Satu Makam Untukmu, Satu Makam Untuk Siapa?
Friday, January 11, 2008 | Labels: resensi, sesi 4 | |Oleh Adi Toha
Satu Makam Untukku oleh eggiedwiananda
Bagus atau tidaknya sebuah cerita, menarik atau tidaknya sebuah kisah yang dituliskan dalam bentuk cerita pendek bagi pembaca secara individual, adalah murni masalah selera. Tapi, selera bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak bisa diperdebatkan. Permasalahan selera bergantung pada sejauh mana pengalaman dan pengetahuan baca seorang pembaca dan apakah pembaca menemukan semacam cerminan kisah ataukah setidaknya pembaca menemukan hiburan atau hal lain yang dianggap berguna dan layak untuk mengisi ruang penyimpanan dalam ingatan masing-masing pembaca.
Dari keempat prosa yang saya terima di email saya, terus terang keempatnya kurang membuat saya terkesan dan tidak membuat saya ingin mempertahankan keunggulan cerita andaikata ada yang menilai bahwa cerita-cerita tersebut tidak bagus. Baik atau buruk keempat cerita tersebut, jika ada yang menilainya, saya akan mengamini keduanya.
Namun tetap, saya harus memilih setidaknya satu untuk dijadikan bahan perkosaan. Saya memilih cerita berjudul “Satu Makam Untukku”, bukan karena cerita ini lebih unggul daripada cerita yang lain. Pilihan lebih disebabkan karena cerita ini mengambil lanskap surealis, berbeda dengan ketiga cerita lain yang mengambil lanskap realis. Kisah-kisah surreal sangat menarik perhatian saya, terutama yang bertema kematian, kegilaan dan penderitaan.
Dalam lanskap surreal, segala bentuk latar, peristiwa dan unsur-unsur pembangun cerita dirangkai sedemikian rupa untuk menyampaikan maksud pengarang dengan karyanya, meski kadang, setelah semua unsur tersebut terbangun dengan sempurna, maksud pengarang menjadi lebur dalam maksud cerita.
Cerita yang berjudul “Satu Makam Untukku” dibuka dengan kedatangan seorang lelaki ke sebuah pemakaman umum. Tidak diketahui siapakah lelaki itu, mengapa ia masuk ke pemakaman umum, dan di kota atau di manakah pemakaman umum itu berada. Hanya dituliskan: “Lelaki itu masuk saja ke tempat pemakaman umum. Langkahnya mirip pemabuk yang sangat sadar. Ditelusurinya rumput-rumput kering yang bercampur debu merah. Ditendang, ditendang, ditendang hingga mengepul sejenak, lantas menyerbu wajahnya seperti tawon yang sarangnya diganggu. Ia tidak peduli.” Membaca kalimat selanjutnya, saya memindai bahwa lelaki itu adalah gila, setidaknya menderita gangguan kejiwaan, atau dilanda kebingungan. Indikasi kegilaannya terlihat di kalimat-kalimat berikut: “Terus dan terus ia menelusuri dalam terik. Mencari-cari, tapi tak tahu pasti apa yang sedang ia cari.” Dan semakin dipertegas dalam kalimat berikut: “Ia digigit, tersengat oleh semut-semut yang ketakutan oleh gempa bumi. Tapi tak ada sakit. Rasa telah tiada, karena jiwa telah musnah.”
