Resensi Puisi Kilat
Tuesday, November 20, 2007 | Labels: resensi, sesi 1 | |Oleh Nanang Suryadi
Puisi Kilat oleh KD
Sajak ini berjudul Puisi Kilat. Saat membaca judulnya ada dua hal yang terbayang dalam benak saya, yaitu puisi tentang kilat atau puisi yang dibuat cepat-cepat (seperti surat berperangko kilat atau kilat khusus yang menandakan itu harus dikirimkan secepatnya).
Namun setelah membaca badan sajaknya, saya tak menemukan ada keterkaitannya dengan bayangan yang pertama. Maka saya duga, bahwa sajak ini memang memiliki arti yang kedua, puisi yang dibuat cepat-cepat (seperti kilat), alias instan.
Berapa lama kita menulis sajak? Pertanyaan itu bisa mendapat jawaban beragam. Lalu mungkin akan ada pertanyaan lain lagi: bolehkah kita menulis sajak cepat-cepat, bahkan mungkin sangat cepat (secepat kilat (?)). Jawaban pertanyaan ini pun akan beragam-ragam jika kita tanyakan kepada banyak penyair.
Puisi Kilat oleh KD
Sajak ini berjudul Puisi Kilat. Saat membaca judulnya ada dua hal yang terbayang dalam benak saya, yaitu puisi tentang kilat atau puisi yang dibuat cepat-cepat (seperti surat berperangko kilat atau kilat khusus yang menandakan itu harus dikirimkan secepatnya).
Namun setelah membaca badan sajaknya, saya tak menemukan ada keterkaitannya dengan bayangan yang pertama. Maka saya duga, bahwa sajak ini memang memiliki arti yang kedua, puisi yang dibuat cepat-cepat (seperti kilat), alias instan.
Berapa lama kita menulis sajak? Pertanyaan itu bisa mendapat jawaban beragam. Lalu mungkin akan ada pertanyaan lain lagi: bolehkah kita menulis sajak cepat-cepat, bahkan mungkin sangat cepat (secepat kilat (?)). Jawaban pertanyaan ini pun akan beragam-ragam jika kita tanyakan kepada banyak penyair.
Baik, saya jawab sendiri pertanyaan-pertanyaan tadi. Jawaban ini mungkin akan berbeda dengan penyair-penyair lain. Berapa lama kita menulis sajak? Pengalaman saya selama ini, menulis sajak itu hanya sebentar saja. Tak butuh waktu lama-lama. Ketika ada dorongan untuk menulis, seluruh pengalaman puitik saya seakan-akan tumpah dalam sajak-sajak yang mungkin lahir dalam berbagai judul dalam waktu kurang dari 30 menit. Saya mungkin termasuk penulis yang tidak terlalu rumit memikirkan bangunan puisi seperti Chairil Anwar, yang seakan-akan menulis puisi adalah pertaruhan hidup mati. Jadi bagi saya, menulis sajak cepat-cepat seperti kilat bukan suatu masalah. Hanya saja, menjadi masalah ketika sajak itu tak memberikan "apa-apa" bagi pembacanya.
Pada sajak ini, puisi kilat menunjuk pada cara menulisnya yang kilat (cepat), karena sebagai pembaca, saya tidak menemukan metafora kilat yang berhubungan dengan seluruh isi dalam puisi ini, walaupun ada tanda-tanda yang mengarah ke pembentukan image tentang kilat, misalnya: hujan belum nampak turun dan badai gurun
Sebagai pembaca saya meraba-raba apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis sajak ini. Judul sajak yang tak menjelaskan isi dan bait demi bait yang tersusun namun tidak runtut menggambarkan sesuatu, cukup menyulitkan untuk mencoba memahaminya secara utuh. Pada bait pertama, saya cukup tertegun membaca:
(1)
Aku puas dengan langit yang biru
Tanpa salju membeku seperti musim lalu
Aku puas dengan hatiku yang mengharu
Tanpa cinta pilu di tahun lalu
Pada bait pertama, penulis menggunakan teknik persajakan dengan rima yang sama, yaitu dengan akhiran “u” , yang cukup memberikan musik dalam bait ini. Bentuknya menyerupai pantun, namun dengan pola a-a-a-a, dengan sampiran dan isi (jika bisa dikatakan dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi). Namun jika dilihat, antara sampiran dan isi dapat dirasakan ketersambungan (yang membedakannya dengan pantun, yang tak meminta “sampiran” berhubungan dengan “isi”). Dua baris pertama dipenuhi dengn simbol-simbol yang dapat dibayangkan sebagai penggambaran suasana hati yang dimetaforakan dengan “langit biru” tanpa “salju membeku” seperti di musim lalu. Walaupun jika pembaca membandingkan antara “langit biru” dengan “hatiku yang haru” tak menemukan suasana yang sepadan, karena “langit biru” menunjuk pada suasana cerah, senang, gembira.
