Mangga muda problem lama

Monday, January 28, 2008 | Labels: , | 0 comments |

Oleh Mikael Johani

Mangga muda oleh ghe

Sebelum mulai bicara tentang puisi ‘Mangga muda’ (ya, m yang kedua memang kecil, penulisnya Francophile ya?) ini saya ingin ngomong sebentar tentang proses review buat kemudian.com ini. Mungkin semua orang sudah tahu juga, saya diberi pilihan beberapa tulisan untuk direview tanpa pernah tahu nama atau siapa penulisnya. Alasannya jelas tentu—paling tidak ini asumsi saya—untuk mencegah kongkalikong, mencegah reviewer seperti saya menulis review penuh gula-gula untuk penulis yang manis dan kebetulan adik pacar saya. Tapi kemudian saya pikir, ini kan bukan lomba? Lagian, saya justru merasa perlu tahu latar belakang seorang penulis, bukan hanya namanya saja, kalau bisa saya ingin tahu buku apa saja yang dia baca waktu tumbuh dewasa, di kota mana dia dibesarkan, (dalam konteks Indonesia bhinneka tunggal ika ini) suku dia apa. dia suka mendengarkan musik apa, heroes atau csi, etc. etc.

Seperti di review saya yang kemarin tentang tiga cerpen berbahasa Inggris yang ternyata ditulis oleh satu orang itu (saya cuma berani menebak waktu itu dua dari tiga cerita itu ditulis oleh orang yang sama) saya ingin juga tahu apakah dia benar-benar pernah tinggal di London atau dia hanya mengkhayalkannya saja dengan bahan-bahan yang pastinya banyak dia dapatkan waktu dia tinggal di Brisbane. Atau malah sebaliknya? Kelihatannya sih tidak. Atau dia mengkhayal tentang semua tempat itu dan selama ini dia tinggal di Tebet (ala Ratih Kumala dan Tabula Rasa-nya)? Buat saya hal-hal seperti ini bukan hanya menarik tapi juga penting, karena misalnya saja waktu itu saya sempat bertanya kok dia bisa-bisanya bilang London humid di bulan November? Nah, kalau misalnya dia hanya pernah tinggal di Australia dan hanya pernah transit di Heathrow tiga jam sebelum terus ke Stockholm saya jadi bisa tahu pastinya itu dia lakukan karena dia mencampurkan waktu musim panas Australia yang berada di belahan bumi selatan dengan London di bumi utara. Saya jadi tahu dia cuma perlu merevisi pelajaran geografi SMU-nya saja. Tapi kalau misalnya ternyata dia pernah belajar seni patung di St. Martins College setelah capek belajar Masters ekonomi di Brisbane saya jadi bisa bilang mungkin dia lagi mencampuradukkan memori historisnya. Dan kalau dia ternyata masih sekolah di SMU 26, yah, spekulasi sendiri saja kira-kira kesimpulan macam apa yang bisa kita tarik tentang cerita-cerita itu.

Menurut saya ini masalah yang penting, karena di Indonesia kelihatannya kritikus sastra suka malas atau tidak bersedia menyambungkan tulisan dengan dunia penulisnya. Semacam hangover dari New Criticism saya yakin mereka juga tidak pernah benar-benar mengerti juga. Seperti misalnya kata pengantar Nirwan Dewanto di buku ‘Ripin: Cerpen Kompas PIlihan 2005-2006’. Di situ dia sama sekali tidak pernah benar-benar membahas di cerita ‘Ripin’ karya Ugoran Prasad yang ia anggap cerita terbaik di Kompas selama periode 2005-2006 itu siapa itu si Ripin, apa yang terjadi dengannya (bapaknya mati ditembak Petrus—ini twist-nya haha sori ya spoiler haters), kenapa Ugoran memilih masalah Petrus ini untuk cerpennya, apa masih menarik menulis tentang Petrus, etc. etc. Hal-hal yang menurut saya lebih menarik tentang ini daripada misalnya, ‘[dalam Ripin] kita sampai pada paradoks yang menggetarkan: antara kokohnya alur dengan hasrat para tokoh untuk keluar dari tindasan, antara keasyikan sudut pandang dengan kekasaran latar cerita, antara mustahaknya tutup cerita dengan ketidakpastian nasib Ripin si tokoh utama.’ (Nirwan Dewanto dalam ‘Ripin etc.’ hlm. xxvi.) Tindasan macam apa? Dari siapa? Kenapa ada di situ? Kekasaran macam apa? Siapa? Kenapa ada di situ? Apakah penting, menarik, membosankan, biasa-biasa saja semua itu ada di situ? Dan, apa arti mustahak? ;)