Namun di sisi lain, pengarang ingin menunjukkan bahwa tokoh lelaki yang diceritakannya tidak sepenuhnya gila, kalaupun gila, setidaknya lelaki itu bukanlah orang gila biasa. “Ia pun berpikir, apa yang sebaiknya ia cari? Ia mulai menentukan keinginannya. Ia menginginkan seorang yang tidak berumur. Manusia yang tidak digigit waktu, diguyur pengalaman, didera racun pemikiran”. Bagaimana bisa orang gila biasa berpikir untuk mencari nisan seseorang yang tidak berumur? Dan kenapa dia memutuskan untuk memilih nisan yang tidak berumur, belum berpengalaman hidup, dan belum didera bermacam-macam pemikiran? Salah satu kemungkinan alasannya menurut saya adalah bahwa lelaki tersebut mengalami kekecewaan dengan yang namanya waktu, pengetahuan/pengalaman, dan pemikiran. Ia kecewa dengan waktu, karena mungkin, semakin waktu berjalan ia semakin menderita, semakin berumur hidup seseorang, ternyata tidak membuat seseorang menjadi lebih baik, dewasa dan bijak, waktu demi waktu hanya menambah kekecewaan demi kekecewaan dan kegagalan demi kegagalan. Ia kecewa dengan pengetahuan/pengalaman, karena mungkin, pengetahuan/pengalaman tidak membuatnya lebih bahagia, pengetahuan/pengalamannya justru membuatnya lebih menderita. Dan ia kecewa dengan pemikiran –yang disebutnya sebagai racun- karena mungkin ia melihat –dalam rentang waktu usianya- bahwa pemikiran-pemikiran manusia di sekelilingnya tidak ada bedanya dengan racun yang menggerogoti dirinya, sampai membuatnya menjadi gila, atau ia tidak setuju dengan pemikiran-pemikiran tersebut tetapi ia tidak punya kuasa atau kekuatan untuk menandinginya.
Anehnya, ketika lelaki itu menemukan sebuah makam bayi yang tanggal kelahiran dan kematiannya sama (tidak berumur), lelaki itu berpikir “Mungkin jika ia diberikan umur, ia akan menjadi gadis yang baik dan sayang kepada orang tua”. Di sini terlihat inkonsistensi pengarang dalam menggambarkan tokohnya. Bagaimana mungkin tokoh yang sebelumnya menginginkan untuk mencari nisan yang “..tidak berumur. Manusia yang tidak digigit waktu, diguyur pengalaman, didera racun pemikiran”, setelah menemukannya kemudian berpikir jika seandainya nisan itu berumur, hanya karena ia membaca nama bayi itu “Sri Rahayu” yang menurutnya indah.
Pada paragraf: “Kenangan-kenangan tentang masa lalu pun kembali berputar. Ia ingat kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak. Tapi, karena keadaan sosial yang belum dapat menerima, akhirnya kisah cinta mereka menjadi ternoda. Noda itu sudah berusaha dicuci, tapi tetap saja meninggalkan bekas. Lantas bekas itu menjadi huru-hara yang tak kunjung padam setiap harinya. Perjuangan untuk mempertahankan pun akhirnya sirna. Hilang tanpa bekas. Mungkin Sri Rahayu tidak akan pernah membuat huru-hara.” Pengarang mulai menunjukkan mengapa lelaki itu menginginkan nisan yang tidak berumur, lebih disebabkan karena ia mengalami kekecewaan dengan kisah cinta masa lalunya. Namun, di sini terlihat ada usaha pengarang untuk menyederhanakan cerita, yang sayangnya membuat cerita menjadi sangat klise. Seperti apakah “keadaan sosial yang belum dapat menerima” kisah cinta lelaki itu. Jika pada akhirnya lelaki itu kecewa dengan “waktu”, saya pikir, permasalahannya bukan sekedar “keadaan sosial”. Akan lebih mengena jika “keadaan sosial” diceritakan lebih jauh.
Pada paragraf berikutnya juga masih terlihat penyederhanaan yang sama. “Lelaki itu pun kembali teringat dengan keluarga. Kumpulan darah dagingnya yang hidup dengan topeng dan perasaan paling suci diantara semua. Karena tidak kuat mengikuti perasaan suci yang dimiliki oleh keluarganya, akhirnya lelaki itu pergi menggelandang dan memutuskan menjadi setan saja. Menjadi kafir-kafir sekafir-kafirnya. Namun terus berdoa supaya hanya manusia saja yang mengkafirkannya, jangan Tuhan. Ia terus berharap dalam kekafirannya, Tuhan tidak mengkafirkannya. Berharap dan terus berharap.” Saya menjadi bingung. Di paragraf sebelumnya, lelaki itu teringat kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak, namun “keadaan sosial belum dapat menerima”. Jika kemudian lelaki itu teringat dengan kumpulan darah daringnya, saya mengasumsikan bahwa lelaki tersebut lebih memiliki setidaknya dua keturunan, entah dari siapa, dari kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak –yang diceritakan di paragraf sebelumnya- ataukah dengan orang lain yang tidak diceritakan. Jika “kumpulan darah daging” di sini dimaksudkan untuk merujuk kepada keluarga si lelaki, pengarang telah dengan tergesa-gesa memilih diksi. Di sini juga terlihat hubungan si lelaki dengan keluarganya, bagaimana akhirnya lelaki yang keluarganya “hidup dengan topeng dan perasaan paling suci”, memilih menjadi setan dan menjadi kafir sekafir-kafirnya. Sayangnya, pengarang tidak menunjukkan bagaimanakah pilihan tindakan yang dilakukan lelaki itu yang bisa dikatakan kafir sekafir-kafirnya, sehingga pada akhirnya semua yang dituduhkan oleh pengarang kepada lelaki itu atau kepada keluarganya menjadi mentah dan sangat memihak.