Pada bait kedua, pola persajakan seperti di bait pertama mulai ditinggalkan, bahkan pola sampiran dan isi seperti pantun tidak ada lagi. Seluruh baris pada bait ini bermain-main dengan simbol (metafora) ---- jika memang itu adalah metafora, bukan hanya menggambarkan “kejadian seperti aslinya” seperti seorang turis mengambil foto dengan kamera sakunya---- yang mencoba menceritkan suasana hati penulis sebagai “musim kemarau belum berlalu” namun “padang gurun mulai bersemi”.
(2)
Musim kemarau belum berlalu
Dan daun jati sudah berhenti meranggas
Hujan belum nampak akan turun
Namun padang gurun mulai bersemi
Pada bait kedua ini, simbol-simbol yang digunakan tak membentuk suasana yang sama dan runtut, misalnya sangat aneh ketika muncul “daun jati” digabung dengan “padang gurun”. Apalagi jika dihubungkan dengan bait pertama yang menggunakan simbol “salju membeku”. Mungkin pembaca juga akan bertanya, apa maksudnya “padang gurun mulai bersemi”. Apakah bisa padang gurun bersemi? (seperti pohon dan bunga-bunga bersemi).
Bait ketiga hampir sama dengan bait kedua dalam teknik atau pola penulisannya. Namun bait ketiga tak memberikan pengertian yang jelas (karena bait ketiga ini sepertinya terlepas dari bangunan bait sebelumnya). Apa yang dimaksud dengan “disana”? Apa yang ingin disampaikan dengan frasa “badai gurun berhembus sejenak” dan seterusnya, yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dan mungkin tak terjawab oleh bait ketiga ini.
(3)
Kami di sini bertanya-tanya
Ada apa gerangan di sana
Badai gurun berhenti berhembus sejenak
Menunggu apa yang akan terjadi
Bahkan penulisnya pun meminta:
(4)
Jawablah rindu ini
Meski dalam kata terbungkus duri
Wujudkanlah harap ini
Meski dalam nada sehalus pasir
Bait keempat seperti bait-bait sebelumnya, seperti serpihan-serpihan yang tak membutuhkan keutuhan dalam sebuah bangunan utuh sajak. Mungkin ada pembaca yang dapat membayangkan metafora dan simile dalam frasa “Kata terbungkus duri” , “nada sehalus pasir”. Tapi metafora ini menjadi seperti tidak memiliki daya pukau dalam susunan sajak seperti ini, puisi yang tidak menemukan keutuhan. Puisi yang bingung menggambarkan suasana hati penulisnya. Seperti kilat, mencercah sesaat. Mungkin.
