasaan itu penulis menuliskannya dengan ungkapan tanya. “Kapan ini akan berakhir, tanyamu?”
Terkadang, aku bertanya, siapa yang sesungguhnya egois? Kau? Ataukah aku? Kalimat pembuka pada paragraf ke tiga ini, ingin menguatkan pertengkaran perasaan keduanya. Di satu sisi Rani tidak sanggup melihat penderitaan Re. Di sisi lain Re merasa Rani sudah kehilangan ketegaran yang begitu di harapkannya. Re mempertanyakan kembali cinta Rani. Maka penulis memperkuat pesan itu lewat kalimat :
“Tidak lama lagi,” kata-katamu tidak pernah mencoba menipuku, Rani, “dan kuantar kau dengan senyuman,” tapi kau mengeluarkan air mata. Kau menangis bukan mengulas senyum.
Seringkali, perpisahan adalah hal yang tidak bisa kita hindari. Pada bagian ini keinginan penulis menggambarkan suasana ketika keduanya telah “pasrah” menerima kenyataan yang dihadapi. Dan Re kembali menemukan kembali kepercayaan atas cinta Rani dengan bahasa ungkap yang sangat baik. Lewat dialog di bawah ini :
“Aku bermimpi semalam,” kataku lirih.
Kau merebahkan tubuhmu, menyandarkan kepala di pangkuanku. Jari-jari tanganmu lembut meraih wajahku, menyentuh bibir ini, mata, pipi, lalu kau bertanya,
“Kau tersenyum dalam mimpimu?”
Aku mengangguk dan cinta yang sempat hilang di antara kita hadir kembali lewat tatapanmu.
Terkadang, perpisahan adalah hal yang sangat indah. Pada penutup prosa ini, penulis menghadirkan dengan dialog-dialog indah keduanya. Yang menggambarkan keteguhan hati dalam cinta mereka. Untuk sama-sama dapat melewati sisa-sisa hari pertemuan keduanya. Detik demi detik, menit, jam demi jam seakan mereka lalui dengan penuh cinta dan kepasrahan. Kepercayaan Re terhadap Rani yang kembali pulih dikuatkan dengan kalimat
“Aku mencintaimu, Re.”
Bisikmu hampir tidak terdengar olehku. Wajahmu keemasan diterpa cahaya jingga. Silau, ruang di sekelilingmu. Aku hampir tidak bisa melihat apapun, kecuali senyum hangat di bibir merahmu dan aku membalas senyum itu dengan seluruh tenaga yang tersisa.
Ah, ternyata benar. Hari ini kita berpisah, Rani.
Sedikit catatan: pendeskripsian ruang, lorong atau kamar dan suasana sekelingnya yang mampu menjaga rima serta memberi roh pada cerita, kurang terasa mewarnai pada tiap larik di dalamnya. Kecuali pada paragraf ke empat:
“Hari ini kita berpisah, Re,” dan wajah tampanmu yang sudah lama tidak sudi menatapku, kini menoleh. Di teras rumah, kita berdua duduk bersama. Di atas dipan kayu, menatap langit senja berwarna jingga di atas padang ilalang. Ditemani suara kepak sayap burung-burung di udara dan ramai gunjingan daun yang diterpa angin.
Bekasi, Nov 2007
Pemakaian diksi dengan metafora serta beberapa repetisi di dalamnya, telah memberi tenaga dalam tubuh ceritanya. Plot demi plot diawali dengan kalimat pembuka yang “terang” dan mampu memancing keingintahuan. Membawa pembaca menyelami pergulatan pikiran dan perasaan dua tokohnya dalam dialog lewat tatapan, gesture atau sekedar rintihan pertanyaan.
Tema percintaan yang selalu penuh dengan warna kesangsian, pengorbanan, kepasrahan, kesetiaan dan keyakinan, mengalir lewat frasa demi frasa. Mampu membangkitkan rangsangan emosi. Cerita menjadi terasa lebih nyata karena diskripsi berbagai indra, penglihatan, penciuman, sentuhan juga ekspresi.