Lalu tiba-tiba hujan datang. Hujan yang menjadi-jadi, yang seakan mengerti kesedihan lelaki itu. Hujan yang meskipun telah diperintahkan untuk berhenti oleh lelaki itu, malah membalas: “Aku sudah tidak bisa berhenti! Biar. Biar saja mereka terdzalimi! Biar saja! Engkau sudah jauh dihancurkan oleh mereka! Ini adalah keadilan!“ Rupanya hujan ingin menjadi penegak keadilan bagi lelaki itu. Begitu hebatnya lelaki itu sampai-sampai hujan membelanya.
Selanjutnya pengarang menggambarkan keadaan pemakaman setelah hujan. “Mayat-mayat yang masih dikafani mengapung di permukaan air dari makam yang tenggelam. Lelaki itu takjub melihat satu persatu muncul mayat dari dalam air. Wajah mereka pucat pasi. Rautnya menggugat kenapa mereka tidak pernah dikunjungi. Mereka tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci. Mereka marah dan meminta ganti rugi.” Demi membuat kesan puitik, pengarang melupakan logika cerita. Begini, “Mayat-mayat yang masih dikafani“, saya asumsikan mayat-mayat tersebut masih baru. “Wajah mereka pucat pasi“, berarti mayat-mayat tersebut masih tampak memiliki wajah. Nah, bagaimana bisa mayat-mayat yang masih baru dan memiliki wajah tersebut “Rautnya menggugat kenapa mereka tidak pernah dikunjungi. Mereka tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci. Mereka marah dan meminta ganti rugi”?
Berapakah batasan waktu “tidak pernah dikunjungi” yang dimaksudkan pengarang? Jika mayat-mayat itu “tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci” asumsinya adalah bahwa mereka setidaknya pernah mendapat sekali kunjungan basa-basi itu. Nah, kunjungan basa-basi itu terjadinya setiap satu tahun sekali. Bisa dibayangkan bagaimana rupa mayat setelah satu tahun, apakah masih berwajah, apakah kain kafannya masih utuh? Di satu sisi, dengan usaha puitiknya pada paragraf tersebut, pengarang ingin mengkritik perilaku orang-orang yang hanya mengunjungi pemakaman setiap sebelum bulan suci, itupun dilakukan dengan basa basi.
Selanjutnya, latar peristiwa dalam cerita ini berubah, dengan media transisi berupa banjir yang menyeret tokoh utama keluar dari latar sebelumnya ke latar berikutnya, yaitu jalan –jalan raya, jalanan, jalan kota. Tokoh utama menjadi menjadi saksi peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika banjir melanda, bagaimana masing-masing orang berenang menyelamatkan diri, bagaimana ia melihat seorang pria berdasi yang terpenjara dalam mobilnya sendiri, dan ia ingin menolongnya tapi tak bisa, bagaimana ia menyaksikan seluruh kota akhirnya terendam, bagaimana ia melihat seorang perempuan yang histeris mengguncang pundak seorang Kiai, namun Kiai tersebut rupanya tidak bisa berbuat apa-apa, dan tenggelam.
Ada yang janggal di bagian ini: “Air kini sudah selutut patung pancoran”. Sedari awal, latar kota tidak disebutkan di kota mana, apakah kota yang nyata ataukah kota khayal. Hal ini membebaskan pembaca untuk membayangkan latar kota mana saja. Namun tiba-tiba, seolah kebebasan pembaca dibetot untuk meyakini bahwa latar peristiwa adalah di Jakarta, mulai dari pemakaman sampai di jalan-jalannya. Dengan kalimat tersebut, seolah pengarang juga ingin lebih meyakinkan yakin pembaca bahwa banjir yang terjadi sangat tinggi, tidak cukup hanya dengan kalimat “Seluruh kota pun telah terendam” di paragraf sebelumnya.
