Cinta yang melahirkan jejak

Tuesday, November 20, 2007 | Labels: , | 0 comments |

Oleh Zabidi Ibnoe Say

Monet oleh miss worm

Secara keseluruhan sebagai sebuah karya prosa, Monet cukup menarik, menyentuh juga menggelitik. Pembacapun langsung dibawa dalam diskripsi ruang sebuah galery Tate Modern di Thames, London. Cerita kemudian bergulir dari lantai satu ke lantai berikutnya, dari ruang pamer satu ke ruang pamer lainnya, seiring dengan dialog dua tokohnya. Kedua tokohnyapun tak bernama hanya memakai kata aku (orang pertama) dan Kau/kamu (orang kedua).

Meski kita tak menemukan perangkat atau idiom yang berhubungan langsung dengan maut, misalnya percikan darah, wajah kebiruan, rintihan, jeritan, yang secara jelas menggambarkan maut. Membaca “Monet” tetap menorehkan kesan sebuah drama tragedi percintaan, yaitu kematian salah satu tokohnya.

Disini kematian seakan ingin didiskripsikan secara wajar, manusiawi namun tetap indah. Bahwa setiap manusia ingin meninggalkan jejak dalam hidupnya. Nah, seberapa kuat hal itu dapat ditangkap oleh pikiran dan perasaan pembaca, semuanya tergantung bagaimana seorang penulis menyajikannya. Tema yang lekat dengan diksi (pilihan kata yang selaras dan seimbang) dan metafora serta simbol-simbol lainnya. Maka diharapkan bangunan cerita akan menjadi kokoh, utuh, padat dan berjiwa.

Akhirnya, sejauh mana pencapaian itu diperoleh, saya serahkan kepada pembaca untuk masuk dan menyelaminya sendiri. Selamat menikmati.

Salam sastra

Read More...

Ngobrol tentang Eskapisme

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Isman H. Suryaman

Eskapisme oleh Dadun

Saya sengaja memilih dua karya yang menggunakan sudut pandang serupa; tokoh “aku” yang menceritakan “kamu”: “Monet” dan “Eskapisme”. Berbicara mengenai keduanya akan menarik. Pertama, karena kedua cerita ini bercakap-cakap tentang cinta. Lantas, keduanya sama-sama ditulis dengan baik. Dan terakhir, unik. Karena kita bisa membedakan suara keduanya.

“Monet” membalur kepingan cerita, kenangan, dan emosi. Semua ia taburkan di latar yang hidup, walau sedikit terlalu sempurna (setidaknya, bagi saya). Sementara “Eskapisme” justru menihilkan latar. Bagi penulis, latar cukuplah tindakan dan waktu. Penceritaan yang sarat monolog juga mencerminkan pola pikir teknis sang “aku” yang merupakan mahasiswa.


Dengan rupa dan suara masing-masing, kedua cerita ini sudah layak jual—pada sasaran pembaca yang berbeda. Monet akan memikat para pembaca yang menggemari cerita romantis, terbalur dalam rangkaian yang manis. Eskapisme justru lebih mengena pada pembaca yang kontemplatif. Mereka yang mencari romantisasi justru akan tertipu. Karena walaupun nuansa itu seakan-akan ditawarkan di sini, yang muncul adalah desakan untuk merenung. Membaca ulang. Tidak ada romansa yang muncul akibat rasio. Yang ada adalah justifikasi. Atau pengenalan diri melalui cermin orang lain.

Sebelum memberi masukan, perlu saya ungkapkan bahwa saya lebih suka cerita ketimbang monolog. Mungkin saja akan ada beberapa masukan yang tidak cocok karena preferensi tersebut.

Pertama-tama, saya pribadi tidak suka konsep bahwa mencintai sesama jenis adalah pelarian dari kekecewaan akibat kegagalan menguntai kasih dengan lawan jenis. Menurut saya, ini konsep yang menyudutkan homoseksualitas secara superfisial. Memang, bisa jadi pengarang memaksudkan ini sebagai sekadar justifikasi sang “aku” yang sedang kebingungan dengan preferensi seksualnya. Namun, kalau gitu, seharusnya landasan temanya adalah “justifikasi”, alih-alih “eskapisme” (sebagaimana disuratkan oleh judul).