Buat saya kritik macam di atas, yang kelihatannya menganggap hanya arsitektur sebuah tulisan saja yang penting (semacam versi Taliban New Criticism), sama saja dengan bilang foie gras itu mak nyusss tapi tak pernah bilang (karena memang tak tahu karena memang tak mau tahu!) makanan itu terbuat dari apa.

Mungkin semua ini kedengaran terlalu panjang tapi pun sudah langsung relevan begitu kita membaca judul sajak kita kali ini ini: ‘Mangga muda.’ Karena saya orang Indonesia atau paling tidak orang Jawa, membaca judul ini langsung terbayang di kepala saya berbagai macam bayangan tentang mangga muda: dicocol campuran garam dan cabe enak, makanan perempuan lagi ngidam, tergantung musim ada atau tidaknya di pasar (paling tidak dulu sebelum globalisasi mangga karbitan melanda Total). Dan begitu membaca baris pertama sajak ini, nah benar kan saya. Sekarang bayangkan misalnya saya seorang wannabe Indonesianis asal Alaska yang belum dapat-dapat juga beasiswa pertukaran pelajar ke UGM tapi saya nekat menulis review tentang sajak ini dan karena saya memang tidak tahu dan malas bertanya pada supervisor saya, saya tidak pernah mempertimbangkan semua imej kultural spesifik tentang mangga muda ini dan hanya sibuk menyatakan betapa pengulangan dua kata mangga muda ini menghipnotis seperti mantra (ini memang benar, tapi), apakah patut kritik saya dibilang kritik yang lengkap? Apakah patut tulisan saya itu disebut kritik karena saya sebenarnya belum memeriksa semua kemungkinan pembacaan sajak ini? Apakah patut saya disebut seorang kritikus?

Sudah jelas kalau tulisan seorang kritikus akan dipengaruhi oleh latar belakangnya, apakah tidak lucu kalau kemudian kritikus itu sok-sok menganggap tulisan yang dikiritiknya tidak ada hubungannya dengan latar belakang penulisnya? Penulis sudah mati? Ya, kau yang membunuhnya Kritikus Sialan!

Kembali ke sajak kita (sebelum saya membunuhnya juga dengan melupakannya sama sekali), sajak ini adalah sajak yang naratif. Banyak sajak tentu yang sebenarnya memang prosa yang ditulis dalam baris-baris sehingga kelihatannya seperti puisi. Baca banyak sajak Billy Collins misalnya, atau Hasan Aspahani. Memang tantangan membuat puisi mungkin itu (paling tidak puisi lirik), bagaimana menggubah lirisisme yang kita rasakan, semacam aku melihat matamu dan di matamu ada aku, dalam kata-kata yang tidak sekedar menceritakan itulah yang terjadi tapi dalam puisi (apa pun itu kek) yang bisa membangkitkan rasa itu lagi untuk pembacanya setiap kali ia membacanya. Jadi misalnya, kalau saya tulis saja, ‘di matamu ada aku’, pembaca akan membacanya, mungkin bisa mengerti apa yang saya maksud, tapi (selain berpikir duh menye-klise banget sih) setelah itu ya sudah, kalimat (tak layak dibilang baris) ini bisa dibuang saja, sudah selesai tugasnya, dia hanya menceritakan apa yang terjadi, suatu saat, mungkin di tepi sebuah danau dengan kabut yang mengambang di atas permukaannya yang (tentu saja) tenang, ‘di matamu ada aku.’

