Dari Catatan Harian Hingga Cerita Pendek
Friday, January 11, 2008 | Labels: resensi, sesi 4 | |Oleh Moh Fahmi Amrulloh
Goodbye…. (for now) oleh k4cruterz
Tulisan berjudul Goodbye yang saya baca adalah salah satu hasil persinggungan seorang penulis dengan satu peristiwa visual atau lebih yang terjadi sehari-hari di sekitarnya. Peristiwa visual tersebut diolah sedemikian rupa menjadi peristiwa tekstual yang kemudian disebut sebagai media ekspresi, entah isi hati sang penulis atau sekadar menyuarakan apa yang dilihat agar didengar orang lain.
Akan tetapi, jika sudah berhadapan dengan publik, lagi-lagi yang terjadi adalah bagaimana hasil ekspresi itu bisa dinikmati oleh orang banyak, berfungsi mencerahkan, dan tidak menghakimi. Memproduksi sebuah tulisan yang enak dibaca, lebih-lebih mencerahkan, bukan persoalan mudah. Prinsip tidak menganggap enteng sesuatu itulah menurut saya kunci yang harus ditanamkan dalam diri seorang penulis.
Akan tetapi, jika sudah berhadapan dengan publik, lagi-lagi yang terjadi adalah bagaimana hasil ekspresi itu bisa dinikmati oleh orang banyak, berfungsi mencerahkan, dan tidak menghakimi. Memproduksi sebuah tulisan yang enak dibaca, lebih-lebih mencerahkan, bukan persoalan mudah. Prinsip tidak menganggap enteng sesuatu itulah menurut saya kunci yang harus ditanamkan dalam diri seorang penulis.
Seorang yang baru belajar menulis biasanya membekali dirinya dengan idealisme yang tinggi. Di satu sisi, idealisme memang diperlukan. Namun, jika si penulis tidak dapat mengendalikan diri, tentu saja hal itu akan membuatnya menemui kesulitan yang luar biasa. Mereka membayangkan bahwa menulis dan mempublikasikan tulisannya ke media (khususnya cetak) adalah semudah membalik telapak tangan. Pada akhirnya, justru yang didapat adalah kegagalan.
Kembali pada Goodbye ini. Entahlah, bagi saya tulisan ini hanya menerakan impresi yang biasa di benak saya, selain dia tak lebih dari sebuah laporan catatan harian seorang anak laki-laki yang sedang menunggu ayahnya melewati masa-masa kritis di sebuah rumah sakit. Seorang anak yang mengenang masa lalunya bersama sang ayah, dan kini mereka seolah bersiap untuk dipisahkan oleh kematian.
Tulisan ini diawali dengan berondongan pertanyaan yang cukup mengena dan tentu saja memungkinkan keterlibatan pembacanya. Setelah melempar pertanyaan-pertanyaan, barulah si penulis membuka “catatan harian”-nya.
Si penulis mengisahkan pergulatan batin seorang tokoh laki-laki yang belakangan namanya diketahui sebagai Mirza. Tokoh Mirza yang sedang bergulat dengan batinnya sendiri menjelang kematian sang ayah mencoba untuk tetap tegar pada saat itu.
Bukankah ini sebuah peristiwa yang wajar? Seorang anak, entah laki-laki atau perempuan, yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh orangtua akan bersedih. Seorang manusia yang ditinggal oleh sahabat tercintanya tentu akan merasa terpukul. Jadi, apa istimewanya sebuah cerpen yang mengangkat tema-tema yang selalu diulang?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita tidak bisa hanya dengan memakai kacamata normatif. Terlebih lagi dalam frame sastra, segala peristiwa yang dimunculkan oleh pengarang seperti pilihan-pilihan yang sengaja dibebaskan. Dengan kata lain, apa yang mencuat dalam suatu karya sastra adalah santapan siap saji. Pembaca yang tergila-gila pada karya-karya realis tentu mustahil menomorsatukan karya-karya surealis. Ibarat hobi kuliner, seseorang yang lidahnya terbiasa mencecap makanan pedas akan merasa sulit menyesuaikan diri dengan makanan daerah lain yang berciri khas manis.
Kendati disampaikan dalam format catatan harian, namun tulisan ini sebenarnya masih sangat mungkin untuk terus dikembangkan dalam cerita yang lebih luas. Masih banyak ruang-ruang yang perlu diisi oleh penulis, dengan catatan si penulis mau sedikit—syukur-syukur secara total—bersusah payah untuk terus melakukan eksplorasi. Anggap saja tema kelahiran, kehidupan, kematian, bahkan kehidupan setelah kematian sebagai stimulan yang menggelitik daya kreatifitas seorang penulis. Namun, bagaimana tema-tema itu diungkapkan dengan gaya yang lain dan orisinil, hal itu sudah menjadi wilayah prerogatif seorang penulis.