Kedua, penggunaan analogi dan istilah teknik dalam monolog memang menggambarkan pola pikir karakter dengan jelas. Namun—inilah kekurangannya monolog di cerita ini—hanya bergerak di satu dimensi itu saja. Saya tidak bisa memiliki gambaran jelas akan tokoh-tokoh di sini. Kasarnya, tidak ada yang bisa meyakinkan saya bahwa ini bukanlah memoar—bukan sang penulis sendiri yang bercerita.

Hal ketiga juga merupakan preferensi pribadi: pertanyaan di awal cerita tidak berhasil memancing minat baca. Pertanyaan itu sudah sering sekali ditanyakan dalam berbagai bentuk dan nada. Jika ada kompetisi kalimat pembuka terbaik, cerita ini jelas tidak akan masuk peringkat sepuluh terbesar. Dan ini membawa ke…

Masukan keempat: berbeda dengan “Monet” yang menguntai beragam emosi, “Eskapisme” lebih monoton. Jika “Monet” adalah wahana Halilintar dalam Dunia Fantasi, “Eskapisme” adalah Istana Boneka. Karena itu, penting sekali untuk mewarnai kontemplasi dengan sesuatu yang segar. Bukan baru. Segar. Dan bentuk kesegaran ini bukan hanya dalam penggunaan kata maupun analogi teknik. Melainkan dalam pola pikir itu sendiri. Kagetkanlah pembaca. Gelitikilah tulang belakang mereka. Buatlah bibir mereka membuka dan berkata, “Iya juga, ya?” Doronglah mereka untuk memperluas interpretasi mereka akan cinta. Bukan hanya merangkul definisi-definisi lama.

Akhir kata, ini sekadar pendapat saya. Bisa salah dan bisa berbeda.

Terus berkarya dan menggelitik pikiran pembaca!

--isman

Read More...

Yang Kilat, Meski Memberat

Monday, November 19, 2007 | Labels: , | 2 comments |

Oleh Wawan Eko Yulianto

Eskapisme oleh Dadun

Well, well, well, eskapisme. Sebagai fiksi kilat, Eskapisme telah berhasil mengakhiri kisahnya secara mengejutkan tidak dengan peristiwa dahsyat atau aneh, tapi dengan menunjukkan satu fakta yang sejak awal telah ditahan penulisnya agak tidak sampai keceplosan.

Betatapun Mbak/Mas penulisnya berhati-hati menyimpan satu fakta (adanya ketertarikan homowi) untuk baris-baris terakhir, dia tidak lupa memberikan ancang-ancang ke depan (yang orang Inggris menyebutnya 'foreshadowing', maaf ya agak sok tahu, :D) dengan menyinggung tentang pengalaman pahit si "kamu" ditinggalkan ceweknya. Ancang-ancang ke depan macam ini berhasil mencegah pengkritik bilang "wah, endingnya terlalu dibuat-buat nih, dibuat mengagetkan!"


Eskapisme dipenuhi (tapi tidak seluruhnya) kalimat-kalimat yang membutuhkan "pembacaan" lebih dalam. Yah, bisa dibilang, pada beberapa bagian, kita tidak bisa membacanya begitu saja seperti membaca fiksi standar. Tapi, ada kalanya kita harus menurunkan kecepatan baca kita untuk menikmati kalimat-kalimat tertentu (yah, dengan kecepatan semacam membaca puisi lah): 1) "Kegagalan demi kegagalan yang membunuh jerih payah hingga setiap detiknya mesti lekat dengan sakramen pemulasaraan", 2) "sepasang mata yang memajang wajah saya" (asyik kan, ketimbang kalimat "melihatku dari ujung kaki hingga ujung rambut", :D, saya sangat tergelitik sama klausa ini), 3) permainan kata 'biasa' yang tidak biasa dalam "Kamu telah berubah dari seseorang yang biasa-biasa saja menjadi seseorang yang membuat saya serba tak biasa dalam segala hal yang semula saya anggap biasa. Saya pun merasa telah menjadi seseorang yang 'tidak biasa' karena menganggap kamu luar biasa", 4) "Seperti tentang episode kebetulan yang masih tumpang tindih dengan unsur perencanaan", 5) "Seolah memerahkan makna bahwa kita tengah benar-benar jatuh cinta", 6) dll. Saya merasa penulis selalu ingin mengungkapkan sesuatu dengan berbeda (dan dalam, :D).