Literature is news that STAYS news (Ezra Pound, ‘ABC of Reading’, hlm. 29). Saya suka nggak yakin juga macam apa news yang akan STAY news itu. Tapi biasanya sih kita tahu begitu kita melihatnya. Misalnya saja (ini saya pilih random dari rak buku saya), 'both of us hapless outcasts at the farther end of the sky; meeting like this, why must we be old friends to understand one another?' (Po Chü-i, ‘Song of the Lute’ dalam Burton Watson (penerjemah), ‘The Columbia Book of Chinese Poetry’, hlm. 252.) Bisa saja hal itu benar-benar terjadi, two hapless outcasts meeting at the farther end of the sky and feeling like they’re best friends already, tapi satu hal saja, setelah membaca ini anda ingin membacanya lagi bukan, dan lagi, dan lagi. Tanpa harus menganalisa bagaimana Po Chü-i melakukannya, dua baris itu tidak seperti kalimat gubahan saya di atas atau sekolom berita di Kompas, kita tidak akan merasa cukup hanya mengingat apa yang diberitakan oleh baris-baris itu, kita akan ingin membacanya dan lagi dan lagi, seakan-akan kata-katanya jadi lebih penting daripada apa yang diberitakannya. Ya, seakan-akan dua baris itu adalah news that STAYS news.

Nah, sajak ‘Mangga muda’ ini di banyak tempat terasa seperti cerita yang bisa merasakan ada puisi di balik ceritanya dan ingin melompat ke situ dan hup! bah! ternyata perhitungannya kurang tepat, lompatannya kurang jauh dan terjerembablah dia kembali ke narasi cerpen korannya. Tapi di beberapa tempat, sajak ini juga terasa seperti puisi yang tertatih-tatih memaksa untuk bercerita!

Sajak ini banyak menggunakan jurus pengulangan, seperti ‘kuketuk pintunya / kuketuk pintunya’ atau ‘kuketuk pintunya / kuketuk pintunya / kuketuk pintunya’ dan ini kadang-kadang terasa seperti usaha penulis untuk memuisikan cerita ‘Mangga muda’-nya tapi kadang-kadang juga terasa sepertinya mungkin justru ini yang lebih ingin dilakukan si penulis, mengulang-ulang kata-katanya begitu saja, terus saja, seperti mantra. Dan di sinilah, misalnya, pentingnya latar belakang penulis tadi. Mungkin, karena penulis ini (kelihatannya) memang orang Indonesia, salah satu bentuk puisi yang paling familiar buatnya, terdengar paling alami di telinganya, mungkin tanpa dia sadari, adalah mantra. Atau, dan ini ada juga hubungannya dengan si penulis adalah orang Indonesia, mungkin dia banyak baca balada-balada Rendra.

Cerita sajak ini adalah seorang suami yang dengan kelihatannya agak berat hati dan karena itu malas-malasan mencarikan mangga muda untuk istrinya (mungkin karena dia baru ngidam ini jam ‘setengah dua belas malam’). Tapi rasanya si suami berangkat bukan untuk istrinya karena ‘Menatapnya aku berpikir / ‘ah … itu yang meminta anakku sendiri’’. Seperti Hercules dengan satu tugas saja dia mengalami berbagai rintangan dan dia bukan Hercules jadi semua rintangan itu tidak bisa dia lalui juga sampai akhirnya dia sampai di ‘… pasar kampung kami / jam dua belas malam …’ tapi dasar bukan Hercules dia takut masuk pasar yang dia dengar penuh preman dan langsung balik kanan tapi baru ‘… berjalan dua langkah …’ dia sudah dihadang oleh ‘… tiga orang pemuda …’ dan ‘… lelaki / baju hitam-hitam dan wajah tanpa ekspresi’ ‘di belakang mereka …’

