Yang Kilat, Meski Memberat

Monday, November 19, 2007 | Labels: , | |

Oleh Wawan Eko Yulianto

Eskapisme oleh Dadun

Well, well, well, eskapisme. Sebagai fiksi kilat, Eskapisme telah berhasil mengakhiri kisahnya secara mengejutkan tidak dengan peristiwa dahsyat atau aneh, tapi dengan menunjukkan satu fakta yang sejak awal telah ditahan penulisnya agak tidak sampai keceplosan.

Betatapun Mbak/Mas penulisnya berhati-hati menyimpan satu fakta (adanya ketertarikan homowi) untuk baris-baris terakhir, dia tidak lupa memberikan ancang-ancang ke depan (yang orang Inggris menyebutnya 'foreshadowing', maaf ya agak sok tahu, :D) dengan menyinggung tentang pengalaman pahit si "kamu" ditinggalkan ceweknya. Ancang-ancang ke depan macam ini berhasil mencegah pengkritik bilang "wah, endingnya terlalu dibuat-buat nih, dibuat mengagetkan!"


Eskapisme dipenuhi (tapi tidak seluruhnya) kalimat-kalimat yang membutuhkan "pembacaan" lebih dalam. Yah, bisa dibilang, pada beberapa bagian, kita tidak bisa membacanya begitu saja seperti membaca fiksi standar. Tapi, ada kalanya kita harus menurunkan kecepatan baca kita untuk menikmati kalimat-kalimat tertentu (yah, dengan kecepatan semacam membaca puisi lah): 1) "Kegagalan demi kegagalan yang membunuh jerih payah hingga setiap detiknya mesti lekat dengan sakramen pemulasaraan", 2) "sepasang mata yang memajang wajah saya" (asyik kan, ketimbang kalimat "melihatku dari ujung kaki hingga ujung rambut", :D, saya sangat tergelitik sama klausa ini), 3) permainan kata 'biasa' yang tidak biasa dalam "Kamu telah berubah dari seseorang yang biasa-biasa saja menjadi seseorang yang membuat saya serba tak biasa dalam segala hal yang semula saya anggap biasa. Saya pun merasa telah menjadi seseorang yang 'tidak biasa' karena menganggap kamu luar biasa", 4) "Seperti tentang episode kebetulan yang masih tumpang tindih dengan unsur perencanaan", 5) "Seolah memerahkan makna bahwa kita tengah benar-benar jatuh cinta", 6) dll. Saya merasa penulis selalu ingin mengungkapkan sesuatu dengan berbeda (dan dalam, :D).

Bagaimanapun, ada juga saatnya Mbak/Mas penulis tergelincir ke dalam klise: 1) "satu detik bersama kamu terasa jauh lebih berarti dari kebersamaan berjam-jam dengan mereka", 2) "saya mulai tak biasa jika tidak duduk di sebelah kamu. Tak biasa jika tidak menelepon dan meng-SMS kamu. Tak biasa jika sehari saja tidak melihat kamu" (maaf, menurut saya mendiang Alda sudah memegang hak cipta atas ungkapan-ungkapan macam ini, :D dan karenanya ungkapan ini menjadi klise).

Mungkin, ada satu hal yang menciptakan kekurangasyikan di pihak saya, yakni kemunculan kata sinusoluida secara sekonyong-konyong. Well, well, well, menurut saya, kemunculan hal-hal yang kurang relevan terhadap keutuhan cerita harus diminimalisir, apalagi untuk fiksi kilat. Bukannya berdosa mengatakan kata-kata ilmiah macam 'sinusoluida' dalam fiksi. Bukan! Hanya saja kenapa tiba-tiba yang muncul kata itu. Saya sangat bisa memaklumi kalau saja si aku narasi adalah mahasiswa jurusan matematika yang isi kepalanya sedikit-sedikit dipenuhi apa yang dia pelajari dari kuliah. Tapi sayang, di sini sama sekali tidak disebutkan begitu. Dan lagi, tidak ada lagi kata-kata lain semacam itu yang semestinya bisa mengimplikasikan bahwa dia adalah mahasiswa matematika yang sangat tahu, dan pikirannya dipenuhi, hal-hal semacam sinusoluida dan teman-temannya. Sebagai misal, wajar sekali jika dalam "Ksatria, Putih, Bintang Jatuh" si aku narasi banyak menggunakan istilah fisika modern (bifurkasi dll.), lha wong dia memang mahasiswa jurusan itu (seringat saya begitu, maaf, belum sempat buka lagi bukunya, :), mohon dikonfirmasi sendiri kebenaran ucapan saya ini).

Menurut saya, idealnya fiksi kilat adalah sebuah cerita yang sekali dibaca (boleh dengan cepat boleh dengan kalem-kalem, seperti kita membaca Eskapisme ini) langsung membuat pembaca tersambar kilat pada kalimat terakhirnya (lebih jauh tentang ini bisa baca tulisannya Hasif Amini di Jurnal Prosa 1 yang membahas Fiksi Mikro). Dan Eskapisme lumayan berhasil di sini, kecuali adanya kata sinusoluida yang membuat saya harus berhenti sejenak untuk mencari catatan kaki (dan pada akhirnya membuat saya agak lupa dengan cerita). Yah, saya lebih senang baca tulisan tanpa catatan kaki, karena saya merasa lebih bisa tenggelam dalam cerita macam itu (John Gardner bilang bahwa "esensi sebuah cerita adalah mimpi yang menghanyutkan pembaca ke dalamnya", dan bagi saya catatan kaki dalam cerita adalah serupa gigitan nyamuk yang membuat saya tidak nyenyak tidur, apalagi bermimpi, :D).

Begitu dulu ya, Mbak/Mas. Terima atas keasyikan yang telah diberikan. Sori ya, kepanjangen (masak ya komentar sama panjangnya dengan yang dikomentari, hehehe...).

N.B. kutipan dari film Never Ever: "Kita tidak pernah bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta" (halah, di film tersebut kalimat ini dipakai apologi sama orang yang konangan selingkuh, hehehe...).

2 comments:

  1. Anonymous says:

    duh... mas/mbak....

    ....lha diriku seorang laki-laki^^ tak perlu bingung sampai harus menulis kata Mas/Mbak.... panggil aja Mas dadun, gitu... atau dadun saja....

    thanks ya... thanks, Mas/Mbak Wawan Eko Yulianto^^

    *duh, diriku kalah cepat dengan mendiang Alda perihal kata TAK BIASA itu.... T_T

  2. Gita Pratama says:

    hehehe. kasiannya dadun.
    tapi ulasan pertama ini menarik..!