Pada sajak ini, puisi kilat menunjuk pada cara menulisnya yang kilat (cepat), karena sebagai pembaca, saya tidak menemukan metafora kilat yang berhubungan dengan seluruh isi dalam puisi ini, walaupun ada tanda-tanda yang mengarah ke pembentukan image tentang kilat, misalnya: hujan belum nampak turun dan badai gurun
Sebagai pembaca saya meraba-raba apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis sajak ini. Judul sajak yang tak menjelaskan isi dan bait demi bait yang tersusun namun tidak runtut menggambarkan sesuatu, cukup menyulitkan untuk mencoba memahaminya secara utuh. Pada bait pertama, saya cukup tertegun membaca:
(1)
Aku puas dengan langit yang biru
Tanpa salju membeku seperti musim lalu
Aku puas dengan hatiku yang mengharu
Tanpa cinta pilu di tahun lalu
Pada bait pertama, penulis menggunakan teknik persajakan dengan rima yang sama, yaitu dengan akhiran “u” , yang cukup memberikan musik dalam bait ini. Bentuknya menyerupai pantun, namun dengan pola a-a-a-a, dengan sampiran dan isi (jika bisa dikatakan dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi). Namun jika dilihat, antara sampiran dan isi dapat dirasakan ketersambungan (yang membedakannya dengan pantun, yang tak meminta “sampiran” berhubungan dengan “isi”). Dua baris pertama dipenuhi dengn simbol-simbol yang dapat dibayangkan sebagai penggambaran suasana hati yang dimetaforakan dengan “langit biru” tanpa “salju membeku” seperti di musim lalu. Walaupun jika pembaca membandingkan antara “langit biru” dengan “hatiku yang haru” tak menemukan suasana yang sepadan, karena “langit biru” menunjuk pada suasana cerah, senang, gembira.
Pada bait kedua, pola persajakan seperti di bait pertama mulai ditinggalkan, bahkan pola sampiran dan isi seperti pantun tidak ada lagi. Seluruh baris pada bait ini bermain-main dengan simbol (metafora) ---- jika memang itu adalah metafora, bukan hanya menggambarkan “kejadian seperti aslinya” seperti seorang turis mengambil foto dengan kamera sakunya---- yang mencoba menceritkan suasana hati penulis sebagai “musim kemarau belum berlalu” namun “padang gurun mulai bersemi”.
(2)
Musim kemarau belum berlalu
Dan daun jati sudah berhenti meranggas
Hujan belum nampak akan turun
Namun padang gurun mulai bersemi
Pada bait kedua ini, simbol-simbol yang digunakan tak membentuk suasana yang sama dan runtut, misalnya sangat aneh ketika muncul “daun jati” digabung dengan “padang gurun”. Apalagi jika dihubungkan dengan bait pertama yang menggunakan simbol “salju membeku”. Mungkin pembaca juga akan bertanya, apa maksudnya “padang gurun mulai bersemi”. Apakah bisa padang gurun bersemi? (seperti pohon dan bunga-bunga bersemi).
Bait ketiga hampir sama dengan bait kedua dalam teknik atau pola penulisannya. Namun bait ketiga tak memberikan pengertian yang jelas (karena bait ketiga ini sepertinya terlepas dari bangunan bait sebelumnya). Apa yang dimaksud dengan “disana”? Apa yang ingin disampaikan dengan frasa “badai gurun berhembus sejenak” dan seterusnya, yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dan mungkin tak terjawab oleh bait ketiga ini.
(3)
Kami di sini bertanya-tanya
Ada apa gerangan di sana
Badai gurun berhenti berhembus sejenak
Menunggu apa yang akan terjadi
Bahkan penulisnya pun meminta:
(4)
Jawablah rindu ini
Meski dalam kata terbungkus duri
Wujudkanlah harap ini
Meski dalam nada sehalus pasir
Bait keempat seperti bait-bait sebelumnya, seperti serpihan-serpihan yang tak membutuhkan keutuhan dalam sebuah bangunan utuh sajak. Mungkin ada pembaca yang dapat membayangkan metafora dan simile dalam frasa “Kata terbungkus duri” , “nada sehalus pasir”. Tapi metafora ini menjadi seperti tidak memiliki daya pukau dalam susunan sajak seperti ini, puisi yang tidak menemukan keutuhan. Puisi yang bingung menggambarkan suasana hati penulisnya. Seperti kilat, mencercah sesaat. Mungkin.
KD.. dirimu kemana? tau tau dah ada disini aja puisinya.
hehehehe..