Si suami ditikam mati oleh ketiga preman dan satu laki-laki misterius ini. Tapi dari tadinya cerita yang gampang sekali diikuti, tiba-tiba di sini sajak ini menjadi agak misterius, atau mungkin, paling tidak jadi lebih susah diikuti, saya tidak tahu. Lebih baik saya kutip hampir semua bagian akhir ini:

‘aku jatuh rebah kulihat banyak sekali darah
tiga preman itu kabur membawa dompetku yang isinya tak seberapa
tapi lelaki itu tinggal
dia jalan mendekatiku dengan wajah tanpa ekspresi diulurkannya tangannya
pusarku berkedut menuntut tanganku menyambut tangannya
rasanya seperti berkenalan dan kutahu dia bukan Tuhan
dia bukan Tuhan
tapi tangannya sejuk dan aku seperti melayang’

Apakah tiga preman ini = the three wise men, tiga magi dalam cerita Injil Matius tapi kali ini yang benar-benar telah diperalat Herod = si lelaki baju hitam-hitam bukan Tuhan itu untuk menemukan dan membinasakan Kristus = si suami? Apa penulis sajak ini seorang pastur? Atau murid seminari Gonzaga? Untuk sementara ini, karena saya memang tidak tahu siapa penulis ini dan dunianya seperti apa, saya tidak tahu. Tapi bagian terakhir ini menurut saya, dengan nada setengah bercanda ringannya, adalah sebuah meditasi, sebuah puisi, tentang Tuhan dan kematian yang cukup indah.

Kalau lelaki yang tinggal itu bukan Tuhan terus siapa? The Grim Reaper karena bajunya hitam-hitam? Tapi dia mengajak salaman (jadi tangannya tidak sibuk memegang sabit raksasa) dan ‘… menyambut tangannya / rasanya seperti berkenalan … tangannya sejuk …’ Malaikat kematian biasanya tidak seramah ini.

Atau sebenarnya dia memang Tuhan, yang membiarkankan si suami ‘melayang’, bebas dari beban mencarikan mangga muda buat istrinya, hanya si suami terlalu merasa bersalah dengan ketidakbertanggungjawabannya ini (‘… tangannya sejuk dan aku seperti melayang’ tidak kedengaran seperti dia terlalu keberatan mati ditusuk preman-preman pasar itu) sehingga tidak mau mengakui bahwa sekalipun mungkin si lelaki baju hitam-hitam tanpa ekspresi ini adalah Setan dia adalah Tuhan penyelamat baginya?

Read More...

Dongeng Ritual Mandi dan Kedalaman Maksud

Friday, January 25, 2008 | Labels: , | 2 comments |

Oleh Dino Umahuk

Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas oleh gheta

Puisi adalah karya sastra yang bersifat imajinatif sekaligus konotatif. Dibanding bentuk karya sastra lain, bahasa puisi lebih memilki banyak kemungkinan makna. Hal ini disebabkan karena terjadinya konsentrasi atau pemadatan segenap kekuatan bahasa di dalam puisi. Struktur fisik dan struktur batin puisi yang sangat padat bersenyawa secara padu bagaikan gula dalam larutan kopi.

S. Effendi menyatakan bahwa dalam bahasa puisi terdapat bentuk permukaan yang berupa larik, bait dan pertalian makna larik bait. Kemudian penyair berusaha mengkonkretkan pengertian-pengertian dan konsep-konsep abstrak dengan menggunakan pengimajian, pengiasan dan peambangan. Dalam mengungkapkan pengalaman jiwanya penyair bertitik tolak pada „mood” atau „atmosfer” yang dijelmakan oleh lingkungan fisik dan psikologi dalam puisi. Dalam memilih kata-kata, diadakan perulangan bunyi yang mengakibatkan adanya kemerduan atau eufoni. Jalinan kata-kata harus mampu memadukan kemanisan bunyi dengan makna (S. Effendi 1982:xi)

**
Dalam kaitan itu, sebuah puisi berjudul Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas telah di kirim ke email saya oleh panitia KOPDAR 2 Kemudian.com. Puisi ini dikirim ke saya tanpa nama penulisnya. Mungkin ini kesengajaan dari panitia agar peresensi tidak mengetahui identitas penulis puisi. Namun karena tidak mengetahui siapa penulisnya, saya agak kesulitan untuk menerawang suasana kebatinan dan latar belakang lahirnya puisi ini. Tapi baiklah saya akan mencoba memberikan apresiasi yang mudah-mudahan tidak salah dan keliru.

