“GOODBYE”: GODA AKU DENGAN…
Friday, January 11, 2008 | Labels: resensi, sesi 4 | |Oleh Hara Hope
Goodbye.... (for now) oleh k4cruterz
“Pernahkah engkau memandangi wajah dari seseorang yang begitu engkau kasihi saat sang ajal mulai perlahan merenggut cahaya kehidupan dari sekujur tubuhnya?
Pernahkah engkau menyaksikan saat hembusan nafas ditarik untuk terakhir kalinya?
Pernahkah engkau merasa begitu tak berdaya saat maut menjemput seseorang yang begitu berarti bagi kehidupan kita?
Aku pernah...”
Begitu cerpen ini diawali. Sebuah teaser. Teaser yang menggoda, terlebih dilontarkan dengan kalimat interogatif untuk kemudian diakhiri kalimat bernuansa “posesif”. Menurut hematku, pola teaser seperti ini sangatlah baik karena sangat membantu menularkan ke-aku-an si tokoh cerita kepada ke-aku-an pembacanya (reflektif).
Goodbye.... (for now) oleh k4cruterz
“Pernahkah engkau memandangi wajah dari seseorang yang begitu engkau kasihi saat sang ajal mulai perlahan merenggut cahaya kehidupan dari sekujur tubuhnya?
Pernahkah engkau menyaksikan saat hembusan nafas ditarik untuk terakhir kalinya?
Pernahkah engkau merasa begitu tak berdaya saat maut menjemput seseorang yang begitu berarti bagi kehidupan kita?
Aku pernah...”
Begitu cerpen ini diawali. Sebuah teaser. Teaser yang menggoda, terlebih dilontarkan dengan kalimat interogatif untuk kemudian diakhiri kalimat bernuansa “posesif”. Menurut hematku, pola teaser seperti ini sangatlah baik karena sangat membantu menularkan ke-aku-an si tokoh cerita kepada ke-aku-an pembacanya (reflektif).
Hanya saja (God, I hate this part ^_^), aku merasakan kekuatan teaser ini cenderung berkurang. Pada prinsipnya, teaser di sini memiliki kekuatan lebih pada dua kata, “pernahkah engkau…..,” yang truly madly deeply (song by Savage Garden ^_^) menggugah kesadaran pembaca bahwa si tokoh ingin berbagi pengalamannya yang bukan semata-mata akan terjadi pada si tokoh dalam sebuah fiksi, melainkan bisa juga terjadi dalam kehidupan nyata pembacanya. Dalam hal ini, si penulis cerpen telah berhasil mendekatkan pembaca secara psikologis pada kisahnya dengan gaya tuturnya yang lugas (lewat kata “pernahkah”). Dan kita tahu kedekatan pembaca terhadap sebuah cerita sangatlah penting keberadaannya.
Lalu apa yang membuat kekuatan ini berkurang?
Sebetulnya spekulatif, setiap pembaca mungkin akan memiliki pendapat masing-masing akan hal in. Tapi aku menengarai kalimat yang panjang pada kalimat, “Pernahkah engkau memandangi wajah dari seseorang yang begitu engkau kasihi saat sang ajal mulai perlahan merenggut cahaya kehidupan dari sekujur tubuhnya?” lah penyebabnya. Dengan kalimat panjang seperti ini, pembaca biasanya akan membutuhkan napas lebih panjang dan memori yang lebih besar untuk melahap makna dalam kalimat. Hal ini membuat “daya ingat” pembaca akan kata-kata terdahulu sedikit berkurang karena perhatiannya terpusat agar ia mampu menyelesaikan kalimat panjang itu dalam “satu tarikan napas.” Secara otomatis hal ini membuat kekuatan suspens yang ditumpukan pada awal kalimat pun akan berkurang.
Tidak percaya? Coba bandingkan dengan kalimat,
“Pernahkah engkau memandangi wajah seseorang yang begitu engkau kasihi menjelang ajalnya?”
Lebih ringkas, bukan? Kalimat ringkas yang sebenarnya bisa lebih disederhanakan lagi tergantung selera pembuat kalimatnya – karena hal ini hanyalah satu dari sekian masalah teknis sebuah cerpen. Tapi, seperti yang sudah kukatakan, ini “hanyalah” tentang perlunya membuat pembaca tidak cepat lelah dan hilang perhatiannya akibat kalimat panjang – bahkan terkadang kalimat terlalu pendek yang runtut.
