Ngobrol tentang Eskapisme
Tuesday, November 20, 2007 | Labels: resensi, sesi 1 | |Oleh Isman H. Suryaman
Eskapisme oleh Dadun
Saya sengaja memilih dua karya yang menggunakan sudut pandang serupa; tokoh “aku” yang menceritakan “kamu”: “Monet” dan “Eskapisme”. Berbicara mengenai keduanya akan menarik. Pertama, karena kedua cerita ini bercakap-cakap tentang cinta. Lantas, keduanya sama-sama ditulis dengan baik. Dan terakhir, unik. Karena kita bisa membedakan suara keduanya.
“Monet” membalur kepingan cerita, kenangan, dan emosi. Semua ia taburkan di latar yang hidup, walau sedikit terlalu sempurna (setidaknya, bagi saya). Sementara “Eskapisme” justru menihilkan latar. Bagi penulis, latar cukuplah tindakan dan waktu. Penceritaan yang sarat monolog juga mencerminkan pola pikir teknis sang “aku” yang merupakan mahasiswa.
“Monet” membalur kepingan cerita, kenangan, dan emosi. Semua ia taburkan di latar yang hidup, walau sedikit terlalu sempurna (setidaknya, bagi saya). Sementara “Eskapisme” justru menihilkan latar. Bagi penulis, latar cukuplah tindakan dan waktu. Penceritaan yang sarat monolog juga mencerminkan pola pikir teknis sang “aku” yang merupakan mahasiswa.
Dengan rupa dan suara masing-masing, kedua cerita ini sudah layak jual—pada sasaran pembaca yang berbeda. Monet akan memikat para pembaca yang menggemari cerita romantis, terbalur dalam rangkaian yang manis. Eskapisme justru lebih mengena pada pembaca yang kontemplatif. Mereka yang mencari romantisasi justru akan tertipu. Karena walaupun nuansa itu seakan-akan ditawarkan di sini, yang muncul adalah desakan untuk merenung. Membaca ulang. Tidak ada romansa yang muncul akibat rasio. Yang ada adalah justifikasi. Atau pengenalan diri melalui cermin orang lain.
Sebelum memberi masukan, perlu saya ungkapkan bahwa saya lebih suka cerita ketimbang monolog. Mungkin saja akan ada beberapa masukan yang tidak cocok karena preferensi tersebut.
Pertama-tama, saya pribadi tidak suka konsep bahwa mencintai sesama jenis adalah pelarian dari kekecewaan akibat kegagalan menguntai kasih dengan lawan jenis. Menurut saya, ini konsep yang menyudutkan homoseksualitas secara superfisial. Memang, bisa jadi pengarang memaksudkan ini sebagai sekadar justifikasi sang “aku” yang sedang kebingungan dengan preferensi seksualnya. Namun, kalau gitu, seharusnya landasan temanya adalah “justifikasi”, alih-alih “eskapisme” (sebagaimana disuratkan oleh judul).
Kedua, penggunaan analogi dan istilah teknik dalam monolog memang menggambarkan pola pikir karakter dengan jelas. Namun—inilah kekurangannya monolog di cerita ini—hanya bergerak di satu dimensi itu saja. Saya tidak bisa memiliki gambaran jelas akan tokoh-tokoh di sini. Kasarnya, tidak ada yang bisa meyakinkan saya bahwa ini bukanlah memoar—bukan sang penulis sendiri yang bercerita.
Hal ketiga juga merupakan preferensi pribadi: pertanyaan di awal cerita tidak berhasil memancing minat baca. Pertanyaan itu sudah sering sekali ditanyakan dalam berbagai bentuk dan nada. Jika ada kompetisi kalimat pembuka terbaik, cerita ini jelas tidak akan masuk peringkat sepuluh terbesar. Dan ini membawa ke…
Masukan keempat: berbeda dengan “Monet” yang menguntai beragam emosi, “Eskapisme” lebih monoton. Jika “Monet” adalah wahana Halilintar dalam Dunia Fantasi, “Eskapisme” adalah Istana Boneka. Karena itu, penting sekali untuk mewarnai kontemplasi dengan sesuatu yang segar. Bukan baru. Segar. Dan bentuk kesegaran ini bukan hanya dalam penggunaan kata maupun analogi teknik. Melainkan dalam pola pikir itu sendiri. Kagetkanlah pembaca. Gelitikilah tulang belakang mereka. Buatlah bibir mereka membuka dan berkata, “Iya juga, ya?” Doronglah mereka untuk memperluas interpretasi mereka akan cinta. Bukan hanya merangkul definisi-definisi lama.
Akhir kata, ini sekadar pendapat saya. Bisa salah dan bisa berbeda.
Terus berkarya dan menggelitik pikiran pembaca!
--isman
Sebelum memberi masukan, perlu saya ungkapkan bahwa saya lebih suka cerita ketimbang monolog. Mungkin saja akan ada beberapa masukan yang tidak cocok karena preferensi tersebut.
Pertama-tama, saya pribadi tidak suka konsep bahwa mencintai sesama jenis adalah pelarian dari kekecewaan akibat kegagalan menguntai kasih dengan lawan jenis. Menurut saya, ini konsep yang menyudutkan homoseksualitas secara superfisial. Memang, bisa jadi pengarang memaksudkan ini sebagai sekadar justifikasi sang “aku” yang sedang kebingungan dengan preferensi seksualnya. Namun, kalau gitu, seharusnya landasan temanya adalah “justifikasi”, alih-alih “eskapisme” (sebagaimana disuratkan oleh judul).
Kedua, penggunaan analogi dan istilah teknik dalam monolog memang menggambarkan pola pikir karakter dengan jelas. Namun—inilah kekurangannya monolog di cerita ini—hanya bergerak di satu dimensi itu saja. Saya tidak bisa memiliki gambaran jelas akan tokoh-tokoh di sini. Kasarnya, tidak ada yang bisa meyakinkan saya bahwa ini bukanlah memoar—bukan sang penulis sendiri yang bercerita.
Hal ketiga juga merupakan preferensi pribadi: pertanyaan di awal cerita tidak berhasil memancing minat baca. Pertanyaan itu sudah sering sekali ditanyakan dalam berbagai bentuk dan nada. Jika ada kompetisi kalimat pembuka terbaik, cerita ini jelas tidak akan masuk peringkat sepuluh terbesar. Dan ini membawa ke…
Masukan keempat: berbeda dengan “Monet” yang menguntai beragam emosi, “Eskapisme” lebih monoton. Jika “Monet” adalah wahana Halilintar dalam Dunia Fantasi, “Eskapisme” adalah Istana Boneka. Karena itu, penting sekali untuk mewarnai kontemplasi dengan sesuatu yang segar. Bukan baru. Segar. Dan bentuk kesegaran ini bukan hanya dalam penggunaan kata maupun analogi teknik. Melainkan dalam pola pikir itu sendiri. Kagetkanlah pembaca. Gelitikilah tulang belakang mereka. Buatlah bibir mereka membuka dan berkata, “Iya juga, ya?” Doronglah mereka untuk memperluas interpretasi mereka akan cinta. Bukan hanya merangkul definisi-definisi lama.
Akhir kata, ini sekadar pendapat saya. Bisa salah dan bisa berbeda.
Terus berkarya dan menggelitik pikiran pembaca!
--isman