Satu catatan yang menurut saya sangat perlu diperhatikan oleh penulis cerita ini adalah terlalu “dermawan”-nya dia dalam memberikan tanda kutip. Misalnya, dalam kata ‘mencuci’, ‘menampar’, ‘Alam sana’, dan ‘rumah.’ Saya kira hal ini cukup mengganggu ketika saya membaca Goodbye ini. Sebuah karya sastra tidak melulu berfokus pada pesan yang ingin disampaikan, tapi bagaimana si penulis bermain-main dengan diksi, metafora, dan sebagainya tentu dengan sendirinya akan menunjukkan kelincahan sang penulis. Dan, untuk melatih kreatifitas seorang penulis bermain kata, saya kira tanda kutip seperti yang bertebaran dalam tulisan Goodbye ini saya sebaiknya digunakan dalam penulisan kolom opini, esai, catatan harian, atau yang lainnya. Terima kasih dan semoga membantu.
Kembali pada Goodbye ini. Entahlah, bagi saya tulisan ini hanya menerakan impresi yang biasa di benak saya, selain dia tak lebih dari sebuah laporan catatan harian seorang anak laki-laki yang sedang menunggu ayahnya melewati masa-masa kritis di sebuah rumah sakit. Seorang anak yang mengenang masa lalunya bersama sang ayah, dan kini mereka seolah bersiap untuk dipisahkan oleh kematian.
Tulisan ini diawali dengan berondongan pertanyaan yang cukup mengena dan tentu saja memungkinkan keterlibatan pembacanya. Setelah melempar pertanyaan-pertanyaan, barulah si penulis membuka “catatan harian”-nya.
Si penulis mengisahkan pergulatan batin seorang tokoh laki-laki yang belakangan namanya diketahui sebagai Mirza. Tokoh Mirza yang sedang bergulat dengan batinnya sendiri menjelang kematian sang ayah mencoba untuk tetap tegar pada saat itu.
Bukankah ini sebuah peristiwa yang wajar? Seorang anak, entah laki-laki atau perempuan, yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh orangtua akan bersedih. Seorang manusia yang ditinggal oleh sahabat tercintanya tentu akan merasa terpukul. Jadi, apa istimewanya sebuah cerpen yang mengangkat tema-tema yang selalu diulang?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita tidak bisa hanya dengan memakai kacamata normatif. Terlebih lagi dalam frame sastra, segala peristiwa yang dimunculkan oleh pengarang seperti pilihan-pilihan yang sengaja dibebaskan. Dengan kata lain, apa yang mencuat dalam suatu karya sastra adalah santapan siap saji. Pembaca yang tergila-gila pada karya-karya realis tentu mustahil menomorsatukan karya-karya surealis. Ibarat hobi kuliner, seseorang yang lidahnya terbiasa mencecap makanan pedas akan merasa sulit menyesuaikan diri dengan makanan daerah lain yang berciri khas manis.
Kendati disampaikan dalam format catatan harian, namun tulisan ini sebenarnya masih sangat mungkin untuk terus dikembangkan dalam cerita yang lebih luas. Masih banyak ruang-ruang yang perlu diisi oleh penulis, dengan catatan si penulis mau sedikit—syukur-syukur secara total—bersusah payah untuk terus melakukan eksplorasi. Anggap saja tema kelahiran, kehidupan, kematian, bahkan kehidupan setelah kematian sebagai stimulan yang menggelitik daya kreatifitas seorang penulis. Namun, bagaimana tema-tema itu diungkapkan dengan gaya yang lain dan orisinil, hal itu sudah menjadi wilayah prerogatif seorang penulis.
Satu catatan yang menurut saya sangat perlu diperhatikan oleh penulis cerita ini adalah terlalu “dermawan”-nya dia dalam memberikan tanda kutip. Misalnya, dalam kata ‘mencuci’, ‘menampar’, ‘Alam sana’, dan ‘rumah.’ Saya kira hal ini cukup mengganggu ketika saya membaca Goodbye ini. Sebuah karya sastra tidak melulu berfokus pada pesan yang ingin disampaikan, tapi bagaimana si penulis bermain-main dengan diksi, metafora, dan sebagainya tentu dengan sendirinya akan menunjukkan kelincahan sang penulis. Dan, untuk melatih kreatifitas seorang penulis bermain kata, saya kira tanda kutip seperti yang bertebaran dalam tulisan Goodbye ini saya sebaiknya digunakan dalam penulisan kolom opini, esai, catatan harian, atau yang lainnya. Terima kasih dan semoga membantu.