Terkadang, perpisahan adalah hal yang sangat kuinginkan. Inilah kalimat pembuka, yang mengawali cerita bagaimana Re demikian merasa putus asa untuk tetap dapat bertahan menghadapi penyakitnya. Bagaimana Re yang mencintai Rani tidak mau menambah beban penderitaannya. Inilah bangunan drama paragraf pertama yang ingin menggambarkan kondisi psikis keduanya. Di satu sisi Rani selalu mencoba menghibur Re, meski ia tahu bahwa penyakit kekasihnya sulit disembuhkan.
Seringkali, perpisahan adalah hal yang sangat kutakutkan. Pada paragraf ke dua ini, plot bergulir pada kondisi psikis perasaan Rani yang demikian takut kehilangan Re. Pada alenia ini untuk memperkuat perasaan itu penulis menuliskannya dengan ungkapan tanya. “Kapan ini akan berakhir, tanyamu?”
Terkadang, aku bertanya, siapa yang sesungguhnya egois? Kau? Ataukah aku? Kalimat pembuka pada paragraf ke tiga ini, ingin menguatkan pertengkaran perasaan keduanya. Di satu sisi Rani tidak sanggup melihat penderitaan Re. Di sisi lain Re merasa Rani sudah kehilangan ketegaran yang begitu di harapkannya. Re mempertanyakan kembali cinta Rani. Maka penulis memperkuat pesan itu lewat kalimat :
“Tidak lama lagi,” kata-katamu tidak pernah mencoba menipuku, Rani, “dan kuantar kau dengan senyuman,” tapi kau mengeluarkan air mata. Kau menangis bukan mengulas senyum.
Seringkali, perpisahan adalah hal yang tidak bisa kita hindari. Pada bagian ini keinginan penulis menggambarkan suasana ketika keduanya telah “pasrah” menerima kenyataan yang dihadapi. Dan Re kembali menemukan kembali kepercayaan atas cinta Rani dengan bahasa ungkap yang sangat baik. Lewat dialog di bawah ini :
“Aku bermimpi semalam,” kataku lirih.
Kau merebahkan tubuhmu, menyandarkan kepala di pangkuanku. Jari-jari tanganmu lembut meraih wajahku, menyentuh bibir ini, mata, pipi, lalu kau bertanya,
“Kau tersenyum dalam mimpimu?”
Aku mengangguk dan cinta yang sempat hilang di antara kita hadir kembali lewat tatapanmu.
Terkadang, perpisahan adalah hal yang sangat indah. Pada penutup prosa ini, penulis menghadirkan dengan dialog-dialog indah keduanya. Yang menggambarkan keteguhan hati dalam cinta mereka. Untuk sama-sama dapat melewati sisa-sisa hari pertemuan keduanya. Detik demi detik, menit, jam demi jam seakan mereka lalui dengan penuh cinta dan kepasrahan. Kepercayaan Re terhadap Rani yang kembali pulih dikuatkan dengan kalimat
“Aku mencintaimu, Re.”
Bisikmu hampir tidak terdengar olehku. Wajahmu keemasan diterpa cahaya jingga. Silau, ruang di sekelilingmu. Aku hampir tidak bisa melihat apapun, kecuali senyum hangat di bibir merahmu dan aku membalas senyum itu dengan seluruh tenaga yang tersisa.
Ah, ternyata benar. Hari ini kita berpisah, Rani.
Sedikit catatan: pendeskripsian ruang, lorong atau kamar dan suasana sekelingnya yang mampu menjaga rima serta memberi roh pada cerita, kurang terasa mewarnai pada tiap larik di dalamnya. Kecuali pada paragraf ke empat:
“Hari ini kita berpisah, Re,” dan wajah tampanmu yang sudah lama tidak sudi menatapku, kini menoleh. Di teras rumah, kita berdua duduk bersama. Di atas dipan kayu, menatap langit senja berwarna jingga di atas padang ilalang. Ditemani suara kepak sayap burung-burung di udara dan ramai gunjingan daun yang diterpa angin.
Bekasi, Nov 2007