Kemudian soal kalimat teaser berikutnya:
Pernahkah engkau menyaksikan saat hembusan nafas ditarik untuk terakhir kalinya?
Pernahkah engkau merasa begitu tak berdaya saat maut menjemput seseorang yang begitu berarti bagi kehidupan kita?
Sebuah rangkaian repetisi.
Ya, teaser ini dibangun dengan gaya repetisi dimana terjadi pengulangan suatu kata atau sebagian kalimat atau seluruh kalimatnya (F.X. Mudjihardja, 1988). Dan repetisi pada kalimat dua dan tiga ini dibangun untuk memperteguh kekuatan kalimat pertama sekaligus memberi informasi turunan darinya. Hanya saja (aku sudah sebutkan aku benci bagian ini, kan?) repetisi seringkali tak perlu disertai pengulangan kata lagi, sehingga rasanya kata “pernahkah engkau” di kalimat kedua dan ketiga tidak perlu lagi ada.
Adapun kalimat terakhir, yakni, “ Aku pernah,” merupakan eksekusi yang baik dari jajaran kalimat teaser ini.
Teaser bergaya semacam ini tentu bukan hal yang baru dalam dunia cerpen. Tapi bukan berarti pula teknik ini basi. Dan kukatakan sekali lagi, ini hanya satu dari sekian banyak teknik dalam pembuatan cerpen. Karena itu, untuk sekedar berbagi informasi (bukan untuk membandingkan, hanya ingin berbagi wawasan) aku coba cantumkan pula satu teaser bergaya interogatif. Begini isinya:
Sebelumnya aku harus bertanya ini dulu padamu: apakah kau menyukai keributan? Sesuatu yang lebih riuh dari acara ulang tahun temanmu yang menyebalkan dan membuatmu terpaksa menutup daun telinga. Keributan yang membuat kepalamu membesar melebihi kuali Ibu di dapur. Memaksamu untuk memukul-mukul kepalamu sendiri karena keributan itu tak kunjung berhenti padahal kau telah sangat ingin meledak karenanya.
Bila jawabmu ya, maka kau bukan temanku. Namun bila jawabanmu tidak, belum tentu keributan yang kita sukai adalah keributan yang sama.
Teaser di atas kunukil dari cerpen Ucu Agustin berjudul Vacuum Cleaner. Bisa kita lihat di atas, kalimat utama teaser ini ringkas, bukan? Teh Ucu baru berani bermain-main dengan kalimat panjang pada kalimat berikutnya sampai kalimat eksekusi teasernya.
Aku tentu tak akan bilang bahwa suatu teaser yang baik haruslah memiliki komposisi atau struktur kalimat seperti yang Teh Ucu bikin. Tapi sekali lagi kuungkapkan, bahwa dalam sebuah teaser kelimat utama yang menggugah keingintahuaan pembaca harus-haruslah jelas dan padat.
Oke, sebelum kita bosan membicarakan teaser, kita ulas teaser ini dengan mengorelasikannya dengan cerita utama.
Saat memulai membaca cerita utamanya, terus terang aku merasakan aura kematian menguar begitu kentara. Sungguh pun cerita ini bercerita tentang kematian, tapi rasanya tak semestinya hal ini muncul begitu hebat. Bagi pembaca yang sabar membaca hingga akhir, tentu tak akan bermasalah dengan hal ini. Tapi bagi pembaca yang merasa hanya punya waktu membaca yang sempit, hal ini akan membuatnya berani menebak-nebak endingnya sambil bergumam, “Akh, pasti endingnya mati.” Celakanya, orang seperti ini sangat peduli pada ending sehingga jika ia merasa sudah tahu endingnya, ia akan langsung meninggalkan bacaannya sekalipun bisa saja ia salah menduganya dan bisa saja inti ceritanya bukan soal itu.
Sebagai penulis, kita tentu tak menghendaki itu, bukan? Kalau bisa, kita jaring semua pembaca dengan berbagai tabiat dan karakteristiknya.