Terlihat bahwa pengarang ingin memasukkan unsur kritisisme sosial dalam karyanya. Orang berdasi yang terpenjara dalam mobilnya sendiri adalah sebuah perumpamaan orang-orang kaya –pengusaha, birokrat, pejabat, konglomerat- yang tidak dapat melakukan apapun dengan harta dan kekayaannya untuk menyelamatkan diri dari bencana dan kematian. Seorang perempuan yang mengguncang pundak seorang kiai adalah perumpamaan orang-orang lemah yang mencari jawaban atu bersandar pada keyakinan agama semata, dalam memandang keadilan dan bencana. Meskipun perempuan tidak selamanya berarti orang-orang lemah, namun secara tidak sadar, pengarang memposisikan perempuan sebagai kaum lemah dan teraniaya. Jika hal ini ternyata salah, lantas mengapa pengarang memilih sosok perempuan, bukannya sosok lain. Di sisi lain, pengarang juga meninggikan sosok perempuan. Dari balik kelemahannya, perempuan menyimpan kekuatan yang luar biasa dalam berpacu tangisan dengan hujan menimbulkan banjir yang lebih besar. Dan seorang kiai yang akhirnya hanya melihat ke langit dan menundukkan kepala, tenggelam adalah perumpamaan tokoh agama yang tidak bisa berkutik menghadapi bencana dan kematian.
Cerita diakhiri dengan menghilangnya sosok lelaki entah kemana, meninggalkan kota yang semakin gelap dan dipenuhi ketakutan. Narasi akhir “Mungkin juga ia tenggelam dan masuk ke dalam makam yang tersedia untuknya”. Bukanlah lelaki itu telah diseret oleh banjir keluar dari pemakaman? Bukankah tubuhnya telah berubah menjadi busa dan tidak dapat tenggelam? Lalu apa hubungan -ku dalam judul “Satu Makam Untukku” dengan “makam yang tersedia untuknya”? Agaknya, hubungan-hubungan seperti inilah yang belum terbangun dengan sempurna dalam cerita ini. Pengarang masih terjebak pada kesan puitik kalimat-kalimat yang ditulisnya sendiri, dan masih terjebak pada cerita yang ditulisnya sendiri, sehingga melupakan unsur-unsur dan logika yang membangun keutuhan sebuah cerita.
Seperti diawal telah saya katakan bahwa cerita ini tidak bagus, juga tidak terlalu buruk. Pilihan tema dan penceritaan yang tidak biasa, mungkin menjadi kelebihan cerita ini dengan ketiga cerita yang lain. Namun sayangnya, tema dan penceritaan tersebut kurang dieksplorasi lebih jauh dan lebih dalam. Hubungan satu unsur dengan unsur yang lain dalam membangun cerita rasanya masih agak timpang. Apa hubungan nama “Sugeng Bin Sabar” dan “Sri Rahayu”. Ada gerangan apakah lelaki itu masuk ke pemakaman umum, ketidakadilan semacam apakah yang telah diterima lelaki itu sampai-sampai hujan membelanya. Jikapun hujan benar-benar membelanya, lantas kenapa pada akhirnya lelaki itu diseret banjir entah kemana yang oleh narator dikatakan “Mungkin juga ia tenggelam dan masuk ke dalam makam yang tersedia untuknya.” Saya tidak akan mempermasalahkan logika waktu peristiwa, karena cerita ini berada dalam lanskap sureal dimana logika waktu menjadi tidak begitu penting.
Jika sebuah cerita diibaratkan sebuah bola, maka sebuah cerita yang bagus adalah bola yang pejal, tidak ada celah-celah atau ruang kosong di dalamnya. Dan lapisan luar bola tersebut adalah cermin, di mana pembaca bisa berkaca darinya. Cerita yang kurang tersusun sempurna bisa diibaratkan batu apung yang terdapat celah atau rongga di sana sini.
