Enam April (laporan oleh Nidha)

Tuesday, April 8, 2008 | Labels: | 0 comments |

Oleh Nidha a.k.a Chau

Diriku dua hari ini tepar (7-8 april), rasa remuk tulang, ngantuk, dan capek. Tapi, saat ini diriku sedang tidak ingin bahas rasa gak enak itu semua. Diriku hanya ingin sharing awal mula hadirnya rasa gak enak itu semua. Secara fisik mungkin seperti itu adanya, tapi kepuasan bathin mengalahkan rasa gak enak itu.

Enam April menjadi hari yang sangat diriku syukuri karena Allah menciptakan hari itu untukku, untuk kita. Persiapan menuju hari itu sangatlah panjang, sukar, melelahkan. Dan diriku tidak ada selama proses yang menyita waktu, hati, fikiran, dan tenaga itu ( di sini memang sisi jahat diriku yang lebih memilih kepentingan pribadi sendiri daripada duduk bersama mereka untuk mempersiapkan enam april ini). Dan oouuwwhhh bagaimanapun diriku harus berterima kasih karena si bu dokter harus pergi ke palembang, (karena dirimu pergi dok..kesepakatan minggu ini dibatalkan dan itu artinya saya bisa hadir penuh di acara enam april nanti) jadi bisa sedikit saya abaikan dulu permasalahan satu itu. Tinggal si migrain yang harus diajak kompromi sepenuh enam april nanti.

Okay..seminggu sebelumnya diriku berusaha intensif (meski lagi-lagi hanya mampu via YM) untuk turun tangan. Mengurus makanan, penjemputan, dan segala hal lainnya. Dua hari menjelang enam april diriku dikunjungi si migrain dan memintaku untuk berdiam manis lagi (diriku sangat membenci hal ini, terkadang). Bahkan sampai lima april malam, diriku dah harus terkapar jam delapan sedang di sana,,senior-seniorku kesusahan menahan ngantuk untuk enam april. Enam april tiba.....

Diriku berangkat jam enam kurang dengan tujuan pertama ambil kue, lalu jemput teman beserta kuenya, kemudian segera menjemput salah satu tim pembicara di bandara yang ndak lain adalah tuan dan nyonya rumah kemudian.com (mas rizki dan mba Tiva), dan segera meminta supir mengebut menuju tempat acara. Okay,,,diriku bagian dari mereka yang (kubiarkan) kesusahan kemarin..peduli nanti diriku akan berguna atau tidak, diriku akan berusaha untuk berguna.

Sesampai di sana, hyaaaa berkenalan dengan tim panitia yang begitu solid, matanya yang kuyu lelah namun tetap kalah dengan cahaya kebersamaan mereka yang teduh. Bersalaman sepaket dengan cipika-cipiki dan sedikit peluk dengan Mba Ayu, Ayas, Veve, dan Mba Windry yang dari awal masih saya cari-cari. Menyapa guru puisi saya beserta nyonya (adalah mas TSP&mba TSP) dan setor tampang dengan mr.Rius (a.k.a mas Kinu) yang ternyata memang berbakat ngeselin plus menjawab jelas perkiraan saya (sebutlah nama asli saya mister...zzzz). Setelah ramah-tamah dengan gaya sok akrab, tiba waktunya bekerja santai, bekerja seru, bekerja sama, bekerja sambil sesi foto-foto (zzzzz ada banyak paparazzi di acara ini).

Saya dan Ayas, berteman millda bolak-balik ngurus kue. Saya berkenalan dengan ridho dan heri dengan menyebutkan nama asli saya. Huahahahahahahaha....setelah lama saya diperdengarkan kalimat "hooo jadi lo itu chau!!". Om heri bikin saya dan ayas ngakak..dah dua kali kenalan...tiba2 datang dan menepuk bahu saya bilang "heee lo itu chau ya? dasar looo" hwakakakakakaka.

