Menuju Puisi Setajam Daun Ilalang, Sejernih Mata Hati
Tuesday, November 20, 2007 | Labels: resensi, sesi 1 | |Oleh TS Pinang
Di Matamu yang Ilalang oleh ghe
Di Matamu yang Ilalang
di matamu yang ilalang kutemukan angin yang rinai. ingin kurebah diatasnya. kan kuriap rumput yang berkelindan di dada. dan telentang menatap rekata.
menanti hujan bintang. di matamu yang ilalang.
Sejujurnya saya sangat menyukai judul sajak di atas. Judul ini begitu kuat mengesan dalam benak saya bahkan sebelum saya membaca isi sajaknya. Saya rasa yang membuat judul itu terasa kuat mula-mula adalah pilihan pencitraan yang dipilih penyair sajak ini dengan menggabungkan kata 'mata' dengan 'ilalang'. Mata yang ilalang, mata yang bagaimanakah itu? Karakter ilalang yang mana yang begitu khas sehingga penyair sajak ini memilihnya untuk memperkuat sifat mata si 'kamu' itu? Tak sabar ingin segera saya temukan jawabannya di dalam larik-larik puisinya.
“[D]i matamu yang ilalang kutemukan angin yang rinai.” membuka sajak ini. Ilalang dan angin yang rinai membawa saya pada suasana padang atau dataran lapang. Ilalang itu tampaknya lebih sebagai sebuah hamparan yang luas, bukan hanya serumpun atau sejumput daunnya saja. (Padang) ilalang bisa tampak hijau indah dengan jambul-jambul bunga yang elok, tetapi jangan lupa, ilalang juga berdaun tajam yang bisa menyayat kulit tangan atau kaki bila kita tak hati-hati. Pemilik mata yang ilalang jelas orang istimewa, dan karena itu si penyair menuliskannya dalam sajak ini. Saya berharap akan dibawa lebih jauh pada citra mata yang seperti (padang) ilalang, atau setajam bilah daun ilalang milik si “mu” itu.
Tetapi, masih pada bait yang sama, tiba-tiba saya dihadapkan pada “ingin kurebah diatasnya. kan kuriap rumput yang berkelindan di dada. dan telentang menatap rekata.” dan saya pun menjadi kehilangan jejak. Sebenarnya bagian “ingin kurebah diatasnya” masih memungkinkan saya membayangkan sang mata sebagai padang ilalang, tetapi begitu saja saya disodori “rumput yang berkelindan di dada”. Di atas 'matamu yang ilalang' itu aku-lirik ingin rebah dan meriap 'rumput yang berkelindan di dada', lalu 'telentang menatap rekata'. Sampai di sini saya disuguhi masalah yang bagi saya cukup serius. Mata itu tiba-tiba hilang, digantikan oleh rumput di dada, dan aku-lirik yang telentang menatap rekata.
Tampak bahwa penyair kita ini ternyata masih mudah terpesona oleh kata-katanya sendiri, dan lupa pada bangunan imaji yang hendak diciptakannya. Keutuhan imaji yang dihentak dari awal judul sajak ini, gagal dipertahankan di pertengahan sajak. Kemunculan citra 'rumput' yang berkelindan di 'dada' bagi saya terasa merusak citra 'ilalang' dan 'mata' yang begitu mengesan di awal sajak, walaupun di penutup sajak ini pembaca dibawa kembali kepada mata ilalang itu: 'menanti hujan bintang. di matamu yang ilalang.'