Kulit lusuh dengan keringat tersimpan rapi di tiap lipatannya
Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari
Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua
Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup
Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip
Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti
Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan
Ritual mandinya belum tuntas
Kulit kaki belum lepas
Nanti malam masih dipakainya berjalan

Macul,14 Maret07
***

Mandi secara harafiah berarti upaya seseorang untuk menyegarkan badan sekaligus membersihkan badannya dari berbagai jenis kotoran. Kenapa mandi, karena dalam puisi ini, secara implisit memperlihatkan upaya seseorang untuk membersihkan dirinya dari berbagai kotoran itu kotoran yang melekat di badan dan maupun kotoran jiwanya. Lihat bait-bait berikut: Ia segera bergegas menjambak handuk yang terlipat di atas pembaringan tua/ Penat terlihat sekali mulai dari lutut sampai siku hidup/ penat disini bisa dikiaskan sebagai dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dan kesadaran ini diperoleh setelah menyaksikan kematian /Setibanya ia mengurus pemakaman rutin hari hari/. Setelah melihat bagaimana seorang hamba tak berdaya menghadapi maut, menghadapi takdir kematian. Setelah melihat betapa tak bisa apa-apanya sebuah kerangka manusia selain pasrah pada tanah kuburan.

Dalam ajaran Agama Islam, mandi memiliki makna membersihkan diri dari hadas/najis, baik najis besar maupun najis kecil. Jika perpijak pada dua bait berikut: Ritual sebelum mandi segera dikerjakan, kulitnya dikuliti/Sedikit demi sedikit dari kulit kepala sampai kulit kemaluan/ maka mandi yang dimaksudkan si penyair dapat disebut sebagai upaya untuk membersihkan diri dari berbagai dosa karena usia yang semakin menua sebagaimana dikiaskan sebagai Matahari sejak tadi setia menggiring, kini hanya sedikit mengintip.

Apa yang bisa saya simpulkan dari puisi yang coba saya hayati adalah sebentuk upaya membersihkan diri atau semacam cuci dosa. Dalam puisi ini sang penyair berupaya membersihkan disebabkan oleh dosa-dosanya di sepanjang usia sebagai makhluk yang berupaya dekat dengan Rabb, dengan Tuhan.

Memang tidak semua penyair menulis sajak untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tapi, dalam puisi Dongeng Ritual Mandi yang Tak Tuntas sang penyair, hemat saya, tengah berusaha merapatkan diri pada hakikat keindahan, kebenaran, dan kejernihan.

Penyair yang kata Saini KM, adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia juga kayu dalam pembakaran, tengah berusaha berjalan ke inti kehidupan, kepada Tuhan.

Meskipun sang penyair sadar bahwa setelah pemandian, pensucian dan pertobatan, dosa-dosanya belum habis terkikis. Ini dikiaskan kembali dalam Ritual mandinya belum tuntas/Kulit kaki belum lepas. Karena sebagai makhluk yang lemah, sebagai manusia yang doif, ia selalu dengan sangat gampang tergelincir untuk berbuat dosa. Sangat gampang untuk ditaklukkan kembali oleh nafsu dan setan.

Sang penyair juga terpaku pada ketersadaran bahwa hari esok masih harus terus iya jalani sebelum ajal menjemput, sebagaimana di sampaikan pada bait penutup. /Nanti malam masih dipakainya berjalan. Namun sayang ia tak tak memintal doa-doa sebagai bekal untuk melangkah.

Entah berjalan kemana kita sesungguhnya sama-sama tak tahu. Hanya sang penyair yang mengerti hendak kemana nasib akan dibawa. Entah menuju ke langit dengan wajah selembut bidadari atau menuju neraka dengan wajah sehitam iblis.