Lapak Puisi pun digelar, asyik dan seru menyimak sensei menjelaskan tentang alam ambang yang jadi menarik-narik ilmu psikologi dan simbah nya. Pertengahan lapak tsb, saya,ayas, dan veve bertugas mengurus makan siang untuk tamu-tamu kehormatan kami. Hyaaa turun naik dan memesan makanan, lumayan seru lahhh. Lebih serunya, setelah kami kembali ke lapak puisi, sesi latihan sudah dimulai dan saya bersama ayas sok duduk manis sambil berusaha sadar diri bahwa kita dapat isyarat untuk ikut mengerjakan latihan. Secara kita berdua cape (hallaghhzzz...malas kali yak) maka jadilah saya dan ayas kabur (karena tidak mengerjakan sekali pun..heuheuehuehuehueheu). Tapi, di sesi latihan kedua..kami mengerjakan kok Om Pin...bahkan kena dirimu tanya "yang belakang dapat berapa kosa kata?"

Setelahnya, makan siang tamu kehormatan dimulai. Melayani pun diriku dan ayas dengan sebaik mungkin tamu-tamu kehormatan kami , senior dan sensei semuaaaaaa. Sambil menunggu mereka, kita mengusili satu penulis yang saya sebut ngeselin. Mengganggu jam makan siang yang katanya "kebanyakan nih porsinya". zzzzzzzzz. Karena Ayas dan Veve lapar, mereka menemani dadun dan ivan makan (diriku bukan ndak mau makan, tapi sepenghitungan diriku,,,nasi pesanan kita itu kurang :p ).

next time lagiiii.....terlalu banyak yang ingin saya bagi...
karena saya terlalu senang

Read More...

Hingga Dini Hari (laporan oleh Ayu)

| Labels: | 0 comments |

Oleh Ayu prameswary

Sehari sebelum Perkosakata

Saya terbangun tiba-tiba pada pukul empat pagi. Tanpa bunyi jam weker, atau suara Miki yang mengeong, pun karena dibangunkan seseorang. Mungkin hanya karena saya begitu bersemangat. Tapi langit masih gelap, jadi saya putuskan kembali pada pelukan bantal dan guling.

Dan saya yakin, semangat yang menyebabkan. Karena, setiap satu jam saya selalu terbangun. Akhirnya, pada jam enam pagi, saya putuskan untuk benar-benar bangun dan tidak menghiraukan rayuan bantal dan guling yang seakan memaksa saya kembali pada mereka.

Tidak seperti Windry dan Ratih yang bertugas menjemput Kinu di stasiun pada pagi buta, saya masih punya waktu untuk bermain dengan Miki. Hey, saya memang harus menyempatkan diri untuk memanjakan dia, karena akan saya tinggal selama dua hari.

Mari kita lewatkan saja kegiatan saya di rumah. Tidak penting itu. Akhirnya saya tiba di penginapan lantai dua, setelah sebelumnya saya menyempatkan diri berbelanja keperluan yang tertinggal dan minuman coklat untuk memanjakan pembicara dan moderator acara workshop ini (baca: TSP dan Kinu^^). Tak berapa lama, sampailah Kinu yang berbaju hitam, Windry dengan bawaannya yang banyak dan Ratih yang selalu ceria padahal mengantuk berat (bukan begitu, mba’ Ratih?).

Dengan tambahan satu personel baru –saya-, kami melaju ke daerah Kemang untuk makan siang, sekaligus mengantarkan Windry mengikuti bengkel novel di Cipete. Setelah dengan keji menurunkan Windry di pinggir jalan (maafkan kami, honey^^), kami bertiga berputar-putar di Kemang, bingung mencari tempat makan. Setelah berbingung-bingung dan berpanas-panas (maafkan tata bahasa saya yang ngaco ini), kami terdampar di Soto Kudus dan berakhir dengan ajakan Ratih untuk mencoba bakwan malang sebagai dessert (halah!).

Anyway, setelah menjemput Windry di Cipete dan Vivie di warnetnya, kami kembali ke Kuningan untuk bertemu rombongan lain yang bertugas menjemput TSP. Panas menyengat sepanjang siang tadi sudah berubah menjadi guyuran hujan deras yang membuat jalanan Jakarta semakin macet tak terkendali.

Kami bergabung dengan rombongan TSP yang sedang menikmati santap malam. Setelah briefing terakhir yang singkat, seluruh panitia bersiap pulang, mengumpulkan tenaga untuk keesokan hari. Tapi tidak dengan saya, Windry dan Ghea. Kami yang semula berencana menginap di tempat Ghea, berganti harus standby di penginapan. Dan sial, ada beberapa hal yang tidak kami persiapkan untuk menginap.