Kekuatan sajak ini sebenarnya telah diperkenalkan dengan baik oleh ungkapan yang menurut saya sangat kuat dan menyaran, yaitu kerjasama antara “mata” dan “ilalang”. Keduanya adalah kata-kata biasa yang sering kita pakai sehari-hari (bandingkan dengan “rekata”), artinya kita tidak perlu susah-payah mencari lema kata-kata mata dan ilalang tersebut di dalam kamus. Tetapi ungkapan “mata yang ilalang” jelas tidak biasa. Ungkapan ini sukses memicu imajinasi saya sebagai pembaca. Saya berhasil 'terjebak' oleh rasa penasaran yang asyik yang dipicu oleh ungkapan tidak biasa tersebut. Inilah mungkin yang disebut kreativitas puitik itu, yaitu ketika penyair mampu mengejutkan rasa bahasa pembaca dengan sesuatu yang tidak biasa (baru?) dari kata-kata sehari-hari yang biasa. Sebagai kontrasnya, penggunaan kata “rekata” yang tidak lazim dalam khasanah ucapan saya sebagai orang Indonesia-Jawa bagi saya terasa justru asing dan tidak akrab. Mudah-mudahan penyair sajak ini memang telah akrab dengan kata “rekata” itu (dalam KUBI, rekata= kala [bintang atau rasi]), sebab bagaimana sebuah sajak bisa jujur mengungkapkan bahasa batin si penyair, jika menggunakan lambang yang tidak akrab dengan dunia batin si penyair?
Sajak pendek sebenarnya memiliki keuntungan sekaligus kesulitan tersendiri. Ia memiliki tenaga yang lebih kuat, lebih lenting untuk menancapkan kesan kepada pembaca. Dalam hal ini teks-teks iklan dapat dijadikan contoh, singkat tetapi kuat menancap di benak. Namun, kekuatan itu tidak mudah ditemukan, ia harus dihasilkan dari pemadatan atau kristalisasi. Dengan kata lain, sajak pendek akan muncul kekuatannya jika kata-katanya efektif, dan kesan yang hendak ditembakkan kepada pembaca utuh dan tajam. Saya kira, sajak ini belum kristal, masih terdapat fraksi, retakan imaji.
Selain retaknya bangunan imaji dalam sajak ini sebagaimana telah disinggung di atas, kesalahan tatabahasa yang mungkin kelihatan remeh seperti penulisan “diatasnya” yang seharusnya ditulis “di atasnya” terasa mengganggu keutuhan sajak ini. Banyak penulis yang ceroboh dengan kaidah baku bahasa Indonesia dan penyair, sebagai seniman bahasa, wajib memahami kaidah-kaidah ini sebelum memainkan improvisasi dan manuver atas nama licentia poetica.
Lepas dari beberapa kekurangan tersebut, sajak Di Matamu yang Ilalang ini menunjukkan potensi penyairnya. Terlihat kepekaan diksinya cukup kuat (lihat ungkapan-ungkapan: mata yang ilalang, angin yang rinai, menanti hujan bintang). Jika penyair cukup mampu menjaga emosinya dan tidak terburu-buru ingin menyelesaikan sebuah sajak, saya kira ia akan mampu menghasilkan sajak-sajak yang kuat, penuh perhitungan, dan utuh. Saya kira upaya-upaya menuju kualitas semacam inilah yang selalu digeluti oleh penyair manapun dari zaman ke zaman, karena melalui upaya tak kenal lelah untuk mengasah ketajaman puisinya itulah seorang penyair juga mengasah kepekaan nuraninya menjadi lebih tajam dan jernih. Setajam bilah daun ilalang, sejernih mata hati.
Tetapi, masih pada bait yang sama, tiba-tiba saya dihadapkan pada “ingin kurebah diatasnya. kan kuriap rumput yang berkelindan di dada. dan telentang menatap rekata.” dan saya pun menjadi kehilangan jejak. Sebenarnya bagian “ingin kurebah diatasnya” masih memungkinkan saya membayangkan sang mata sebagai padang ilalang, tetapi begitu saja saya disodori “rumput yang berkelindan di dada”. Di atas 'matamu yang ilalang' itu aku-lirik ingin rebah dan meriap 'rumput yang berkelindan di dada', lalu 'telentang menatap rekata'. Sampai di sini saya disuguhi masalah yang bagi saya cukup serius. Mata itu tiba-tiba hilang, digantikan oleh rumput di dada, dan aku-lirik yang telentang menatap rekata.