Bagaimanapun, ada juga saatnya Mbak/Mas penulis tergelincir ke dalam klise: 1) "satu detik bersama kamu terasa jauh lebih berarti dari kebersamaan berjam-jam dengan mereka", 2) "saya mulai tak biasa jika tidak duduk di sebelah kamu. Tak biasa jika tidak menelepon dan meng-SMS kamu. Tak biasa jika sehari saja tidak melihat kamu" (maaf, menurut saya mendiang Alda sudah memegang hak cipta atas ungkapan-ungkapan macam ini, :D dan karenanya ungkapan ini menjadi klise).

Mungkin, ada satu hal yang menciptakan kekurangasyikan di pihak saya, yakni kemunculan kata sinusoluida secara sekonyong-konyong. Well, well, well, menurut saya, kemunculan hal-hal yang kurang relevan terhadap keutuhan cerita harus diminimalisir, apalagi untuk fiksi kilat. Bukannya berdosa mengatakan kata-kata ilmiah macam 'sinusoluida' dalam fiksi. Bukan! Hanya saja kenapa tiba-tiba yang muncul kata itu. Saya sangat bisa memaklumi kalau saja si aku narasi adalah mahasiswa jurusan matematika yang isi kepalanya sedikit-sedikit dipenuhi apa yang dia pelajari dari kuliah. Tapi sayang, di sini sama sekali tidak disebutkan begitu. Dan lagi, tidak ada lagi kata-kata lain semacam itu yang semestinya bisa mengimplikasikan bahwa dia adalah mahasiswa matematika yang sangat tahu, dan pikirannya dipenuhi, hal-hal semacam sinusoluida dan teman-temannya. Sebagai misal, wajar sekali jika dalam "Ksatria, Putih, Bintang Jatuh" si aku narasi banyak menggunakan istilah fisika modern (bifurkasi dll.), lha wong dia memang mahasiswa jurusan itu (seringat saya begitu, maaf, belum sempat buka lagi bukunya, :), mohon dikonfirmasi sendiri kebenaran ucapan saya ini).

Menurut saya, idealnya fiksi kilat adalah sebuah cerita yang sekali dibaca (boleh dengan cepat boleh dengan kalem-kalem, seperti kita membaca Eskapisme ini) langsung membuat pembaca tersambar kilat pada kalimat terakhirnya (lebih jauh tentang ini bisa baca tulisannya Hasif Amini di Jurnal Prosa 1 yang membahas Fiksi Mikro). Dan Eskapisme lumayan berhasil di sini, kecuali adanya kata sinusoluida yang membuat saya harus berhenti sejenak untuk mencari catatan kaki (dan pada akhirnya membuat saya agak lupa dengan cerita). Yah, saya lebih senang baca tulisan tanpa catatan kaki, karena saya merasa lebih bisa tenggelam dalam cerita macam itu (John Gardner bilang bahwa "esensi sebuah cerita adalah mimpi yang menghanyutkan pembaca ke dalamnya", dan bagi saya catatan kaki dalam cerita adalah serupa gigitan nyamuk yang membuat saya tidak nyenyak tidur, apalagi bermimpi, :D).

Begitu dulu ya, Mbak/Mas. Terima atas keasyikan yang telah diberikan. Sori ya, kepanjangen (masak ya komentar sama panjangnya dengan yang dikomentari, hehehe...).

N.B. kutipan dari film Never Ever: "Kita tidak pernah bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta" (halah, di film tersebut kalimat ini dipakai apologi sama orang yang konangan selingkuh, hehehe...).

Read More...

[Profil] Wawan Eko Yulianto

| Labels: | 1 comments |

Lulusan sastra Inggris dari Universitas Negeri Malang ini telah menulis sejumlah cerita pendek, resensi, menerjemahkan tiga novel James Joyce, dan sejumlah novel lain. Bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa penerbit, seperti GPU, Jalasutra, Ufuk Press dan Banana Publisher.


Aktif di Bengkel ImaJINASI dan OPUS 275. Beberapa tulisannya bisa ditilik dalam blog pribadinya, http://berbagi-mimpi.blogspot.com.

Read More...