Sementara Windry ditemani Mirza berbincang bersama TSP dan Kinu, saya dan Ghea mulai menyusuri Jakarta, berputar-putar karena tidak tahu arah, mencari keperluan. Kembali ke penginapan dan keluar lagi, kali ini bersama Mirza dan Kinu. Lagi-lagi kami berputar-putar mencari market 24 jam, dari mini hingga nanggung. Seharusnya Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur, tapi kenapa susah sekali mencari toko 24 jam?

Tengah malam, Windry beringsut ke balik selimut. Begitu pula dengan TSP dan calon nyonya, serta Kinu. Tinggallah saya, Ghea dan Mirza menikmati lembur hingga dini hari. Kira-kira pukul setengah tiga pagi, saya dan Ghea memutuskan untuk beristirahat, sementara Mirza kembali ke rumah sakit untuk menemani ibunda.

Waktu pun mengalun hingga pukul enam pagi...

**bersambung dong, ah**

Read More...

Menyiapkan PERKOSAKATA Penuh CINTA (laporan oleh Windry)

| Labels: | 0 comments |

oleh Windry Ramadhina

Jakarta, 5 April 2008

Hari besar itu diawali oleh hal besar: saya bangun pukul empat pagi, saat kucing saya bahkan masih melingkar di ujung selimut. Membawa satu set pakaian ganti, laptop tercinta, video camera dan LCD pinjaman dari Walikota Jakarta Timur, saya meluncur menuju Pondok Indah Square untuk menemui Ratih yang sudah siap dengan Karimun merahnya. Berdua kami menikmati Jakarta dini hari yang segar dan jauh dari kesan Ibukota, menyusuri jalan arteri, Sudirman, hingga Monas dengan kecepatan penuh. Gambir adalah tujuan kami. Moderator acara perkosakata, Kinu, sudah menunggu sejak pukul lima dan, percaya atau tidak, kami nyasar.

Dua kali kami melewati Imanuel, sampai akhirnya mobil kami berjalan mundur memasuki halaman parkir stasiun karena kami tidak rela melewati Imanuel untuk ketiga kalinya. Kinu kami temukan di Dunkin, berkaos Coca Cola dan membawa oleh-oleh bakpia dan Waktu Batu. Segera kami bertolak dari Gambir untuk mencari sarapan. Semula tanpa arah sehingga kami berputar dengan rute Gambir-Sudirman-Semanggi-Gatot Subroto-Kuningan-Menteng-Cikini (tolong disadari betapa sesungguhnya Cikini dan Gambir bisa ditempuh dengan jalan kaki). Kami sarapan bubur di depan TIM, kemudian Kinu minta diantar menjenguk suami Inez Dikara di JMC (Buncit), maka untuk kesekian kalinya kami seperti mengalami deja vu karena kembali melewati jalan yang sama.

Ayu menyambut di penginapan (Kuningan) dengan tas besar dan plastik belanjaan. Dengan formasi baru, kami makan siang di daerah Kemang (sungguh tidak mudah memilih tempat makan di daerah itu dengan budget terbatas). Menjelang pukul dua, saya didrop oleh rombongan di MP Books Point untuk mengikuti bengkel novel dan dijemput kembali pukul empat tepat. Ada sedikit masalah pribadi yang harus saya atasi sore itu. Hasil kelas saya di bengkel novel tidak terlalu baik dan butuh waktu untuk mengembalikan spirit optimis saya. Sebagai ketua, saya sadar, saya tidak boleh lemah di saat genting maka saya paksakan diri mengesampingkan perihal bengkel novel dan kembali melihat ke depan.

Masih di daerah Kemang, kami juga menjemput Vivie di warnet tempatnya bekerja. Vivie keluar dari warnet membawa spanduk acara lalu menjelang malam, rombongan pimpinan saya kembali ke Kuningan untuk bertemu dengan TS Pinang yang dijemput oleh rombongan pimpinan Bayu.