Wallahu a'lam bis Shawab.
Serambi Mekah, Jumat 24 Januari 2008

Read More...

LEKONG & LEKONG DALAM CERITA

| Labels: , | 0 comments |

Oleh Hara Hope

Judul di atas kugunakan sekedar untuk menalikan dua buah cerpen berjudul “Aku Mencintainya” dan “Cintaku Terhalang Kelamin” yang memiliki tema yang sama, yakni: cinta terhadap sesama jenis.

Cerita pertama, “Aku mencintainya,” diuraikan dengan gaya drama keluarga, sedangkan cerita kedua, “Cintaku Terhalang Kelamin,” diuraikan dengan gaya drama abu-abu – jika tidak boleh dikatakan semi-stensil ^_^

AKU MENCINTAINYA oleh yosi_hsn

Cerita ini digarap dengan apik oleh penulisnya. Aliran kata-kata cukup terjaga mood-nya dan diksi tersusun rapi. Sang penulis pun cukup memiliki kesabaran dengan membuka informasi cerita secara bertahap sembari dibumbui selingan flashback/uraian profil tokohnya.

Hanya saja, aku merasakan tema yang diusung cenderung klise, yakni tentang “Salahkah mencintai sesama jenis?”. Di samping itu, aku sebenarnya merasakan kebiasan penulis untuk memfokuskan arah cerita ini. Pada bagian awal kisah muncul kesan bahwa kisah ini berfokus pada Ares dan Fuji, terutama Ares yang apapun sikapnya akan menjadi unsur penting dalam cerita bahkan menjadi penyelesai konflik dalam cerita. Tapi kemudian cerita berpindah fokus pada masalah konflik Fuji versus orangtua yang tak menyetujui “model” perasaan yang dimiliki Fuji. Dan terakhir fokus cerita ada pada audisi resital Fuji.

Sebenarnya, kalau kita kembali kepada judul, kita pun akan sama memaklumi bahwa cinta Fuji terhadap Tezar lah yang menjadi penyambungnya. Tapi kedudukan Tezar dalam cerita pun tampak tidak kuat. Aku menengarai bahwa kisah yang disajikan dalam bentuk penceritaan ulang dari seorang tokohlah penyebabnya. Hal ini menyebabkan pembaca tidak bisa melihat secara langsung konflik yang terjadi dalam keluarga itu plus Tezar. Yang diperlihatkan secara langsung justru hanya tentang bagaimana persuaan kembali Tezar dengan anggota keluarga musisi itu, sementara saat terjadinya konflik, yang menurutku penting, cenderung diceritakan ulang secara naratif saja.

Dengan kata lain, fokus yang ingin ditunjukkan melalui cerita ini tampaknya terlalu kompleks untuk sebuah cerpen.

Kemudian tentang latar cerita. Terus terang aku bingung menengarai cerita ini berpijak di mana. Saat membaca bagian awal cerita, kupikir kisah ini berlatar di Indonesia, atau setidaknya tentang orang Indonesia. Tapi saat membaca bagian akhir, baru aku tahu nama lengkap Fuji adalah Harera Fujiko yang identik Jepang sekali. Tapi persoalannya, aku tak menemukan sedikit pun nuansa lokal yang menunjukkan bahwa ini terjadi di Jepang, atau setidaknya terjadi pada keluarga Jepang. Pun tidak terjejak kemungkinan cerita ini terjadi pada sebuah keluarga blasteran – yang dapat menjadi keterangan tambahan mengapa nama anak-anak dalam keluarga itu berasal dari berbagai latar budaya dunia.


CINTAKU TERHALANG KELAMIN oleh dhika moreno

Cerita ini lain lagi. Penulisnya sepertinya tak hendak membawa kisah ini pada pergulatan tentang salah/benarnya hubungan sesama jenis. Ia lebih menekankan pada sensasi yang dialami seorang tokoh dari perjumpaan pertama dengan sesama jenis, kemudian jatuh cinta, hingga akhirya mengikuti permainan sang Cinta sekalipun tetap sadar bahwa hubungan mereka hanyalah fana.