Apa yang saya sampaikan di atas tidak mutlak kebenarannya. Saya hanya menuliskannya berdasarkan temuan atau bacaan saya atas cerita “Satu Makam Untukku” didasari oleh pengetahuan saya yang masih terbatas. Bisa jadi pembaca lain menemukan hal lain yang jauh lebih dalam dan lebih banyak dari yang saya temukan.
Terima kasih. Mari Berkarya!!
Pekalongan, 11 Januari 2008
Dari keempat prosa yang saya terima di email saya, terus terang keempatnya kurang membuat saya terkesan dan tidak membuat saya ingin mempertahankan keunggulan cerita andaikata ada yang menilai bahwa cerita-cerita tersebut tidak bagus. Baik atau buruk keempat cerita tersebut, jika ada yang menilainya, saya akan mengamini keduanya.
Namun tetap, saya harus memilih setidaknya satu untuk dijadikan bahan perkosaan. Saya memilih cerita berjudul “Satu Makam Untukku”, bukan karena cerita ini lebih unggul daripada cerita yang lain. Pilihan lebih disebabkan karena cerita ini mengambil lanskap surealis, berbeda dengan ketiga cerita lain yang mengambil lanskap realis. Kisah-kisah surreal sangat menarik perhatian saya, terutama yang bertema kematian, kegilaan dan penderitaan.
Dalam lanskap surreal, segala bentuk latar, peristiwa dan unsur-unsur pembangun cerita dirangkai sedemikian rupa untuk menyampaikan maksud pengarang dengan karyanya, meski kadang, setelah semua unsur tersebut terbangun dengan sempurna, maksud pengarang menjadi lebur dalam maksud cerita.
Cerita yang berjudul “Satu Makam Untukku” dibuka dengan kedatangan seorang lelaki ke sebuah pemakaman umum. Tidak diketahui siapakah lelaki itu, mengapa ia masuk ke pemakaman umum, dan di kota atau di manakah pemakaman umum itu berada. Hanya dituliskan: “Lelaki itu masuk saja ke tempat pemakaman umum. Langkahnya mirip pemabuk yang sangat sadar. Ditelusurinya rumput-rumput kering yang bercampur debu merah. Ditendang, ditendang, ditendang hingga mengepul sejenak, lantas menyerbu wajahnya seperti tawon yang sarangnya diganggu. Ia tidak peduli.” Membaca kalimat selanjutnya, saya memindai bahwa lelaki itu adalah gila, setidaknya menderita gangguan kejiwaan, atau dilanda kebingungan. Indikasi kegilaannya terlihat di kalimat-kalimat berikut: “Terus dan terus ia menelusuri dalam terik. Mencari-cari, tapi tak tahu pasti apa yang sedang ia cari.” Dan semakin dipertegas dalam kalimat berikut: “Ia digigit, tersengat oleh semut-semut yang ketakutan oleh gempa bumi. Tapi tak ada sakit. Rasa telah tiada, karena jiwa telah musnah.”
Namun di sisi lain, pengarang ingin menunjukkan bahwa tokoh lelaki yang diceritakannya tidak sepenuhnya gila, kalaupun gila, setidaknya lelaki itu bukanlah orang gila biasa. “Ia pun berpikir, apa yang sebaiknya ia cari? Ia mulai menentukan keinginannya. Ia menginginkan seorang yang tidak berumur. Manusia yang tidak digigit waktu, diguyur pengalaman, didera racun pemikiran”. Bagaimana bisa orang gila biasa berpikir untuk mencari nisan seseorang yang tidak berumur? Dan kenapa dia memutuskan untuk memilih nisan yang tidak berumur, belum berpengalaman hidup, dan belum didera bermacam-macam pemikiran? Salah satu kemungkinan alasannya menurut saya adalah bahwa lelaki tersebut mengalami kekecewaan dengan yang namanya waktu, pengetahuan/pengalaman, dan pemikiran. Ia kecewa dengan waktu, karena mungkin, semakin waktu berjalan ia semakin menderita, semakin berumur hidup seseorang, ternyata tidak membuat seseorang menjadi lebih baik, dewasa dan bijak, waktu demi waktu hanya menambah kekecewaan demi kekecewaan dan kegagalan demi kegagalan. Ia kecewa dengan pengetahuan/pengalaman, karena mungkin, pengetahuan/pengalaman tidak membuatnya lebih bahagia, pengetahuan/pengalamannya justru membuatnya lebih menderita. Dan ia kecewa dengan pemikiran –yang disebutnya sebagai racun- karena mungkin ia melihat –dalam rentang waktu usianya- bahwa pemikiran-pemikiran manusia di sekelilingnya tidak ada bedanya dengan racun yang menggerogoti dirinya, sampai membuatnya menjadi gila, atau ia tidak setuju dengan pemikiran-pemikiran tersebut tetapi ia tidak punya kuasa atau kekuatan untuk menandinginya.