Malam itu hujan deras, Rasuna Said tergenang air tapi tidak mengurangi keceriaan panitia yang berkumpul untuk rapat terakhir. Kami makan malam bersama TS Pinang, calon nyonya dan Kinu. Setelah briefing dan pembagian tugas yang detil, tim berpencar. Saya, Ayu, Ghea dan Mirza kedapatan tugas standbye di penginapan. Kami masih harus mengurus banyak hal malam itu: berdiskusi bersama TS Pinang dan Kinu, menyiapkan materi, dan belanja beberapa hal (tidak lupa memijat pembicara dan moderator kami yang kecapaian karena perjalanan jauh). Saya tidur menjelang tengah malam setelah meminum obat radang tenggorokan, Mirza masih harus kembali ke rumah sakit untuk menjaga sang Ibu, sementara Ayu dan Ghe terus bekerja sampai dini hari.

(segera! Hari PERKOSAKATA penuh CINTA - gombal sekali bahasa ini ya hahaha)

Read More...

Saya di PerkosaKata (laporan oleh Dadun)

| Labels: | 0 comments |

Oleh Dadun


Sebuah kerinduan yang kuat memang bisa mengalahkan apa saja. Katakanlah saya hanya seorang anak rumahan yang cukup asing dan ngeri dengan dunia luar, dan semua orang terdekat saya mengetahuinya. Maka, saya harus bisa meyakinkan hati mereka bahwa perjalanan Bandung – Jakarta bukanlah perjalanan lintas negara atau bahkan lintas rimba yang berbahaya, terlebih, saya bukan lagi bayi lelaki yang selalu nyaman mendekap diri di balik selimut merah.

Dan, kerinduan itu akhirnya membawa saya pada sebuah tempat yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, dan bertemu dengan orang-orang yang hanya bisa saya pikirkan sebelumnya. Dalam sebuah agenda, PERKOSAKATA2008.

Saya tiba di lantai tujuh Gedung Nyi Ageng Serang bersama seorang perempuan berkaos putih. Kami saling berpandangan saat sedang berjalan menuju tempat yang sama. Saya yakin, dia sedang berpikiran sama dengan saya: are you Kemudianers? Dia pun memperkenalkan diri sebagai Brown—yang setahu saya, dia adalah member senior di kemudian.com. Lalu kami mengisi daftar hadir, dan beberapa orang yang menerima kami di sana nampak menguatkan otot mata saat melihat saya.

“Elo Dadun?” kata-kata itu ada yang meluncur dari mulut mereka langsung, dan ada juga yang hanya tertelan di tenggorokan dan memantul di kedua bola mata mereka. Entah itu berarti terkejut, atau mungkin... . Ah, apa pun itu, yang terpenting, akhirnya kami bisa bertatap muka dan tak perlu lagi bantuan keyboard untuk mengetikkan kata-kata.

T.S. Pinang, sang penyair (yang ngakunya) amatir tengah memberikan materi seputar puisi, didampingi sensei Kinu sang wartawan kuliner. Howaaa, saya tidak terlalu memerhatikan karena masih lelah dan cukup mengantuk akibat hampir lima jam perjalanan Bandung – Jakarta. Diam-diam saya sibuk memerhatikan orang-orang di sekitar. Seperti sebuah permainan tebak nama, ketika melihat seseorang, saya berusaha menebak id yang digunakannya di kemudian.com. Itu pasti Miss Worm, itu pasti Ratih, Chau, Rangga, Heri Purwoko, Sefry, hmmm mungkin itu Frenzy, dan, yang itu pasti Cassle. Sementara, saya duduk bersebelahan dengan Takiyo Annabani dan ABC, Kemudianers asal Bandung juga yang datang lebih awal dari saya. Dan, oh, juga ada Ghedesafti, Bayu MyBro dan adiknya yang kata Mbak Ratih mirip orang Pakistan, ada Kavellania si Nona Manis, ada Milda dan masih banyak yang lainnya. (yang tidak disebut jangan marah)

Lo sombong amat sih, Dun. Diem aja. Sok manis lo! =P

Tidak hanya SMS dari Yugi Yakuza sang MC saja yang bermaksud demikian. Beberapa Kemudianers lain pun sedikit memprotes ke-diam-an saya.

Saya: Lha, memang aslinya gue pendiam, kok.
Mereka: Di YM, lo dudulz.
Mereka: Belum keluar aslinya lo, Dun.
Mereka: Ayo, tunjukin dong ANUNYADADUN!!!