Dan sekali lagi kubilang, gaya bahasa tulisan ini abu-abu/semi-stensil mengingat ada banyak ungkapan “menggemaskan” dan “adegan ranjang”-nya. Tapi untunglah penulis tak berniat menggiringnya menjadi fiksi cabul, karena ia menggambarkannya dengan cukup “sah-sah” saja.

Hanya saja, (lagi-lagi) aku merasakan kebiasan fokus cerita. Jika membaca model tuturannya, akan tampak kiranya ia ingin menggunakan teknik cerita “menyembunyikan- dahulu- identitas- si- tokoh- baru- kemudian- membukanya- di- akhir- kisah- sebagai- kejutan- bagi- pembaca.” Tapi pemilihan judul yang sudah kepalang menunjukkan identitas si tokoh ini pun sudah jauh-jauh mementahkan dugaan ini.

Menengarai cerita ini menggunakan teknik “membeberkan- identitas- pelaku- dulu- baru- menyajikan- dramanya- kemudian” pun rasanya tak terlalu kelihatan, mengingat drama dalam kisah ini tak terlalu dieksplorasi.

Yang lebih menjadi perhatianku adalah kurangnya penggambaran kedua tokoh dalam cerita ini. Entahlah, tapi rasanya bagiku penggambaran ini perlu untuk makin mendekatkan cerita pada pembacanya, seperti misalnya sesuatu yang menggambarkan apakah kedua tokoh ini tampak seperti lelaki tulen biasa, atau salah satunya kebanci-bancian, atau justru salah satunya berperawakan banci.

Segitu aja kali ya. Maaf kalau ada salah-salah kata dan analisa.
Peace!! ^_^ V

Read More...

Resensi Prosa 'Pekerjaan Iin'

Thursday, January 24, 2008 | Labels: , | 0 comments |

Oleh Amalia Suryani

Pekerjaan Iin oleh yosi_hsn

Cerita dengan pesan bijak di dalamnya tanpa berlagak menggurui. Cerita seperti inilah yang disukai banyak orang sebab dimana-mana orang tidak suka digurui (orang cenderung merasa diri ini sudah tahu banyak hal atau lebih tahu daripada orang lain).

Cerita ini berjalan dengan sederhana dan alurnya rapi. Sekali lagi, jenis tulisan yang tidak terburu-buru untuk sampai pada akhir cerita.

“Pekerjaan Iin” menampilkan sisi kehidupan pembantu rumah tangga yang jarang dibicarakan (bukan PRT-nya yang jarang, tapi sisi “pandangan PRT pada majikannya” yang jarang dibahas). Tanpa menempatkan kedua karakter itu dalam peran antagonis atau protagonis.

Keduanya adalah manusia biasa dengan karakter sewajarnya. Bu Sudi sebagai majikan dan Iin sebagai pembantunya. Meski cerita ini memilih sudut pandang Iin, saya yakin penulis bisa menceritakan sudut pandang Bu Sudi dengan menarik juga.

“Bukan lingkungan yang harus berubah untukmu, tapi kau yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan itu.”

Dalam konteks “Pekerjaan Iin”, pesan itu pas disampaikan sebagai penutup cerita. Kata “menyesuaikan” tentu dipilih dengan hati-hati. Hanya saja kata tersebut bisa berarti ganda; 1) lingkungan tidak perlu berubah, kita lah yang berubah dan 2) lingkungan tidak perlu berubah, kita toleran. Yang diambil Iin adalah yang kedua, saya rasa.

Tapi pernyataan semacam ini tidak bisa berlaku untuk konteks yang berbeda sebab kadang kita perlu bersikap “steady”, tidak terbawa suasana, tidak terbawa lingkungan yang tidak sesuai dengan nurani kita. Namun sekali lagi, hal itu berlaku di konteks yang sama sekali berbeda dengan yang dialami Iin.

Read More...