Namun yang perlu difokuskan di sini adalah kekurangrelevanan antara teaser dan pembuka cerita utama. Logikanya, teaser merupakan pembangun stigma untuk cerita utamanya. Tapi terkadang stigma dalam teaser saja tidak cukup. Perlu ditambah lagi dengan stigma dalam pembuka cerita utama. Bagiku, teaser di cerpen ini kurang lebih memberitakan bahwa apa yang ingin disampaikan dalam isi cerpen adalah pengalaman menemani seseorang -- lebih spesifik lagi: memandangi wajah seseorang -- menjelang kematiannya. Maka sederhananya, stigma di awal cerita utama pun pastilah mengenai stigma “memandang wajah seseorang menjelang ajal” ini. Entah melalui nuansa mencekam, mengharu biru, atau lain sebagainya, yang pada intinya mempersiapkan diri pembaca dulu merasa, mendengar, dan membayangkan peristiwa yang akan dilihatnya langsung di puncak cerita. Bahkan untuk menambah geregetnya, bila perlu pakai juga alur maju-mundur untuk lebih mengaduk-aduk perasaan pembaca dengan berbagai flashback kehidupan para tokohnya dengan sang ayah.
Ini saja yang dapay kubicarakaan dari cerpen ini. Sisanya adalah mengenai corak tulisan yang sepertinya sudah ditemukan oleh si penulis.
Entah semua yang membaca tulisan ini tahu atau tidak, bahwa aku menerima naskah ini tanpa disertai nama pemilik cerpen ini. Jadi aku membaca saja seperti membaca sebuah sobekan kertas koran tanpa tahu sobekan itu dari Kompas atau Lampu Merah. Aku pun tak pernah membacanya di K.com sebelumnya, walau aku merasa pernah melihat judulnya entah di daftar cerita terbaru, entah di mana (tanpa ingat nama penulisnya). Namun saat membaca cerita ini, aku rasanya seperti mengenal siapa gerangan si penulisnya. Lalu kucek di K.com, dan…Hei, aku menemukan sebuah nama. Dan nama itu sesuai dengan dugaanku!!
Kupikir ini patut diberi ucapan selamat. Sebab di usia muda kepenulisannya (menurutnya lho, saat kami berkesempatan mengobrol santai di Semanggi), ia sudah menemukan corak tulisnya.
Tapi jangan pernah tanyakan seperti apa corakmu. Dari pengalamanku yang masih hijau ini, aku pernah melihat penulis-penulis muda sepertimu – dan aku – yang terlalu sibuk mengidentifikasi coraknya sehingga ia lupa untuk mengembangkan tekniknya. Sebagian lain malah merasa drop karena ada yang menilai tulisannya mirip Kahlil Gibran lah, Khairil Anwar lah, seakan-akan mereka hanya bisa menjiplak gaya semata – padahal terkadang mereka sama sekali belum pernah membaca tulisan penulis yang “termirip-miripkan” itu.
Jadi setelah sedikit berbangga sejenak, lupakanlah bahwa ente punye gaye. Just do it (karena kita hanya menerima cash ^_^). Menulislah terus. Banyak-banyak berlatih. Corak-tulis hanyalah sampah jika kau tak mengembangkannya. Jangan lupakan juga hati kecilmu, pesan-pesanmu. Bagiku yang naif ini, sebuah pesan dalam sebuah cerita tetaplah utama.
So, maju terus pantang mundur!!
Toto tentrem kerto raharjo!!
Tat tit tut daun cereme saha nu hitut bujur na rame dibawa ka saung butut balik na pakceletut (wah hebat, sampai detik ini masih ada juga baca. Padahal aku cuma iseng nambahin bo!! Kik kik kik). Hara
Lalu apa yang membuat kekuatan ini berkurang?
Sebetulnya spekulatif, setiap pembaca mungkin akan memiliki pendapat masing-masing akan hal in. Tapi aku menengarai kalimat yang panjang pada kalimat, “Pernahkah engkau memandangi wajah dari seseorang yang begitu engkau kasihi saat sang ajal mulai perlahan merenggut cahaya kehidupan dari sekujur tubuhnya?” lah penyebabnya. Dengan kalimat panjang seperti ini, pembaca biasanya akan membutuhkan napas lebih panjang dan memori yang lebih besar untuk melahap makna dalam kalimat. Hal ini membuat “daya ingat” pembaca akan kata-kata terdahulu sedikit berkurang karena perhatiannya terpusat agar ia mampu menyelesaikan kalimat panjang itu dalam “satu tarikan napas.” Secara otomatis hal ini membuat kekuatan suspens yang ditumpukan pada awal kalimat pun akan berkurang.
