Beberapa Catatan Kecil -- yang mungkin tak penting
Monday, January 14, 2008 | Labels: resensi, sesi 4 | |Oleh Gunawan Maryanto
Butterfly Kisses oleh noir
Membaca Butterfly Kisses, aku tak menemukan sebuah cerita yang tumbuh. Aku hanya menemukan sebuah info: “aku rindu padamu”. Tak ada lagi yang lain. Rindu itu pun tak tumbuh. Tak mengembang. Mati (bahkan sebelum kalimat terakhir).
Jika tak ada cerita (memang tak ada keharusan bercerita), aku pun mencari cara bercerita. Sayangnya, tak ada. Yang ada adalah keterbata-bataan dalam berbahasa, kegenitan (sok indah, sok puitis), bahkan ketersesatan bahasa. Di beberapa kalimat aku terpaksa berhenti untuk mencoba memahami apa yang sebenanya penuliskan ingin sampaikan. Seperti dalam:
Butterfly Kisses oleh noir
Membaca Butterfly Kisses, aku tak menemukan sebuah cerita yang tumbuh. Aku hanya menemukan sebuah info: “aku rindu padamu”. Tak ada lagi yang lain. Rindu itu pun tak tumbuh. Tak mengembang. Mati (bahkan sebelum kalimat terakhir).
Jika tak ada cerita (memang tak ada keharusan bercerita), aku pun mencari cara bercerita. Sayangnya, tak ada. Yang ada adalah keterbata-bataan dalam berbahasa, kegenitan (sok indah, sok puitis), bahkan ketersesatan bahasa. Di beberapa kalimat aku terpaksa berhenti untuk mencoba memahami apa yang sebenanya penuliskan ingin sampaikan. Seperti dalam:
- Sms-sms bertaburan rayu dan canda berterbangan.
- Jadikan lamunan bertepi harap akan temu.
- Ini bukan lagi mimpi tergusah ketika pagi menjelang, melainkan keterpenuhan begitu erat.
Keinginan penulis untuk menyusun kalimat-kalimat yang puitik dan menyentuh justru membuatnya tersesat (tak puitik dan tak menyentuh).
La Preghiera oleh KD
Paragraf-paragraf awal cerita ini tak menarik. Aku (pembaca) merasa dibodohi—tentu ini bukan maksud dari si penulis. Penanaman informasi yang seenaknya sendiri yang membuatku, sebagai pembaca, merasa direndahkan.
Baca:
- Baru saja ia selesai menyisir rambutnya. Rambut? Ya! Tentu saja dia memiliki rambut.
- Ia hanya mengikuti dress code yang ditentukan. Benar! Setiap penampil pada malam ini harus memakai pakaian bernuansa hitam
Terbaca sebenarnya bahwa penulis memiliki banyak hal yang ingin diceritakannya, tetapi malas mencari jalan menceritakannya. Informasi demi informasi berloncatan begitu saja, hampir-hampir tak tertata. Asal-asalan. Asal pembaca ngerti. Titik.
Baru ketika memasuki tubuh cerita, aku mulai bisa menikmati. Meski tetap saja aku merasa si penulis sangat pelit dalam membagi ceritanya. Mungkin malas, mungkin tak lancar berbahasa. Agak aneh juga, tukang cerita tapi malas bercerita.
Bagiku La Preghiera belum menjadi cerita. Ia masih kerangka cerita.
Surga Aku Mau!!! oleh za_hara
Sebagai sebuah cerita Surga Aku Mau!!! cukup menarik. Sayang, si penulis tak cukup serius dalam menggarapnya. Bagiku menulis adalah sebuah pembacaan atas kenyataan dan menyatakan kembali kenyataan tersebut. Menulis bukan mengarang, asal aneh, asal nyentrik, asal-asalan.
Cerita ini memiliki potensi dalam memotret kenyataan yang belakangan ini memang sedang mencuat: agama baru, nabi baru, kepercayaan baru. Sayang, cerita ini ‘hanya’ menghadirkan kenyataan itu begitu saja. Tak mengolahnya. Tak memperkayanya. Cuma sepenggal—masih mirip dengan kabar angin. Selebihnya adalah karangan, imajinasi liar, fiksi yang tak kuat.
Benar, cerita pendek adalah sebuah karya fiksi. Tapi fiksi di sini adalah fiksi yang mengungkap kenyataan. Bukan hanya fiksi.