Tampak bahwa penyair kita ini ternyata masih mudah terpesona oleh kata-katanya sendiri, dan lupa pada bangunan imaji yang hendak diciptakannya. Keutuhan imaji yang dihentak dari awal judul sajak ini, gagal dipertahankan di pertengahan sajak. Kemunculan citra 'rumput' yang berkelindan di 'dada' bagi saya terasa merusak citra 'ilalang' dan 'mata' yang begitu mengesan di awal sajak, walaupun di penutup sajak ini pembaca dibawa kembali kepada mata ilalang itu: 'menanti hujan bintang. di matamu yang ilalang.'
Kekuatan sajak ini sebenarnya telah diperkenalkan dengan baik oleh ungkapan yang menurut saya sangat kuat dan menyaran, yaitu kerjasama antara “mata” dan “ilalang”. Keduanya adalah kata-kata biasa yang sering kita pakai sehari-hari (bandingkan dengan “rekata”), artinya kita tidak perlu susah-payah mencari lema kata-kata mata dan ilalang tersebut di dalam kamus. Tetapi ungkapan “mata yang ilalang” jelas tidak biasa. Ungkapan ini sukses memicu imajinasi saya sebagai pembaca. Saya berhasil 'terjebak' oleh rasa penasaran yang asyik yang dipicu oleh ungkapan tidak biasa tersebut. Inilah mungkin yang disebut kreativitas puitik itu, yaitu ketika penyair mampu mengejutkan rasa bahasa pembaca dengan sesuatu yang tidak biasa (baru?) dari kata-kata sehari-hari yang biasa. Sebagai kontrasnya, penggunaan kata “rekata” yang tidak lazim dalam khasanah ucapan saya sebagai orang Indonesia-Jawa bagi saya terasa justru asing dan tidak akrab. Mudah-mudahan penyair sajak ini memang telah akrab dengan kata “rekata” itu (dalam KUBI, rekata= kala [bintang atau rasi]), sebab bagaimana sebuah sajak bisa jujur mengungkapkan bahasa batin si penyair, jika menggunakan lambang yang tidak akrab dengan dunia batin si penyair?
Sajak pendek sebenarnya memiliki keuntungan sekaligus kesulitan tersendiri. Ia memiliki tenaga yang lebih kuat, lebih lenting untuk menancapkan kesan kepada pembaca. Dalam hal ini teks-teks iklan dapat dijadikan contoh, singkat tetapi kuat menancap di benak. Namun, kekuatan itu tidak mudah ditemukan, ia harus dihasilkan dari pemadatan atau kristalisasi. Dengan kata lain, sajak pendek akan muncul kekuatannya jika kata-katanya efektif, dan kesan yang hendak ditembakkan kepada pembaca utuh dan tajam. Saya kira, sajak ini belum kristal, masih terdapat fraksi, retakan imaji.
Selain retaknya bangunan imaji dalam sajak ini sebagaimana telah disinggung di atas, kesalahan tatabahasa yang mungkin kelihatan remeh seperti penulisan “diatasnya” yang seharusnya ditulis “di atasnya” terasa mengganggu keutuhan sajak ini. Banyak penulis yang ceroboh dengan kaidah baku bahasa Indonesia dan penyair, sebagai seniman bahasa, wajib memahami kaidah-kaidah ini sebelum memainkan improvisasi dan manuver atas nama licentia poetica.
Lepas dari beberapa kekurangan tersebut, sajak Di Matamu yang Ilalang ini menunjukkan potensi penyairnya. Terlihat kepekaan diksinya cukup kuat (lihat ungkapan-ungkapan: mata yang ilalang, angin yang rinai, menanti hujan bintang). Jika penyair cukup mampu menjaga emosinya dan tidak terburu-buru ingin menyelesaikan sebuah sajak, saya kira ia akan mampu menghasilkan sajak-sajak yang kuat, penuh perhitungan, dan utuh. Saya kira upaya-upaya menuju kualitas semacam inilah yang selalu digeluti oleh penyair manapun dari zaman ke zaman, karena melalui upaya tak kenal lelah untuk mengasah ketajaman puisinya itulah seorang penyair juga mengasah kepekaan nuraninya menjadi lebih tajam dan jernih. Setajam bilah daun ilalang, sejernih mata hati.