Tidak percaya? Coba bandingkan dengan kalimat,
“Pernahkah engkau memandangi wajah seseorang yang begitu engkau kasihi menjelang ajalnya?”
Lebih ringkas, bukan? Kalimat ringkas yang sebenarnya bisa lebih disederhanakan lagi tergantung selera pembuat kalimatnya – karena hal ini hanyalah satu dari sekian masalah teknis sebuah cerpen. Tapi, seperti yang sudah kukatakan, ini “hanyalah” tentang perlunya membuat pembaca tidak cepat lelah dan hilang perhatiannya akibat kalimat panjang – bahkan terkadang kalimat terlalu pendek yang runtut.
Kemudian soal kalimat teaser berikutnya:
Pernahkah engkau menyaksikan saat hembusan nafas ditarik untuk terakhir kalinya?
Pernahkah engkau merasa begitu tak berdaya saat maut menjemput seseorang yang begitu berarti bagi kehidupan kita?
Sebuah rangkaian repetisi.
Ya, teaser ini dibangun dengan gaya repetisi dimana terjadi pengulangan suatu kata atau sebagian kalimat atau seluruh kalimatnya (F.X. Mudjihardja, 1988). Dan repetisi pada kalimat dua dan tiga ini dibangun untuk memperteguh kekuatan kalimat pertama sekaligus memberi informasi turunan darinya. Hanya saja (aku sudah sebutkan aku benci bagian ini, kan?) repetisi seringkali tak perlu disertai pengulangan kata lagi, sehingga rasanya kata “pernahkah engkau” di kalimat kedua dan ketiga tidak perlu lagi ada.
Adapun kalimat terakhir, yakni, “ Aku pernah,” merupakan eksekusi yang baik dari jajaran kalimat teaser ini.
Teaser bergaya semacam ini tentu bukan hal yang baru dalam dunia cerpen. Tapi bukan berarti pula teknik ini basi. Dan kukatakan sekali lagi, ini hanya satu dari sekian banyak teknik dalam pembuatan cerpen. Karena itu, untuk sekedar berbagi informasi (bukan untuk membandingkan, hanya ingin berbagi wawasan) aku coba cantumkan pula satu teaser bergaya interogatif. Begini isinya:
Sebelumnya aku harus bertanya ini dulu padamu: apakah kau menyukai keributan? Sesuatu yang lebih riuh dari acara ulang tahun temanmu yang menyebalkan dan membuatmu terpaksa menutup daun telinga. Keributan yang membuat kepalamu membesar melebihi kuali Ibu di dapur. Memaksamu untuk memukul-mukul kepalamu sendiri karena keributan itu tak kunjung berhenti padahal kau telah sangat ingin meledak karenanya.
Bila jawabmu ya, maka kau bukan temanku. Namun bila jawabanmu tidak, belum tentu keributan yang kita sukai adalah keributan yang sama.
Teaser di atas kunukil dari cerpen Ucu Agustin berjudul Vacuum Cleaner. Bisa kita lihat di atas, kalimat utama teaser ini ringkas, bukan? Teh Ucu baru berani bermain-main dengan kalimat panjang pada kalimat berikutnya sampai kalimat eksekusi teasernya.
Aku tentu tak akan bilang bahwa suatu teaser yang baik haruslah memiliki komposisi atau struktur kalimat seperti yang Teh Ucu bikin. Tapi sekali lagi kuungkapkan, bahwa dalam sebuah teaser kelimat utama yang menggugah keingintahuaan pembaca harus-haruslah jelas dan padat.
Oke, sebelum kita bosan membicarakan teaser, kita ulas teaser ini dengan mengorelasikannya dengan cerita utama.