Dan, ke-diam-an saya tetap bertahan hingga acara makan siang bersama Creativeway13th dan kameranya, Niska dan ehmnya, Ananda dan cucurnya, Little Ayas dan ceretnya, juga Chau dan tidakmakannya.

Usai makan siang, acara dilanjutkan dengan bedah novel Kenangan Abu-Abu nya Winna Efendi a.k.a Frenzy yang dipandu oleh Sefry Khairil. Sayang, saya selalu tidak mampu bertanya, padahal tiga penanya terbaik berkesempatan mendapatkan novelnya. Tapi untungnya, saya memiliki keberuntungan lain, mendapatkan doorprize novelnya Ayu Prameswary a.k.a Fortherose yang berjudul Gemini dan Kepingan Mimpi. Dan, wah, Kemudianers yang lain nampak memprotes: Huuu... Dadun lagi... Dadun lagi...!

Acara semakin seru ketika Gheta maju dan membacakan cerita mini berjudul Topeng Monyet. Secara (katanya) anak teater, dia benar-benar menjiwai apa yang sedang dibacakannya. Saluuuut... saluuut... Belum lagi pembacaan puisi (judulnya saya lupa lagi) oleh Jorgy. Wiiih, lagi-lagi penjiwaannya mantap. Kalau Gheta membuat kami semua terbahak, maka Jorgy membuat kami merinding dan terkesiap. Setelah itu, Noni membacakan puisi diiringi petikan gitar Rangga Mahesaya. Manis, manis.

Menjelang penutupan, dua petinggi kemudian.com, Jeng Far dan Mbak Tiva maju untuk menceritakan sejarah kemudian.com. Setelah itu, masing-masing Kemudianers maju untuk menyebutkan id-nya, dan menyatakan harapan ke depan dari kemudian.com ini. Wah, sial, waktu giliran saya maju, Mirza “Mamad” a.k.a k4cruterz yang ternyata lebih gila diantara kami semua, benar-benar berhasil mempermalukan saya. Dia berlutut dan nyaris menyamai tinggi saya saat sedang berdiri. Dia merangkul saya, dan Kemudianers yang lain tertawa. Ananda bilang, seperti raksasa yang menerkam kurcaci. *Hihihi* Tapi, bagaimana pun saya senang bisa bersisian dengan salah satu penulis favorit saya di kemudian.com. Meski sebenarnya saya sedikit sedih karena idola saya tidak datang. *Hiks hiks*

Sesi yang paling ditungu-tunggu adalah sesi foto-foto. Kapan lagi bisa berada satu frame dengan Miss Worm? *Ting!* ya, tentu saja, kapan lagi bisa beramai-ramai berfoto dengan semua Kemudianers yang super-menyenangkan?

Jam sudah menunjukan angka empat, pertanda acara berakhir. Tetapi kami masih punya sisa waktu di salah satu ruangan di lantai dua. Sebagian Kemudianers sudah pulang, termasuk teman-teman dari Bandung, Takiyo dan ABC. Panitia dan beberapa Kemudianers yang bukan panitia masih berkumpul di lantai dua. Dan saya di sana, merasa enggan untuk berpisah.

Selama satu tahun lebih kami hanya saling menyapa lewat ‘dunia kedua’ yang meski mampu meniadakan jarak dan sekat, tetapi tak cukup mampu mempertemukan kedua pasang mata dan berbalas ucap secara nyata, juga bersentuhan. Dan tak lebih dari satu hari itu, akhirnya, kami dapat bertemu dan berkumpul bersama. Takdir memperbolehkan kami saling menatap, berucap dan menyimak, bersalaman, bahkan toyor-menoyor. Kami bukan saudara, bukan sahabat, bukan kenalan dan bukan siapa-siapa yang akhirnya dipersatukan menjadi keluarga besar yang bahkan memiliki keterikatan yang jauh lebih erat dari sekadar relasi yang disebutkan.

Tetapi, bagaimanapun hidup terus berjalan, dan saya harus pulang sore itu juga, dengan sejuta kesan yang mendalam.

Kapan kita bertemu lagi, Kemudianers?***

Read More...