Anehnya, ketika lelaki itu menemukan sebuah makam bayi yang tanggal kelahiran dan kematiannya sama (tidak berumur), lelaki itu berpikir “Mungkin jika ia diberikan umur, ia akan menjadi gadis yang baik dan sayang kepada orang tua”. Di sini terlihat inkonsistensi pengarang dalam menggambarkan tokohnya. Bagaimana mungkin tokoh yang sebelumnya menginginkan untuk mencari nisan yang “..tidak berumur. Manusia yang tidak digigit waktu, diguyur pengalaman, didera racun pemikiran”, setelah menemukannya kemudian berpikir jika seandainya nisan itu berumur, hanya karena ia membaca nama bayi itu “Sri Rahayu” yang menurutnya indah.
Pada paragraf: “Kenangan-kenangan tentang masa lalu pun kembali berputar. Ia ingat kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak. Tapi, karena keadaan sosial yang belum dapat menerima, akhirnya kisah cinta mereka menjadi ternoda. Noda itu sudah berusaha dicuci, tapi tetap saja meninggalkan bekas. Lantas bekas itu menjadi huru-hara yang tak kunjung padam setiap harinya. Perjuangan untuk mempertahankan pun akhirnya sirna. Hilang tanpa bekas. Mungkin Sri Rahayu tidak akan pernah membuat huru-hara.” Pengarang mulai menunjukkan mengapa lelaki itu menginginkan nisan yang tidak berumur, lebih disebabkan karena ia mengalami kekecewaan dengan kisah cinta masa lalunya. Namun, di sini terlihat ada usaha pengarang untuk menyederhanakan cerita, yang sayangnya membuat cerita menjadi sangat klise. Seperti apakah “keadaan sosial yang belum dapat menerima” kisah cinta lelaki itu. Jika pada akhirnya lelaki itu kecewa dengan “waktu”, saya pikir, permasalahannya bukan sekedar “keadaan sosial”. Akan lebih mengena jika “keadaan sosial” diceritakan lebih jauh.
Pada paragraf berikutnya juga masih terlihat penyederhanaan yang sama. “Lelaki itu pun kembali teringat dengan keluarga. Kumpulan darah dagingnya yang hidup dengan topeng dan perasaan paling suci diantara semua. Karena tidak kuat mengikuti perasaan suci yang dimiliki oleh keluarganya, akhirnya lelaki itu pergi menggelandang dan memutuskan menjadi setan saja. Menjadi kafir-kafir sekafir-kafirnya. Namun terus berdoa supaya hanya manusia saja yang mengkafirkannya, jangan Tuhan. Ia terus berharap dalam kekafirannya, Tuhan tidak mengkafirkannya. Berharap dan terus berharap.” Saya menjadi bingung. Di paragraf sebelumnya, lelaki itu teringat kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak, namun “keadaan sosial belum dapat menerima”. Jika kemudian lelaki itu teringat dengan kumpulan darah daringnya, saya mengasumsikan bahwa lelaki tersebut lebih memiliki setidaknya dua keturunan, entah dari siapa, dari kekasihnya yang ingin menikah dan punya anak –yang diceritakan di paragraf sebelumnya- ataukah dengan orang lain yang tidak diceritakan. Jika “kumpulan darah daging” di sini dimaksudkan untuk merujuk kepada keluarga si lelaki, pengarang telah dengan tergesa-gesa memilih diksi. Di sini juga terlihat hubungan si lelaki dengan keluarganya, bagaimana akhirnya lelaki yang keluarganya “hidup dengan topeng dan perasaan paling suci”, memilih menjadi setan dan menjadi kafir sekafir-kafirnya. Sayangnya, pengarang tidak menunjukkan bagaimanakah pilihan tindakan yang dilakukan lelaki itu yang bisa dikatakan kafir sekafir-kafirnya, sehingga pada akhirnya semua yang dituduhkan oleh pengarang kepada lelaki itu atau kepada keluarganya menjadi mentah dan sangat memihak.