Saat memulai membaca cerita utamanya, terus terang aku merasakan aura kematian menguar begitu kentara. Sungguh pun cerita ini bercerita tentang kematian, tapi rasanya tak semestinya hal ini muncul begitu hebat. Bagi pembaca yang sabar membaca hingga akhir, tentu tak akan bermasalah dengan hal ini. Tapi bagi pembaca yang merasa hanya punya waktu membaca yang sempit, hal ini akan membuatnya berani menebak-nebak endingnya sambil bergumam, “Akh, pasti endingnya mati.” Celakanya, orang seperti ini sangat peduli pada ending sehingga jika ia merasa sudah tahu endingnya, ia akan langsung meninggalkan bacaannya sekalipun bisa saja ia salah menduganya dan bisa saja inti ceritanya bukan soal itu.
Sebagai penulis, kita tentu tak menghendaki itu, bukan? Kalau bisa, kita jaring semua pembaca dengan berbagai tabiat dan karakteristiknya.
Namun yang perlu difokuskan di sini adalah kekurangrelevanan antara teaser dan pembuka cerita utama. Logikanya, teaser merupakan pembangun stigma untuk cerita utamanya. Tapi terkadang stigma dalam teaser saja tidak cukup. Perlu ditambah lagi dengan stigma dalam pembuka cerita utama. Bagiku, teaser di cerpen ini kurang lebih memberitakan bahwa apa yang ingin disampaikan dalam isi cerpen adalah pengalaman menemani seseorang -- lebih spesifik lagi: memandangi wajah seseorang -- menjelang kematiannya. Maka sederhananya, stigma di awal cerita utama pun pastilah mengenai stigma “memandang wajah seseorang menjelang ajal” ini. Entah melalui nuansa mencekam, mengharu biru, atau lain sebagainya, yang pada intinya mempersiapkan diri pembaca dulu merasa, mendengar, dan membayangkan peristiwa yang akan dilihatnya langsung di puncak cerita. Bahkan untuk menambah geregetnya, bila perlu pakai juga alur maju-mundur untuk lebih mengaduk-aduk perasaan pembaca dengan berbagai flashback kehidupan para tokohnya dengan sang ayah.
Ini saja yang dapay kubicarakaan dari cerpen ini. Sisanya adalah mengenai corak tulisan yang sepertinya sudah ditemukan oleh si penulis.
Entah semua yang membaca tulisan ini tahu atau tidak, bahwa aku menerima naskah ini tanpa disertai nama pemilik cerpen ini. Jadi aku membaca saja seperti membaca sebuah sobekan kertas koran tanpa tahu sobekan itu dari Kompas atau Lampu Merah. Aku pun tak pernah membacanya di K.com sebelumnya, walau aku merasa pernah melihat judulnya entah di daftar cerita terbaru, entah di mana (tanpa ingat nama penulisnya). Namun saat membaca cerita ini, aku rasanya seperti mengenal siapa gerangan si penulisnya. Lalu kucek di K.com, dan…Hei, aku menemukan sebuah nama. Dan nama itu sesuai dengan dugaanku!!
Kupikir ini patut diberi ucapan selamat. Sebab di usia muda kepenulisannya (menurutnya lho, saat kami berkesempatan mengobrol santai di Semanggi), ia sudah menemukan corak tulisnya.
Tapi jangan pernah tanyakan seperti apa corakmu. Dari pengalamanku yang masih hijau ini, aku pernah melihat penulis-penulis muda sepertimu – dan aku – yang terlalu sibuk mengidentifikasi coraknya sehingga ia lupa untuk mengembangkan tekniknya. Sebagian lain malah merasa drop karena ada yang menilai tulisannya mirip Kahlil Gibran lah, Khairil Anwar lah, seakan-akan mereka hanya bisa menjiplak gaya semata – padahal terkadang mereka sama sekali belum pernah membaca tulisan penulis yang “termirip-miripkan” itu.
Jadi setelah sedikit berbangga sejenak, lupakanlah bahwa ente punye gaye. Just do it (karena kita hanya menerima cash ^_^). Menulislah terus. Banyak-banyak berlatih. Corak-tulis hanyalah sampah jika kau tak mengembangkannya. Jangan lupakan juga hati kecilmu, pesan-pesanmu. Bagiku yang naif ini, sebuah pesan dalam sebuah cerita tetaplah utama.
So, maju terus pantang mundur!!
Toto tentrem kerto raharjo!!
Tat tit tut daun cereme saha nu hitut bujur na rame dibawa ka saung butut balik na pakceletut (wah hebat, sampai detik ini masih ada juga baca. Padahal aku cuma iseng nambahin bo!! Kik kik kik). Hara