Lalu tiba-tiba hujan datang. Hujan yang menjadi-jadi, yang seakan mengerti kesedihan lelaki itu. Hujan yang meskipun telah diperintahkan untuk berhenti oleh lelaki itu, malah membalas: “Aku sudah tidak bisa berhenti! Biar. Biar saja mereka terdzalimi! Biar saja! Engkau sudah jauh dihancurkan oleh mereka! Ini adalah keadilan!“ Rupanya hujan ingin menjadi penegak keadilan bagi lelaki itu. Begitu hebatnya lelaki itu sampai-sampai hujan membelanya.
Selanjutnya pengarang menggambarkan keadaan pemakaman setelah hujan. “Mayat-mayat yang masih dikafani mengapung di permukaan air dari makam yang tenggelam. Lelaki itu takjub melihat satu persatu muncul mayat dari dalam air. Wajah mereka pucat pasi. Rautnya menggugat kenapa mereka tidak pernah dikunjungi. Mereka tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci. Mereka marah dan meminta ganti rugi.” Demi membuat kesan puitik, pengarang melupakan logika cerita. Begini, “Mayat-mayat yang masih dikafani“, saya asumsikan mayat-mayat tersebut masih baru. “Wajah mereka pucat pasi“, berarti mayat-mayat tersebut masih tampak memiliki wajah. Nah, bagaimana bisa mayat-mayat yang masih baru dan memiliki wajah tersebut “Rautnya menggugat kenapa mereka tidak pernah dikunjungi. Mereka tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci. Mereka marah dan meminta ganti rugi”?
Berapakah batasan waktu “tidak pernah dikunjungi” yang dimaksudkan pengarang? Jika mayat-mayat itu “tidak butuh kunjungan basa-basi di sebelum bulan suci” asumsinya adalah bahwa mereka setidaknya pernah mendapat sekali kunjungan basa-basi itu. Nah, kunjungan basa-basi itu terjadinya setiap satu tahun sekali. Bisa dibayangkan bagaimana rupa mayat setelah satu tahun, apakah masih berwajah, apakah kain kafannya masih utuh? Di satu sisi, dengan usaha puitiknya pada paragraf tersebut, pengarang ingin mengkritik perilaku orang-orang yang hanya mengunjungi pemakaman setiap sebelum bulan suci, itupun dilakukan dengan basa basi.
Selanjutnya, latar peristiwa dalam cerita ini berubah, dengan media transisi berupa banjir yang menyeret tokoh utama keluar dari latar sebelumnya ke latar berikutnya, yaitu jalan –jalan raya, jalanan, jalan kota. Tokoh utama menjadi menjadi saksi peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika banjir melanda, bagaimana masing-masing orang berenang menyelamatkan diri, bagaimana ia melihat seorang pria berdasi yang terpenjara dalam mobilnya sendiri, dan ia ingin menolongnya tapi tak bisa, bagaimana ia menyaksikan seluruh kota akhirnya terendam, bagaimana ia melihat seorang perempuan yang histeris mengguncang pundak seorang Kiai, namun Kiai tersebut rupanya tidak bisa berbuat apa-apa, dan tenggelam.
Ada yang janggal di bagian ini: “Air kini sudah selutut patung pancoran”. Sedari awal, latar kota tidak disebutkan di kota mana, apakah kota yang nyata ataukah kota khayal. Hal ini membebaskan pembaca untuk membayangkan latar kota mana saja. Namun tiba-tiba, seolah kebebasan pembaca dibetot untuk meyakini bahwa latar peristiwa adalah di Jakarta, mulai dari pemakaman sampai di jalan-jalannya. Dengan kalimat tersebut, seolah pengarang juga ingin lebih meyakinkan yakin pembaca bahwa banjir yang terjadi sangat tinggi, tidak cukup hanya dengan kalimat “Seluruh kota pun telah terendam” di paragraf sebelumnya.
Terlihat bahwa pengarang ingin memasukkan unsur kritisisme sosial dalam karyanya. Orang berdasi yang terpenjara dalam mobilnya sendiri adalah sebuah perumpamaan orang-orang kaya –pengusaha, birokrat, pejabat, konglomerat- yang tidak dapat melakukan apapun dengan harta dan kekayaannya untuk menyelamatkan diri dari bencana dan kematian. Seorang perempuan yang mengguncang pundak seorang kiai adalah perumpamaan orang-orang lemah yang mencari jawaban atu bersandar pada keyakinan agama semata, dalam memandang keadilan dan bencana. Meskipun perempuan tidak selamanya berarti orang-orang lemah, namun secara tidak sadar, pengarang memposisikan perempuan sebagai kaum lemah dan teraniaya. Jika hal ini ternyata salah, lantas mengapa pengarang memilih sosok perempuan, bukannya sosok lain. Di sisi lain, pengarang juga meninggikan sosok perempuan. Dari balik kelemahannya, perempuan menyimpan kekuatan yang luar biasa dalam berpacu tangisan dengan hujan menimbulkan banjir yang lebih besar. Dan seorang kiai yang akhirnya hanya melihat ke langit dan menundukkan kepala, tenggelam adalah perumpamaan tokoh agama yang tidak bisa berkutik menghadapi bencana dan kematian.
Cerita diakhiri dengan menghilangnya sosok lelaki entah kemana, meninggalkan kota yang semakin gelap dan dipenuhi ketakutan. Narasi akhir “Mungkin juga ia tenggelam dan masuk ke dalam makam yang tersedia untuknya”. Bukanlah lelaki itu telah diseret oleh banjir keluar dari pemakaman? Bukankah tubuhnya telah berubah menjadi busa dan tidak dapat tenggelam? Lalu apa hubungan -ku dalam judul “Satu Makam Untukku” dengan “makam yang tersedia untuknya”? Agaknya, hubungan-hubungan seperti inilah yang belum terbangun dengan sempurna dalam cerita ini. Pengarang masih terjebak pada kesan puitik kalimat-kalimat yang ditulisnya sendiri, dan masih terjebak pada cerita yang ditulisnya sendiri, sehingga melupakan unsur-unsur dan logika yang membangun keutuhan sebuah cerita.
Seperti diawal telah saya katakan bahwa cerita ini tidak bagus, juga tidak terlalu buruk. Pilihan tema dan penceritaan yang tidak biasa, mungkin menjadi kelebihan cerita ini dengan ketiga cerita yang lain. Namun sayangnya, tema dan penceritaan tersebut kurang dieksplorasi lebih jauh dan lebih dalam. Hubungan satu unsur dengan unsur yang lain dalam membangun cerita rasanya masih agak timpang. Apa hubungan nama “Sugeng Bin Sabar” dan “Sri Rahayu”. Ada gerangan apakah lelaki itu masuk ke pemakaman umum, ketidakadilan semacam apakah yang telah diterima lelaki itu sampai-sampai hujan membelanya. Jikapun hujan benar-benar membelanya, lantas kenapa pada akhirnya lelaki itu diseret banjir entah kemana yang oleh narator dikatakan “Mungkin juga ia tenggelam dan masuk ke dalam makam yang tersedia untuknya.” Saya tidak akan mempermasalahkan logika waktu peristiwa, karena cerita ini berada dalam lanskap sureal dimana logika waktu menjadi tidak begitu penting.
Jika sebuah cerita diibaratkan sebuah bola, maka sebuah cerita yang bagus adalah bola yang pejal, tidak ada celah-celah atau ruang kosong di dalamnya. Dan lapisan luar bola tersebut adalah cermin, di mana pembaca bisa berkaca darinya. Cerita yang kurang tersusun sempurna bisa diibaratkan batu apung yang terdapat celah atau rongga di sana sini.
Apa yang saya sampaikan di atas tidak mutlak kebenarannya. Saya hanya menuliskannya berdasarkan temuan atau bacaan saya atas cerita “Satu Makam Untukku” didasari oleh pengetahuan saya yang masih terbatas. Bisa jadi pembaca lain menemukan hal lain yang jauh lebih dalam dan lebih banyak dari yang saya temukan.
Terima kasih. Mari Berkarya!!
Pekalongan, 11 Januari 2008